INILAH 12 KRITERIA ORANG-ORANG CALON PENGHUNI SURGA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Sisa-Harimanusia---Salah satu di antara pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengimani keberadaan Surga (Al Jannah) & Neraka (An Naar). Salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia & batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman & berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya..” (QS. Al-Baqarah : 24-25).

Allah Ta’ala telah menggambarkan kenikmatan surga melalui berbagai macam cara. Terkadang, Allah mengacaukan akal sehat manusia melalui firman-Nya dlm hadits qudsi, “Kusiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang sholih (di dalam surga), yaitu apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, & tak pernah terlintas dlm hati semua manusia”, kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Bacalah jika kalian mau, ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang’ (QS. As-Sajdah : 17)”[3]. Di tempat lain, Allah membandingkan kenikmatan surga dgn dunia utk menjatuhkan & merendahkannya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Tempat cemeti di dlm surga lebih baik dari dunia & seisinya”.[4] Kenikmatan surga juga Allah Ta’ala gambarkan dgn menyebut manusia yang berhasil memasuki surga & selamat dari adzab neraka, sebagai orang yang beroleh kemenangan yang besar. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan (yang artinya), “Barangsiapa taat kepada Allah & Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dlm surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; & itulah kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa’ : 13).

Hanya orang-orang yang telah mendapat rahmat Allah dan memenuhi kriteria tertentu yang akan dapat memasuki Surga (Al Jannah) ini. Secara umum kriteria calon-calon penghuni surga ini dalam Al Qur'an telah diterangkan, yaitu:

1. Orang yang beriman dan beramal sholeh;
    Hal ini sesuai dengan penegasan Allah SWT, dalam Surat A1 Baqarah, ayat 80:
    "Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya".

2. Orang-orang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya serta bertakwa

3. Orang-orang Islam yang bertakwa dan beriman kepada Allah dan ayat-ayat-Nya.

4. Orang-orang yang takut kepada kebesaran Allah dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu.

5. Orang yang bertakwa, yaitu bertakwa dengan sebenar-benarnya

6. Ikhlas di dalam beramal

7. Menginfaqkan hartanya, baik disaat lapang maupun saat sempit.

8. Orang yang bisa menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain

9. Kalau mengerjakan perbuatan keji dan aniaya diri, mereka ingat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya 

terhadap dosa-dosanya.

10. Orang-orang yang menjaga shalatnya, yaitu menjaga waktu dan syarat serta rukunnya.

11. Orang-orang yang gugur dijalan Allah

12. Orang-orang yang senantiasa bersabar dalam menghadapi cobaan yang menimpa.

Demikianlah 12 kriteria orang-orang calon penghuni surga, semoga bermanfaat, terimakasih, Wassalam...

INILAH 10 BINATANG YANG AKAN MASUK SURGA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Sisa-Harimanusia--Ketika telah tiba hari akhir dan tibalah hari perhitungan dan pembalasan, tidak ada satu makhluk pun yang akan luput dari perhitungan kecuali kehendak-Nya, maka ketika itulah Allah SWT, memberikan keputusan hukum diantara para makhluk, seraya berfirman kepada semua umat, "Seandainya kalian tidak mengingatku dengan nama tersebut, sungguh hendak-Ku panjangkan keputusan hukum ini sampai 100 tahun". Kemudian Allah SWT. mengadili semua hewan buas, hewan ternak sampai pada hewan-hewan bertanduk. Kemudian Allah SWT. berfirman : "Jadilah kalian semua menjadi debu". Ketika terjadi kejadian itu orang-orang kafir berkata : "Alangkah baiknya kalau saya juga menjadi debu saja".

Imam Muqatil berkata : "Ada 10 binatang yang akan masuk surga". Yaitu :
1. Untanya Nabi Sholih
2. Anak sapinya Nabi Ibrahim
3. Kambing gibasnya Nabi Ismail
4. Sapinya Nabi Musa.
5. Ikannya Nabi Yunus
6. Khimarnya Nabi 'Uzair.
7. Semutnya Nabi Sulaiman
8. Burung hud-hudnya Ratu Balqis
9. Untanya Nabi Muhammad SAW
10. Anjingnya Ashabul Kahfi

Untuk Anjing Ashabul Kahfi diriwayatkan bahwa kemudian Allah merubah anjing itu menjadi bentuk kambing gibas, kemudian memasukannya ke dalam surga. Apakah kalian mengetahui, sesungguhnya anjing dapat masuk surga di tengah-tengah para kekasihnya, dan orang yang maksiat tidak ditolak di dalam membawa tauhid selama 50 tahun. Tidak pula tertolak dari rahmat Allah SWT. Sedangkan nama anjing itu diganti dengan lain yaitu: Zaail, Tawaarum, Qidmiir dan Huuban sedang warna anjing itu adalah kuning.

Demikian tentang 10 binatang yang akan masuk surga, semoga bermanfaat. terimakasih.

