Pembahasan
seputar Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa.
Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama
itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas
yang dikehendaki oleh Allah.
Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana
keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi
yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada
golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan
hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy
ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut
tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai
masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.
Semoga bermanfa'at bagi kita semua.
* * *
A.
Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Definisi
Hadits Ahad
adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga
tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan
oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila
diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz.
Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak
mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits
yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama
muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya
hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421
H)
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau
Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan
yaqin)?
I. Pendapat Pertama:
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI
(BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam
Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR
SAMA SEKALI.
IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits)
dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits
yang diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan
terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan
berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu
(hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI
Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana
mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita
yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal
hobi berbohong dan suka lalai.
II. Pendapat Kedua
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI
(BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih
(Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan
Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka
pendapat yang justeru sepakat dengan PENDAPAT KETIGA nanti.
Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli
Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.
SYUBHAT MEREKA
Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid atau
Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya, tidak mendapatkan
pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya atas kebohongannya
namun tanpa dapat memastikan.
JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT
Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar
al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami
informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa
antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda
tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri
anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah
pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini
dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu
kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang
memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan
mencarinya.
Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts
Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk
itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan
biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan
anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui:
"Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi
ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya
dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi
ilmu kepada anda.
Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi
ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah
menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari
hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).
III. Pendapat Ketiga
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT
KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT
Inilah pendapat YANG SHAHIH.
Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in
(dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa
jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir
(pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal
ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca:
belecekan) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi
banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat
(al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama
terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam
Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada
yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh
seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas
memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas
Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini,
antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA
Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini
banyak sekali, diantaranya:
1.
Membeda-bedakan
antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam
menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak
didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal
oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan
oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui
pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula
sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan
oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling
membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang
dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun
dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada
mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan
informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa
menjadi Mutawatir.
Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu
informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama
sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd.
Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati
di dalam menerima informasi.
Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan
informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab,
pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan
informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia
sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma'
para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
2.
Rasulullah
pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk
menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar
yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan
yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan
seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari
kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan
kesia-siaan seperti itu.
3.
Ketika
ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat
shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah
Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan
hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke
belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan
Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu
orang.
Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu,
bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
B.
Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah
Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts
Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin),
melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh
berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat
Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di
dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat
dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat
bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap
bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam
(Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy
al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI
Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya
bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil
penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)
sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut
hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam
masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy
(tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM MASALAH INI
1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam
berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan BID'AH
(mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf).
Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras
sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl
al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti
itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan
lain sebagainya.
2. Adanya
khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa
Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke
pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan
selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu,
hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada
Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول
ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا
الله ...""
Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal
pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah
kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,
"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq
disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam
berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak
pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah
dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua
statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh
Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak
ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan
dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus
Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul,
amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada
konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau
dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :
"…jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)
Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan
'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh
'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)
C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam
asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah
(pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap
sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan
karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
Dimasa
hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu
menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama,
mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah
kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang
mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.
Beliau
menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua
tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak
menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat
independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap
kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat
berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan
kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak
kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya
saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja
dengan kelompok pertama.
Sedangkan
terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi
yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Di
dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya
tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen
sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak
yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan
alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
b.
Bahwa
di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan
nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya
adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka
mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala)
tetap mewajibkan hal itu.
c.
Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya untuk
menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang
saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang
hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga
menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu
dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang
yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia
tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)
d.
Para
shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan
tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah
diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd.
(Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy;
pembelaannya terhadap as-Sunnah)
D. Fatwa Ulama Kontemporer
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap
hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah
menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad
tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya
memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak
dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam
ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini
dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
1.
Pendapat
bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat
digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil)
dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil
penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh
umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab
radhiallaahu 'anhu :
"Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah
dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan
lainya.
2.
Bahwa
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang
per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl
al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad
Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah
yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke
negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak
dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
3.
Bila
kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar
Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah
(hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga
dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai
oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang
begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah
tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali
hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam
ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah
tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak
ada bedanya.
4.
Bahwa
Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada
pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha
penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan
yang diajukan oleh individu atau kelompok.
Kesimpulannya:
Bahwa bila
ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat
menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat
dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang
yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk
membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam
(ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara
keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan)
yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang
dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor),
Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn,
(Riyadl:
Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32).
* * *
* * *
0 komentar:
Posting Komentar