PAI---Perkembangan Mazhab Syafi’i. ---Imam Syafi’i merupakan satu dari sekian banyak Imam Madzhab yang menyandang status Mujtahid Mutlak; satu dari lima imam madzhab yang sampai hari ini masih diikuti oleh banyak orang.
Dalam sejarahnya sendiri, Imam Asy-Syafi’i telah memadukan antara dua madrasah. Madrasah Ahlul Hadis yang direpresantasikan oleh Imamu Daril Hijrah, Malik ibn Anas dan juga Madrasa Ahlur ra’yi yang direpresentasikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam asy-Syafi’i belajar langsung di Madrasah Ahlul Hadis kepada Imam Malik ibn Anas, sedangkan di Madrasah Ahlul Ra’yi, beliau belajar kepada Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani. Sebab, Imam Abu Hanifah meninggal di tahun kelahiran Imam As-Syafi’, 150 Hijriyah.
Fase kemunculan, pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’i telah dikaji oleh banyak pakar semisal Syeikh Muhammad Ibrahim Ahmad Ali dalam risalahnya al-Madzhab ‘inda asy-Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Batawi dalam kitabnya al-Imam asy-Syafi’i fie Madhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, Syeikh Akram Yusuf Umar dalam kitabnyan al-Madzkhal ila Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy dan juga ulama-ulama yang lainnya.
Syeikh Muhammad Ibrahim membagi Madzhab Syaf’i ke dalam empat fase penting. Pertama adalah fase ta’sis. Fase ini dimulai sejak munculnya pendapat-pendapat Imam asy-Syafi’i yang berbeda dengan madzhab dua gurunya, Madzhab Maliki dan Hanafi. Pikiran-pikiran baru Imam Asy-Syafi’i tertuang dalam Qaul Qadim ketika beliau berada di Iraq pada kisaran tahun 195 sampai 199 hijriyah. Juga tetuang dalam Qaul Jadidnya di Mesir pada tahun 199 H sampai wafatnya pada tahun 204 hijriyah.
Fase kedua adalah fase penyebaran. Fase ini dimulai sejak wafatnya sang imam dan berakhir pada paruh akhir abad keenam hijriyah. Fase ketiga adalah fase tahris dan tanqih. Fase ini dimulai dari paru terakhir abad ke enam hijriyah dengan munculnya Imam Abul Qasim, Imam Abdul Karim ar-Rafi’i dan Imam Abu Zakariyah Muhyiddin an-Nawawi. Fase ini membentang sampai akhir abad ke sembilan hijriyah.
Fase terakhir menurut Syeikh Muhammad Ibrahim adalah fase istiqrar. Dimulai dari akhir abad kesembilan dengan kemunculan para imam madzhab syafi’i. Di antaranya adalah Syeikh Zakariya al-Anshari, Syeikh Syihab ar-Ramli, Syeikh Ibn Hajar al-Haitami, Syeikh Syamsuddin ar-Ramli. Dua nama terakhir ini adalah pioner madzhab Syafi’i pada fase ini. Sampai-sampai, jika kedua imam ini telah bersepakat atas suatu hal yang tidak ada kesepakatan sebelumnya antara Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi, maka tidak ada jalan bagi ulama Syafi’iyah yang lain kecuali mengikuti kesepakatan keduanya.
Sama dengan Syeih Muhammad Ibrahim, Syeih Ahmad Nahrawi juga membagi Madzhab Syafi’i ini kedalam empat fase. Pertama adalah fese persiapan dan pembentukan. Fase ini dimulai pasca wafatnya Imam Malik pada tahun 179 hijriyah dan berlanjut sampai pada ziarahnya ke Bagdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 hijriyah. Pada fase inilah kemampuan pikiran Muhammad ibn Idris dalam hal fiqih menemukan ketajamannya setelah bergelut dengan dua madrasah fiqih pada masa tersebut. Fase ini juga, menurut Syeikh Ahmad Nahrawi, adalah fase dimana Imam Asy-Syafi’i mulai menuju kepada tingkatan mujtahid mutlak.
Fase kedua adalah fase kemunculan dan pertumbuhan madzhab qadim. Fase ini bermula saat Imam Asy-Syafi’i mengunjungi Bagdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 hijriyah sampai kepindahan beliau ke Mesir pada kisaran tahun 199 hijriyah.
Pada fase ini, beliau mulai berfatwa dengan pendapatnya dan meninggalkan pendapat gurunya Imam Malik dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani shahibul Imam Abu Hanifa. Fase ini disebut fase kemunculan sebab dalam berfatwa, Imam asy-Syafi’i benar-benar datang dengan sesuatu yang “baru” baik furu’ maupun metode istimbat hukum (Ushul Fiqh). Pada fase ini Imam Asy-Syafi’i telah menulis kitab al-Hujah fi al-Fiqh dan ar-Risalah al-Qadimah al-Iraqiyah dalam bidang Ushul Fiqih. Pemikiran Imam asy-Syafi’i di Iraq ini kemudian menyebar melalui para murid-murinya. Di antara yang paling masyhur adalah Al-Hasan az-Za’farani.
Fase ketiga adalah fase pematangan dan integrasi madzhab baru (Qaul Jadid). Fase ini berlangsung sejak hijrahnya Imam asy-Syafi’i dari Iraq pada tahun 199 H sampai wafatnya pada tahun 204 hijriyah. Kondisi Mesir ternyata berbeda dengan kondisi di Iraq. Beliau menemukan hal-hal baru yang menuntut adanya telaah ulang atas pendapat dan argumen-argumen yang ada pada Qaul Qadim Iraqi. Oleh karena itu, Imam asy-Syafi’i memulai untuk melakukan kritik ra’yi hingga lahirlah Qaul Jadid Misri. Pada masa tela’ah atau otokritik ini, beliau menulis kitabnya yang masyhur, yang sampai saat ini dijadikan rujukan kaum muslimin, Kitab al-Umm dalam bidang fikih dan kitab ar-Risalah al-Mishriyah dalam bidang Ushul Fiqih.
Fase terakhir -menurut ulama yang makamnya ada di Mampang Prapatan ini- adalah fase takhrij dan tadzyil. Fase ini dimulai dari wafatnya sang Imam sampai pertengahan abad kelima atau enam hijriyah. Pada fase ini, para imam dalam madzhab syafi’i mulai melakukan takhrij atas pendapat-pendapat ulama-ulama syafi’iyah sebelumnya dengan cara mencocokkan hasil-hasil istimbat berserta tatacara istimbatnya dengan kaidah-kaidah dasar yang telah digariskan oleh Imam Asy-Syafi’i. Maka, pada fase ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Ibrahim, muncul gerakan tarjih yang dipelopori oleh Imam ar-Rafi’i dan An-Nawawi pada periode tanqih dan tarjih pertama dan Imam Ar-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami pada periode tanqih kedua.
Baca Juga :
0 komentar:
Posting Komentar