CARA DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DITEMPUH DALAM MENJATUHKAN TALAK

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Sisa-harimanusia---Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah s.w.t, kita akan membicarakan tentang urusan talak yang harus terjadi dalam kehidupan rumah tangga antara suami dan seorang istri yang akan diceraikannya. Tetapi sebelumnya kita harus mengingat kembali bahwa talak adalah sesuatu yang tidak disenangi Allah. Bahwa talak merupakan hal yang sah dan halal yang tidak disukai Allah. Karena itulah banyak sekali hal-hal yang harus dilakukan dan dianjurkan dilaksanakan dalam menyelesaikan masalah tanpa menjatuhkan talak. Bila terjadi pertikaian anta suami isteri, sang suami mulai memberikan pengarahan yang baik, kemudian meninggalkan tempat tidur. Kalau tidak bisa, diberi pelajaran yang agak keras, sampai kepada persidangan kekeluargaan yang berusaha untuk menjernihkan segala masalah dan mengembalikan perasaan kasih sayang. Sebagai tambahan atas itu, bila semua sarana untuk menyelesaikan persoalan sudah habis kecuali talak dan agar ada kesempatan kembali bagi masing-masing pasangan sebelum terjadi hal-hal yang tidak terpuji , seperti perceraian yang barangkali untuk selama-lamanya. Maka Islam menjadikan talak beberapa tahap :

1. Tahap pertama :
Dianjurkan kepada laki-laki bila menceraikan isteri dengan talak satu, dalam keadaan suci dari haid dan belum terjadi hubungan seks. Dalam keadaan seperti ini, suami boleh kembali (rujuk) kepada isterinya dan bergaul seperti biasa tanpa (mengulangi) akad nikah, mas kawin dan saksi. Ini, bila isteri tersebut masih dalam masa idah.

Adapun bila sang suami belum memberitahukan bahwa ia kembali kepada isterinya kecuali sesudah berakhir masa idah, maka hal itu sudah menjadi ba'inah, maksudnya suami tidak boleh kembali kecuali dengan persetujuan (bekas) isteri tersebut, serta dengan mas kawin dan akad nikah baru.

2. Tahap kedua :
Jika suami kembali kepada isteri sesudah talak pertama, kemudian timbul lagi pertikaian baru antara mereka, maka tibalah tahap kedua dan dimulai lagi upaya penyelesaian sebagai langkah langkah lain untuk menjernihkan masalah dan mengembalikan kerukunan.  Kecuali bila keadaan menuntut yang tidak diharapkan dan perceraian harus terjadi, maka dianjurkan juga kepada suami untuk menceraikan isterinya dengan talak satu dalam keadaan suci dari haid dan belum melakukan senggama. Itu, demi memberikan kesempatan kedua bagi mereka, barangkali masing-masing merasakan akibat perceraian tersebut dan memikirkan apa yang akan terjadi seandainya mereka tidak berbaik sesudah perceraian yang kedua ini. Pada kondisi ini, hukumnya sama dengan talak pertama, yaitu apabila suami kembali kepada isterinya sesudah talak kedua ini, tanpa maskawin, akad nikah dan saksi, selama isteri tersebut masih dalam masa idah. Kalau sudah habis masa idahnya, suami boleh juga kembali tetapi dengan persetujuannya dan dengan akad nikah serta maskawin yang baru.

3. Tahap ketiga :
Bila suami kembali kepada isterinya sesudah talak yang kedua dan terjadi lagi pertikaian yang tidak mungkin diselesaikan, maka talaklah yang merupakan penyelesaian terakhir dari pertengkaran mereka. Di sini juga dianjurkan kepada suami menceraikan isterinya dengan talak satu dalam keadaan suci, dan belum digaulinya. Dengan ini, berarti perceraian mereka sudah merupakan talak ba'inah, tidak boleh kembali lagi kecuali sesudah habis masa idahnya dan kawin dengan lelaki lain secara sah, kemudian bercerai pula. Setelah itu ia boleh kembali lagi dengan persetujuannya dan dengan akad nikah, saksi serta maskawin baru.

Lafal Talak :

Lafal talak banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur'an, diantaranya dalam firman Allah s.w.t :

"Wahai Nabi bila kamu menceraikan perempuan-perempuan, hendaklah kamu ceraikan sewaktu mulai idahnya." (Q.S. Thalaq. ayat 1).

Ini sebenarnya bukan berarti terjadi perceraikan dengan lafal talak tertentu, bila seorang suami mengatakan kepada isterinya dengan niat talak: Persoalanmu terpulang kepadamu, atau kawinlah dengan siapa yang kamu senangi, atau kamu bukan perempuanku, lafal-lafal seumpanya yang memberikan talak/cerai. Sebab, yang dipegang adalah maksud/tujuan, sedangkan niat adalah merupakan suatu hal yang prinsipil dalam amal/perbuatan seorang muslim. Rasulullah s.a.w bersabda:
"Segala perbuatan sesungguhnya (ditentukan) oleh niat, dan setiap orang (mendapatkan) sesuai dengan niatnya".

