Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala
Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Bid’ah, kata ini sebenarnya adalah kata yang sudah familiar
di tengah-tengah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Berbeda dengan orang saat ini yang merasa aneh, jika mendengar kata ini, bahkan
merasa benci jika mendengar orang lain membahas masalah bid’ah. Sampai-sampai
jika ada yang membahas bid’ah, ada yang spontan berkomentar, “Bahas bid’ah
lagi. Memecah belah umat saja.” Untuk kesempatan kali inilah, kami ingin
menjelaskan maksud bid’ah yang sebenarnya agar kaum muslimin tidak salah dalam
memahami kata ini. Semoga Allah memberikan penerangan dan pemahaman kepada kaum
muslimin dalam memahami hal ini.
Dua Muqoddimah yang Perlu Diketahui
Muqoddimah pertama, ketahuilah bahwa agama Islam ini telah sempurna
sehingga tidak butuh adanya penambahan dan pengurangan ajaran lagi. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3).
Muqoddimah kedua, hendaklah seseorang mengetahui bahwa suatu amalan bisa diterima di sisi Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amalan. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, amalan tersebut tidak diterima. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110).
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua
rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim).
Dalil lain yang menunjukkan bahwa syarat diterimanya
amalan bukanlah hanya ikhlas (berniat baik), tetapi juga harus mengikuti
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits: “Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718). Inilah dua muqoddimah yang seharusnya diperhatikan.
Selanjutnya marilah kita memahami istilah bid’ah.
Memahami Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu
tanpa ada contoh sebelumnya (Al Mu’jam Al Wasith). Jadi, bid’ah secara bahasa
itu lebih umum, termasuk kebaikan dan kejelekan karena mencakup segala yang ada
contoh sebelumnya.
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Asy Syaatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang
dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang
dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Allah Ta’ala.
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah definisi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang
menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’
Al Fatawa).
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang
baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.
Catatan:
Jadi, berdasarkan definisi bid’ah secara istilah ini
menunjukkan kepada kita semua bahwa perkara dunia (yang tidak tercampur dengan
ibadah) tidaklah tergolong bid’ah walaupun perkara tersebut adalah perkara yang
baru. Perhatikanlah perkataan Asy Syatibi, “
Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur
ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut
dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam
bid’ah
”(Al I’tishom). Oleh karena itu, komputer, HP,
pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi
yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan
tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu
hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh
sebelumnya. Semoga pembaca memahami hal ini.
Ketahuilah, Setiap Bid’ah adalah Tercela
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud
nomor 4607 dan Tirmidzi nomor 2676. Hadits ini dikatakan Shohih oleh Syaikh Al
Albani).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Ath Thobroniy. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Jika kita telah mengetahui demikian, maka janganlah
ada yang menolak kandungan makna hadits di atas, dengan mengatakan bahwa di
sana ada bid’ah yang baik.
Perhatikanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berikut:
“Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap
kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang
diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam; maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna
berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan
makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina.” (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim)
Umar Berkata, “Inilah Sebaik-Baik Bid’ah”
Para pembela dan pengagung bid’ah seringkali
mengemukakan kerancuan ini dengan mengatakan, “Tidak semua bid’ah itu sesat.
Di sana ada bid’ah yang baik (yaitu bid’ah hasanah).” Mereka berdalil
dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk
melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
(HR. Bukhari no. 2010).
Dengan perkataan inilah, mereka membela beberapa
amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam seperti selamatan kematian, Maulid Nabi, dan beberapa acara bid’ah
lainnya. Perhatikanlah sanggahan berikut ini:
[Sanggahan pertama] Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh
Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i (istilah). Bahkan shalat tarawih
adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan
perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan
shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam.
Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama
beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang
dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’
yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa
itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang
ada contoh sebelumnya. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim).
[Sanggahan Kedua] Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa
ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika
menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah
(pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah
adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang
tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari
perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim).
Mengumpulkan Al Qur’an Termasuk Bid’ah [?]
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara
bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid
bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu
mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya.
Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan
pertama kali masuk neraka.
[Sanggahan] Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang
tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan
itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan
setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk
bid’ah.
Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa-nya berikut:
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak
disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah
wajib ataupun mustahab (dianjurkan). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan
dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil
syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan,
… baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak.” (Majmu’
Al Fatawa).
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya
dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/97) mengatakan,
“Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al
Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa
mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al
Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan
karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten
setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an
tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan
kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena
itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut
bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada
contoh sebelumnya).”
Penutup
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan
pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih
berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian
kecuali Allah.
Sumber: Muhammad
Abduh Tuasikal ; Artikel
Buletin At Tauhid.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmari galakkan bid'ah: http://www.dutaislam.com/2015/12/menggalakkan-bid-bid.html"
BalasHapus