Demikian tentang cara dsan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menjatuhkan talak, semoga bermanfaat untuk kita semua. Wassalam..

http://sisa-harimanusia.blogspot.com/

TATA CARA MAKMUM MENGIKUTI IMAM DALAM SHOLAT BERJAMAAH

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

TATA CARA MAKMUM MENGIKUTI IMAM

Oleh
Ustadz Musyaffa
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah tercipta dan tampak indah, bisa saling ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat bagi yang meninggalkannya.
Karena pentingnya syiar ini, menjadi penting pula mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengannya. Dan dalam tulisan ringan ini, penulis akan sedikit membahas tentang mengikuti imam dalam shalat berjamaah dan beberapa masalah yang berhubungan dengannya.
Banyaknya fenomena yang bermunculan dengan semarak dan pesatnya perkembangan teknologi dan pertumbuhan penduduk sehingga terkadang masjid-masjid tidak dapat menampung jamaah yang shalat. Lalu muncullah pemikiran untuk menggunakan teknologi tersebut untuk memudahkan orang shalat berjamaah, sehingga tidak harus berdiri di belakang imam untuk bisa mengikuti shalat berjamaah. Hal ini akan tampak jelas pada keadaan masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah, baik dalam shalat wajib ataupun sunnah. Di bulan Ramadhan, akan tampak sekali banyaknya jamaah yang shalat di hotel yang berdampingan dengan masjid dengan melihat layar televisi yang menyiarkan langsung gerakan imam dan suaranya terdengar jelas.
Dengan teknologi yang ada, seseorang dapat melihat semua gerakan imam dan dapat menirunya. Fenomena mengikuti ini berkembang dan perlu diberikan ketentuan dan hukum, agar kaum Muslimin dapat melaksanakan shalat berjamaah dengan mudah dan sah.
Mengikuti imam (mutaba’ah imam) dalam shalat berjamaah adalah salah satu kewajiban yang perlu sekali dijelaskan dan ditekankan, seiring dengan jauhnya kaum Muslimin di zaman ini dari pelita sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
A. MAKSUD DAN HUKUM MENGIKUTI IMAM.
Yang dimaksud dengan “mengikuti imam” atau mutâba’atul imâm dalam pembahasan ini adalah mengikuti gerakan-gerakan imam shalat, dengan tanpa mendahuluinya, atau membarenginya, atau telat dalam mengikutinya. Dari definisi ini kita bisa membagi makmum dalam mutâba’tul imam menjadi empat keadaan yaitu (1) mengikuti gerakan imam dengan segera, (2) mendahului gerakan imam, (3) membarengi gerakannya, dan (4) terlalu terlambat dalam mengikuti gerakan imam.

Mutâba’tul imam secara umum hukumnya wajib, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
Sesungguhnya imam dijadikan agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya! Apabila ia sudah bertakbir, maka bertakbirlah kalian…”[1].
Dalam hadits ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk mengikuti atau mengiringi gerakan imam, dan perintah dalam nash syariat pada asalnya menunjukkan arti wajib. Dengan ini, diketahui bahwa mengikuti gerakan imam itu hukumnya wajib.
Wajibnya mengikuti imam juga ditunjukkan oleh adanya larangan dan ancaman bagi mereka yang mendahului gerakan imam, sebagaimana telah disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي إِمَامُكُمْ، فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ، وَلَا بِالْقِيَامِ، وَلَا بِالِانْصِرَافِ!
“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dengan rukuk, sujud, berdiri, dan salam!”.[2]
Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bahkan seandainya ada yang mengatakan bahwa perbuatan ‘mendahului imam’ itu termasuk dosa besar, maka pendapat itu tidak jauh (dari kebenaran), karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ أَوْ لَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ
Tidak takutkah orang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allâh ubah kepalanya menjadi kepala keledai ?! atau Allâh ubah bentuknya menjadi bentuk keledai ?[3]
Ini merupakan ancaman, dan ancaman termasuk tanda-tanda dosa besar”.[4]
Disampaing akibat buruk di atas, mendahului imam juga dapat membatalkan shalat makmum bila disengaja, karena adanya larangan dalam hal ini. Dan pada asalnya, suatu larangan dalam nash syariat menunjukkan rusaknya sesuatu yang terlarang tersebut. Adapun bila tidak disengaja, maka shalatnya tetap sah, namun ia harus kembali ke posisi sebelumnya untuk mengikuti imamnya.
Mutaba’atul imam yang sempurna adalah dengan mengikuti atau mengiringi gerakan imam, segera setelah imam selesai melakukan gerakannya. Misalnya ketika kita akan ruku’, maka hendaknya kita menunggu hingga imam sudah dalam keadaan ruku’ dengan sempurna, setelah itu makmum bersegera melakukan ruku’. Begitu pula gerakan-gerakan shalat lainnya, seperti sujud, duduk diantara dua sujud, bangkit dari duduk dan lain sebagainya. Hal ini telah ditegaskan dalam banyak hadits, diantaranya :
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ… وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ.
Jika imam telah bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan janganlah kalian bertakbir hingga ia bertakbir ! Jika imam telah ruku’, maka ruku’lah kalian, dan janganlah kalian ruku’ sehingga imam melakukan ruku’ ! … Dan jika ia telah sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian sujud sehingga ia bersujud !” [5]
Barâ’ bin ‘Âzib mengatakan, “Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ‘sami’allâhu liman hamidah’, kami masih tetap berdiri hingga kami melihat beliau benar-benar telah meletakkan wajahnya di tanah, baru kemudian kami mengikutinya.”[6]
Dalam redaksi lain dikatakan, “Sungguh dahulu mereka (para sahabat) shalat di belakang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkat kepalanya dari rukuk, aku tidak melihat seorangpun membungkukkan dadanya, sehingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan dahinya ke tanah, kemudian barulah orang-orang yang di belakang beliau bersujud.”[7]
Adapun membarengi imam, maka mayoritas Ulama memakruhkannya, kecuali dalam takbîratul ihrâm, maka itu dapat membatalkan shalat makmum, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah , “Jika seorang makmum melakukan takbîratul ihrâm sebelum imamnya atau bersamaan dengan imam, maka shalatnya tidak sah, karena si makmum menggantungkan atau mengikatkan shalatnya dengan shalat imam sebelum shalat imam tersebut dimulai, sehingga shalatnya makmum menjadi tidak sah”.[8]
Sedangkan telat dalam mengikuti imam, maka hukumnya berbeda sesuai dengan keadaan orang makmum :
1. Pertama, bila makmum mempunyai udzur, seperti usianya lanjut, atau sakit, atau udzur lainnya, maka shalatnya tetap sah, tetapi ia harus melakukan semua rukun shalat tersebut, walaupun terlambat sampai dua rukun atau lebih. Namun bila terlambatnya sampai satu rakaat penuh, maka ia harus mengikuti imamnya pada rakaat berikutnya dan harus menambah satu rakaat setelah imamnya salam; yaitu untuk mengganti rakaat yang tertinggal karena udzur tersebut.
Kedua, bila si makmum tidak memiliki udzur dan disengaja, sedangkan terlambatnya tidak sampai satu rukun, maka hukumnya makruh. Tetapi, bila terlambatnya sampai satu rukun atau lebih, maka shalatnya batal, sebagaimana bila ia mendahului imam dengan sengaja. Wallâhu a’lam.[9]
Selanjutnya, apakah perintah mengikuti imam itu juga mencakup semua tindakan dan bacaan hingga sifat-sifat detailnya ? Misalnya:
(1). Saat berdiri, ketika imam meletakkan tangan di bawah pusar, bukan di atas dada, apakah makmum juga diperintahkan untuk melakukan hal yang sama ?
(2). Saat i’tidâl, ketika imam menyedekapkan tangannya, apakah bagi makmum yang -misalnya- berpendapat lebih afdhal menjulurkan tangannya, dianjurkan untuk mengikuti imam dalam bersedekap ?
(3). Saat duduk tasyahud awal, ketika imam duduk dengan cara tawarruk, bukan dengan iftirasy, apakah makmum juga diperintahkan untuk duduk dengan cara yang sama, dan seterusnya…?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, maka perlu merujuk kembali kepada hadits yang berkaitan dengan perintah mengikuti imam.
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَاصَلَّى قَائِمًا، فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا، فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ
Sesungguhnya imam dijadikan agar diikuti, maka jika ia sudah bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Jika ia sudah rukuk, maka rukuklah kalian. Jika ia sudah mengucapkan “sami’allâhu liman hamidah”, maka ucapkanlah “Rabbana lakal hamdu”. Jika ia shalat dengan berdiri, maka shalatlah kalian dengan berdiri. Dan jika ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk semuanya.[10]
Dengan memperhatikan hadits ini, menunjukkan bahwasanya perintah mengikuti imam hanya pada hal-hal yang global saja, seperti takbîr, rukû’, berdiri dan duduk. Adapun sifat detail dari setiap gerakan dan ucapan imam, maka tidak disinggung dalam hadits tersebut, sehingga hal ini mengandung isyarat bahwa kita tidak diperintahkan mengikuti setiap detail gerakan dan ucapan imam. Bila hal itu diperintahkan, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyinggungnya dalam hadits ini, karena tidak bolehnya menunda penjelasan suatu hukum saat hokum tersebut dibutuhkan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun makna sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya imam dijadikan agar diikuti,’ menurut Imam Syâfi’i rahimahullah dan sekelompok Ulama, ialah dalam perbuatan-perbuatan yang jelas terlihat.”[11]
Dan lagi, memasukkan sifat detail setiap gerakan dan ucapan dalam perintah mengikuti imam akan sangat memberatkan makmum. Tentunya syari’at tidak menginginkan hal itu, wallâhu a’lam.[12]
B. BEBERAPA MASALAH KONTEMPORER DALAM MUTABA’ATUL IMAM.
Seiring berkembangnya teknologi, bermunculan pula masalah-masalah fikih baru yang berhubungan dengannya. Tidak terkecuali dalam masalah mutaba’atul imam, ada beberapa kasus baru yang muncul karena adanya perkembangan teknologi tersebut, diantaranya:

1. Bermakmum dengan perantara layar untuk melihat gerakan imam.
2. Bermakmum dengan perantara radio.
3. Bermakmum di rumah samping masjid dengan perantara speaker luar masjid.
4. Kaum wanita yang ikut berjama’ah atau menjadi makmum dengan menggunakan pembatas penuh.
5. Bermakmum di lantai yang berbeda dengan lantai imam, dan masalah-masalah lain yang serupa.

Untuk mengetahui hukum dari masalah-masalah di atas, kita perlu mengetahui syarat sahnya bermakmum. Memang terdapat banyak pendapat dalam masalah ini, namun pendapat Ulama yang kuat -menurut penulis- dalam masalah ini yaitu pendapat yang mengatakan :
Jika seorang makmum berada di satu masjid dengan imam, maka selama dimungkinkan untuk mengikuti imamnya -dengan cara apapun- maka itu sudah cukup, dan ia boleh bermakmum dengan imamnya … Adapun jika seorang makmum berada di luar masjid, maka ada satu syarat tambahan, yaitu shafnya harus bersambung dan tidak terputus.[13]
Berdasarkan pendapat ini, kita mencoba menjawab masalah-masalah di atas :
1. Pertama. Hukum bermakmum dengan perantara layar.
Apabila si makmum berada di satu masjid dengan imam, maka shalatnya sah, selama ia bisa mengikuti gerakan imam melalui layar tersebut, meskipun shafnya tidak bersambung, walaupun ia tidak dapat mendengar suara imam.
Adapun bila si makmum berada di luar masjid, maka shalatnya tidak dinyatakan sah, kecuali bila shafnya bersambung, meskipun ia bisa melihat gerakan imam dan dapat mendengar suara imam melalui layar tersebut.

2. Kedua. Hukum bermakmum dengan perantara radio.
Apabila si makmum berada di satu masjid dengan imamnya, selama ia bisa mengikuti gerakan imam dengan perantara radio tersebut, maka shalatnya sah, meski shafnya terputus, ataupun ia tidak dapat melihat imamnya atau para makmum yang ada di belakang imamnya.

Sedangkan jika makmum tersebut berada di luar masjid, maka shalatnya tidak akan sah, kecuali jika shafnya tidak terputus, meskipun ia bisa mengikuti gerakan imam dengan perantara radio tersebut.
3. Ketiga. Hukum bermakmum di rumah samping masjid dengan perantara speaker masjid.
Bila shaf makmum bersambung dan tidak terputus hingga ke rumah tersebut, dan si makmum bisa mengikuti gerakan imam dengan suara yang keluar dari speaker tersebut, maka shalat jama’ahnya sah.

4. Keempat. Hukum jama’ah perempuan yang bermakmum di balik pembatas yang penuh.
Selama mereka (jama’ah perempuan) bisa mengikuti gerakan imam, baik melalui suara atau layar, maka shalat berjama’ahnya sah, meski shafnya terputus dan ia tidak dapat melihat imam atau jama’ah yang ada di belakang imam.

5. Kelima. Hukum bermakmum di lantai yang berbeda dengan lantai imam.
Apabila dimungkinkan untuk mengikuti imam di lantai tersebut, maka hukum lantai tersebut sama dengan hukum lantai imamnya. Karena dalam bermakmum tidak ada syarat harus melihat imam atau makmum yang ada di belakangnya. Yang disyaratkan hanyalah dimungkinkannya bagi si makmum mengikuti imam, baik melalui suara maupun melalui layar, wallâhu a’lam.

Dari beberapa contoh kasus di atas dan jawabannya, tentu akan bisa terjawab juga kasus-kasus lain yang serupa. Dan pada akhir tulisan ini, penulis sebutkan perkataan sebagian ulama yang dapat lebih menjelaskan permasalahan tersebut.
Syaikh Utsaimin rahimahullah menyatakan:
Yang benar dalam masalah ini, bahwasanya bersambungnya shaf diharuskan bagi orang yang bermakmum di luar masjid. Apabila shafnya tidak bersambung, maka shalatnya tidak sah… Dengan keterangan ini, terjawablah fatwa sebagian orang pada zaman ini yang membolehkan mengikuti imam di belakang radio…

Pendapat ini memiliki konsekuensi, bolehnya kita tidak shalat Jum’at di masjid-masjid jami’, karena kita bisa bermakmum dengan imam Masjidil-Haram, karena jumlah jama’ahnya lebih besar, sehingga itu lebih afdhal… Lalu jika ada televisi yang dapat menampilkan shalat secara langsung, tentunya lebih afdhal lagi…
Namun pendapat ini tidak diragukan lagi kebatilannya, karena itu akan menghilangkan (syariat) shalat jamaah ataupun shalat Jum’at, tidak ada lagi shaf yang bersambung; dan (pendapat ini) jauh (dan tidak selaras) dengan tujuan disayariatkannya shalat Jumat dan shalat jama’ah.
Orang yang shalat di belakang radio, (berarti) ia shalat di belakang imam yang tidak di depannya, bahkan keduanya dipisahkan jarak yang jauh. Ini membuka pintu keburukan, karena orang yang meremehkan shalat Jumat akan berkata “selagi shalat (jama’ah) di belakang radio dan TV sah, maka saya ingin shalat di rumahku, bersama anakku, atau saudaraku, atau orang lain …”.[14]
Al-Lajnah ad-Da’imah juga menfatwakan:
(Seseorang yang berjama’ah di rumah mengikuti speaker dari masjid, padahal antara imam dan makmum tersebut tidak bersambung sama sekali), maka shalatnya tidak sah. Demikian ini pendapat ulama madzhab Syafi’i, dan ini juga pendapat Imam Ahmad; kecuali bila shaf-shafnya bersambung hingga ke rumahnya, dan dimungkinkan untuk mengikuti imam dengan melihat dan mendengarkan suaranya, maka shalatnya sah, sebagaimana dihukumi sah shalat bagi orang-orang yang berada di shaf-shaf yang bersambung hingga rumahnya. Adapun tanpa syarat tersebut, maka shalatnya tidak sah, karena wajib bagi seorang muslim untuk shalat berjamaah di rumah-rumah Allah Azza wa Jalla bersama saudara-saudaranya seiman.[15]

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis, pembaca, dan kaum muslimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri, hadits no: 722, dan Muslim, hadits no: 414.
[2]. HR. Muslim, hadits no: 426
[3]. HR. al-Bukhâri, hadits no: 691, dan Muslim, hadits no: 427.
[4]. Lihat Asy-Syarhul Mumti’ 4/181
[5]. HR. Abu Dawud, hadits no: 603, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani rahimahullah
[6]. HR. Muslim, hadits no: 474.
[7]. HR. Muslim, hadits no: 474.
[8]. Lihat al-Majmû’ (4/234)
[9]. Lihat asy-Syarhul-Mumti’, 4/180-190.
[10]. HR Muslim, hadits no. 417.
[11]. Lihat Syarah Muslim, karya Imam Nawawi, 4/134.
[12]. Lihat penjelasan Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam masalah ini dalam kitab asy-Syarhul-Mumti’, 2/318-320.
[13]. Tentang syarat bermakmum ini, syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa pendapat yang râjih adalah harus memenuhi dua syarat : mendengar takbir dan bersambung shaf (barisan)nya. (Syarhu al-Mumti’ 4/423).
[14]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/299-300.
[15]. Fatawa Lajnah Da’imah, 8/32.
Sumber: https://almanhaj.or.id/4127-tata-cara-makmum-mengikuti-imam.html

BOLEHKAH WANITA IKUT SHALAT BERJAMAAH DI MASJID ?

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam atas hamba dan Rasul-Nya yang menerangi hati dari kegelapan, menuntun jiwa dari kebingungan, dan menunjuki akal dari kesesatan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada para khalifah beliau, yang setia mengikuti metodenya, dan menyebarkan da'wahnya sampai hari kiamat.

Masalah wanita ikut berjamaan di masjid banyak jadi perdebatan di masyarakat. menurut aturan dan hukum Islam pada dasarnya wanita boleh ikut shalat berjamaah di masjid, dengan syarat dilarang berdandan yang bisa menimbulkan fitnah.  Akan tetapi, bila ia shalat di rumah itu adalah lebih baik dan utama, berdasarkan hadist yang dirawikan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dan Ummi Hamid As-Sa'adiyah, bahwa ia datang kepada Rasulullah S.A.W mengatakan: "Wahai Rasul Allah, saya ingin shalat bersamamu. Lalu Rasulullah bersabda:

"Kamu sudah tahu, bahwa shalatmu di kamarmu lebih afdal dan shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih afdal dari shalatmu di masjid berjamaah (umum)."

Masalah wanita ikut shalat berjamaah di masjid ini, kita sudah sering mendengar tentang pembahasannya. Sejak zaman nubuwwah, kehadiran wanita untuk shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kata beliau:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya berkata: ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak [1]. Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid:
“Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata:
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870)

Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868)

Beberapa hadits di atas cukuplah menunjukkan bagaimana keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa hukum shalat berjamaah bagi wanita?

Dalam hal ini wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan: “Telah berkata teman-teman kami bahwa hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah bagi wanita dan beliau menekankan bahwa shalatnya wanita di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (Al-Mughni, 2/18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita:
“Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 442)

Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
“meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan dalam Al-Misykat no. 1062)

Dalm Nailul Authar, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas: “Yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid, seandainya mereka mengetahui yang demikian itu. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya sehingga meminta ijin untuk keluar berjamaah di masjid, dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah, yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan bersolek.”[2] (Nailul Authar, 3/168)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan hadits: “meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu fatwanya: “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan aku katakan: ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal ini dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath (bercampur baur tanpa batas) bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati maa Yuhammul Mushallin, hal. 570)

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di rumahnya. Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama dua puluh lima (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh derajat)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)

Dalam hal ini Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menegaskan bahwa keutamaan 25 atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat berjamaah di masjid dikarenakan beberapa perkara yang tidak mungkin didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari, 2/165-167)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah meriwayatkan akan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)

Dengan demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan 25 atau 27 derajat, akan tetapi mereka yang melakukannya mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya, secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di masjid, wallahu a’lam.

MAHAR (MASKAWIN) DALAM PERNIKAHAN ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam atas hamba dan Rasul-Nya yang menerangi hati dari kegelapan, menuntun jiwa dari kebingungan, dan menunjuki akal dari kesesatan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada para khalifah beliau, yang setia mengikuti metodenya, dan menyebarkan da'wahnya sampai hari kiamat.

Dalam pernikahan kita mengenal syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut tuntunan Islam. Apa yang yang dimaksud dengan mahar/maskawin adalah, suatu benda yang diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan setelah ada persetujuan untuk kawin, dengan imbalan lelaki tersebut dapat menggaulinya. Mahar ini adalah hak milik isteri sendiri, orang lain tidak berhak menggunakan tanpa persetujuannya. Mahar ini boleh berbentuk emas atau perak, dan boleh juga uang kertas, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan (ternak).

Sebaiknya mahar itu sesuatu yang mudah mendapatkannya. Dalam hal ini kita bisa mencontoh Rasulullah,SAW, dalam satu riwayat dari Abdu 'llah Ibnu 'Abbas r.a. Bahwa 'Ali bin Abi Thalib r.a sewaktu kawin dengan Fatimah puteri Rusulullah s.a.w. Rasulullah berkata kepada Ali:

"Berilah ia (Fatimah) sesuatu! 'Ali menjawab: 'Aku tidak punya apa-apa.' Beliau bersabda: 'Dimana baju besimu."

Mahar dapat juga tidak berbentuk materi. Seperti yang dirawikan oleh Sahal bin sa'd, bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah menawarkan dirinya agar dikawini, lalu beliau melihat perempuan itu, kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. 

Seorang sahabat beliau menawarkan dirinya minta dikawinkan dengan perempuan tersebut, lalu Rasulullah menanyakan apakah ia mempunyai sesuatu untuk mahar, lelaki itu mengatakan tidak ada. Ia disuruh untuk menemui keluarganya yang barangkali ada memiliki sesuatu, kemudian lelaki itu kembali dan mengatakan bahwa keluarganya tidak dapat memberikan sesuatu barang apapun. Rasulullah s.a.w masih saja menyuruhnya pergi menemui keluarganya, mudah-mudahan mereka mempunyai sesuatu, walaupun cicin besi.

Lelaki itu pergi dan kembali lagi seraya mengatan, demi Allah tidak satupun yang ada. Tetapi ia mempunyai kain sarung dan mamu memberikannya separoh untuk mahar. Beliau mengatakan bagaimana dengan sarungmu itu? Kalau kamu pakai tentu ia tidak dapat apa-apa, dan kalau ia pakai tentu kamu tidak pakai apa-apa. Lelaki itu duduk termenung agak lama, kemudian ia bangkit dilihat dan dipanggil oleh Rasulullah, ia datang, lalu beliau menanyakan: "Apakah kamu ada menghapal Al Qur'an? ia menjawab: "Saya ada menghafal beberapa surat." Beliau bertanya lagi: "Bisakah kamu membacanya di luar kepala?"

Ia menjawab: "Bisa." Rasulullah s.a.w bersabda:

"Pergilah, aku kawinkan kamu dengannya dengan (maha) Al Qur'an yang kamu hafal."

Mahar yang telah disepakati boleh diserahkan sewaktu akad nikah, separoh atau sebagiannya. Tetapi, sesudah terjadi hubungan suami istri (senggama) mahar tersebut wajib dibayar penuh atau semuanya. Dan jika terjadi perceraian sebelum kedua mempelai melakukan hubungan suami istri, sang istri hanya berhak mengambil mas kawin itu separoh. Hal ini disepakati oleh para ulama, dan separoh lagi dikembalikan kepada suami. Kecuali isteri tersebut melepaskan haknya, maka suami boleh mengambil kembali semua, atau suami yang melepaskan haknya, maka isteri juga boleh mengambil semua. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t :

"Bila kamu menceraikan perempuan sebelum kamu setubuhi, sedangkan kamu telah menentukan maskawinnya, maka untuk perempuan itu separoh dari yang telah kamu tentukan, kecuali bila dimaafkannya, atau dimaafkan orang yang ditangannya akad nikah (lelaki)." (Al-Baqarah 237).

Dalam aturan Islam ini, Islam menganggap penyerahan hak ini dari pihak lelaki atau dari pihak perempuan sebagai suatu pendekatan diri kepada Allah S.W.t, dan termasuk sifat yang baik dan luhur. Hal ini terkandung dalam firman Allah:

"...Dan bila kamu maafkan, (itu) labih dekat ke pada taqwa, dan janganlah lupa kebaikan sesamamu." (Al-Baqarah 237).

Artinya, janganlah perceraian menyebabkan kamu lupa tentang keakraban, persaudaraan dan kasih sayang antara sesamamu.  

KEUTAMAAN BERZIKIR "LAA ILAHA ILALLAH"

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dalam hidup ini kita dianjurkan untuk selalu berzikir, bertasbih kepada Allah SWT. Kalimah ‘La Ilaha Illallah’ berisi penuh seluruh tasbih, tahmid dan takbir atau segala pujian kepada Allah SWT. Berzikir akan mendorong tubuh bergerak atau harakah secara hakiki. Hal ini tentu saja sukar dijelaskan dalam penjabaran lidah kita yang terbatas. Dalam tasawuf, harakah ini disusun begitu rupa sehingga menimbulkan rentak berbaris demi proses taqarrub. Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Kalimat Tauhid (Laa ilaha illallah) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung."

Tapi  tahukah kita ternyata keutamaan kalimat tauhid atau tahlil ini sungguh luar biasa, berikut adalah beberapa keutamaan kalimat tahlil "Laa ilaha ilallah" :

1. Kalimat 'Laa ilaha illallah' merupakan harga surga, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,"Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah 'lailaha illallah', maka dia akan masuk surga" (HR. Abu Dawud 1621)

2. Kalimat 'Laa ilaha ilallah' adalah kebaikan yang paling utama, Abu Dzar berkata,"Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal." Lalu Abu Dzar berkata lagi, "Wahai Rasulullah, apakah 'laa ilaha illallah' merupakan kebaikan?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan."

3. Kalimat 'Laa ilaha illallah' adalah dzikir yang paling utama, Dari Jabir rodhiyallohu 'anhu , dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam beliau bersabda : "Dzikir yang paling utama adalah laa ilaha illallah, dan doa yang paling utama adalah alhamdulillah."(HR. Ibnu Majah, An Nasa'I - Shohih Targhib wa Tarhib : 1526 )

4. Kalimat 'Laa ilaha ilallah' adalah pelindung api neraka, Dari Umar rodhiyallohu 'anhu ia berkata : saya mendengar Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda : "Sungguh aku akan mengajarkan sebuah kalimat, tidaklah seorang hamba mengucapkannya dengan benar dari hatinya, lalu ia mati diatas keyakinan itu, kecuali (Allah) mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Yaitu kalimat laa ilaha illallah. (HR. Hakim - Shohih Targhib wa Tarhib : 1528 ). Suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wa salam mendengar muadzin mengucapkan 'Asyhadu alla ilaha illallah'. Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi, "Engkau terbebas dari neraka."(HR. Muslim no. 873)

5. Kalimat 'Laa ilaha illallah' adalah dzikir dan perantara doa, Dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam beliau bersabda : Musa berkata : Wahai Tuhanku ajarkanlah kepadaku sesuatu, yang aku akan berdzikir dan berdoa kepadaMu dengannya. Allah berfirman : Wahai Musa ucapkanlah Laa ilaha illallah. Musa berkata : Wahai Tuhanku seluruh hambaMu mengucapkan kalimat ini. Allah berfirman : Wahai Musa ! Seandainya langit tingkat tujuh dan apa yang ada didalamnya serta bumi tingkat tujuh selain Aku diletakkan di suatu timbangan, dan laa ilaha illallah diletakkan di timbangan yang lain, maka akan berat timbangan laa ilaha illallah." (HR. Ibnu Hibban, Hakim - Fathul Bari : 11/28 )

6. Kalimat 'Laa ilaha ilallah' menunda kiamat, Dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu ia berkata : Rasulullah sholallohu'alaihi wassalam bersabda : "Tidak akan terjadi kiamat (apabila) masih ada orang yang menyebut laa ilaha illallah".(HR. Ibnu Hibban, - Ta'liqotul Hisan : 6809, Ash Shohihah : 3016).

7. Dzikir Laa ilaha illallah pahalanya paling banyak,Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,"Barangsiapa mengucapkan 'laa il aha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syay-in qodiir' [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian.Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu." (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018).

Dan masih banyak lagi keagungan – keagungan dzikir tahlil "Laa ilaha illaallah", marilah kita berdzikir "laa ilaha illaallah" sebanyak – banyaknya dengan hati yang tulus ikhlas diwaktu pagi dan petang, sebagaimana firman Allah "Wahai orang – orang beriman, berdzikirlah kepada Allah, sebanyak – banyaknya." (Al- Ahdzab:41).

Dengan ini jelaslah keutamaan dzikir 'laa il aha illallah' sebagai kunci kebaikan dan adabnya. Mudah-mudahan yang sedikit ini dapat bermanfaat. Wassalam...

Cari Artikel