Mukaddimah
Islam
adalah agama yang universal dan sangat memperhatikan permasalahan yang
berkaitan dengan wanita secara transparan dan proporsional. Ia menempatkan
wanita dalam kedudukan yang layak dan bermartabat dimana sebelumnya di masa
Jahiliyyah, dianggap sebagai "harta pusaka" yang diwariskan dan
dipergilirkan; dia dapat diwariskan kepada anak. Disamping itu, dia juga
dianggap sebagai noda yang dapat mencemarkan keluarga bila terlahirkan ke dunia
sehingga harus dienyahkan dari muka bumi sebelum sempat menghirup udara
kehidupan dengan cara menanamnya hidup-hidup.
Kedudukannya
yang semacam inilah kemudian diangkat dan dihormati setinggi-tingginya oleh
Islam, diantaranya; dia dijadikan orang yang paling pertama harus
dipersembahkan bakti kepadanya ketika menjadi seorang ibu, adanya satu surat
dalam al-Qur'an yang dinamakan dengan kaumnya (an-Nisa'), menjanjikan bagi
orangtua yang berhasil mendidiknya sebagai jalan masuk surga, dan banyak lagi
yang lain.
Namun
begitu, Islam juga menyebutkan bahwa kaum wanita adalah orang-orang yang kurang
akal dan diennya, banyak mengeluh/permintaan serta suka memungkiri kebaikan
suami.
Berkaitan
dengan yang terakhir ini, sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa di abad
kontemporer ini banyak sekali isteri-isteri -yang barangkali karena memiliki
jasa dan andil dalam pemenuhan anggaran belanja rumah tangganya- merasa diatas
angin dan tidak sedikit yang semena-mena terhadap suami. Hal ini terjadi, lebih
dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap agama yang merupakan sesuatu yang
esensial bagi seorang calon suami sebelum berubah menjadi suami melalui aqad
yang sah. Sang suami hendaknya dalam memilih calon isteri lebih memprioritaskan
sisi keshalihahannya.
Karena
kurangnya pemahaman agama, sang isteri tidak mengetahui bahwa sebenarnya agama
mewajibkannya untuk patuh dan taat kepada suami bahkan kerelaan suami
terhadapnya ibarat prasyarat masuk ke surga –disamping syarat-syarat yang lain
yang berkaitan dengan syarat diterimanya amal manusia secara umum- sebagaimana
dalam makna hadits yang menyatakan bahwa siapa saja isteri yang meninggal dunia
sementara suaminya rela terhadapnya maka dia akan masuk surga.
Dari
kurangnya pemahaman agama tersebut kemudian berdampak kepada banyak kaum wanita
yang bekerja di luar rumah dan berbaur dengan kaum lelaki dengan anggapan bahwa
mereka memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam segala bidang tanpa
terkecuali, sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kaum feminis, termasuk
dalam urusan rumah tangga. Lapangan kerja yang disesaki oleh tenaga wanita
mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran di kalangan kaum pria, terutama
bagi mereka yang sudah berkeluarga namun tidak memiliki skil yang cukup untuk
bekerja sehingga mendorong sang isteri untuk keluar rumah, terkadang
menggantikan posisi suami dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tentunya hal
ini memiliki implikasi negatif, belum lagi dari sisi syar'inya, terhadap watak
sang isteri. Dia seakan merasa telah berjasa dan memiliki andil dalam
menghidupi keluarganya sedangkan sang suami hanya seorang penganggur. Atau
dalam kondisi yang lain, dia memiliki pekerjaan dan gaji yang jauh lebih tinggi
dari sang suami. Hal ini, kemudian dijadikan alasan yang kuat untuk
memberontak, menyanggah, meremehkan bahkan memperbudak sang suami. Suami yang,
misalnya, memiliki gaji kecil terkadang nafkah yang diberikannya kepada
keluarga, disambut oleh isterinya dengan rasa ketidakpuasan dan kurang
berterimakasih. Apalagi, bila kebetulan sang isteri juga bekerja dan gajinya
lebih besar dibanding suami, tentu akan lebih parah lagi sikapnya terhadap
suaminya yang seorang penganggur atau bergaji kecil. Dalam pada itu, hanya
wanita-wanita shalihah yang memahami agama mereka dengan baik dan tahu bagaimana
bersikap kepada suami-lah yang terselamatkan dari kondisi seperti itu.
Mengingat
betapa urgennya pembahasan tentang hal ini dari sisi agama dan perlunya kaum
wanita mengetahuinya, khususnya tentang ancaman terhadap wanita yang melakukan
hal tersebut alias banyak mengeluh/permintaan dan suka memungkiri kebaikan
suami, maka kami berupaya menuangkannya dalam bagian pembahasan hadits kali
ini-disamping pembahasan tentang hal yang lain- dengan harapan, kiranya ada
dari sekian banyak kaum wanita, yang menyempatkan diri membaca tulisan ini.
Kami mengambil materi pembahasan hadits ini dari sebuah kajian hadits berbahasa
Arab oleh seorang Syaik dan kami anggap laik untuk diturunkan.
Kami
berharap bagi pembaca yang kebetulan menemukan kesalahan, khususnya dari sisi
materi dan bahasa (terjemahan), agar sudi kiranya memberikan masukan yang
positif kepada kami sehingga pada pembahasan hadits selanjutnya dapat
dihindarkan. Wallaahu a'lam.
Naskah
Hadits
Dari
Jabir bin 'Abdullah –radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: "Aku melaksanakan
shalat pada hari 'Ied bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam ; beliau
memulai dengan shalat dulu sebelum khuthbah, tanpa azan dan iqamah, kemudian
berdiri sambil merangkul Bilal. Beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada
Allah, mengajak berbuat ta'at kepadaNya, mewasiati manusia dan mengingatkan
mereka, kemudian beliau berlalu (setelah berbicara panjang lebar-red) hingga
mendatangi (menyentuh permasalahan-red) kaum wanita lantas mewasiati dan
mengingatkan mereka, sembari bersabda: ' bersedekahlah! Karena sesungguhnya
kebanyakan kalian adalah (menjadi) kayu api neraka Jahannam'. Lalu seorang
wanita yang duduk ditengah-tengah mereka berkata: kenapa demikian wahai
Rasulullah?. Beliau menjawab: 'karena kalian banyak keluhkesah/permintaannya
dan memungkiri (kebaikan yang diberikan oleh) suami'.
Jabir
berkata: "lalu mereka bersedekah dengan perhiasan-perhiasan mereka dan
melempar anting-anting dan cincin-cincin mereka kearah pakaian bilal".
(H.R.Muttafaqun 'alaih).
Sekilas
tentang periwayat hadits
Dia
adalah seorang shahabat yang agung, Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram
al-Anshary. Dia dan ayahnya mendampingi Rasulullah sebagai shahabat. Bersama
ayahnya menyaksikan "Bai'atul 'Aqabah al-Akhirah". Ayahnya termasuk
salah seorang "Nuqaba' " (pemimpin suku) yang ikut dalam bai'at
tersebut. Dia ikut serta dalam banyak peperangan bersama Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam. Dia berkata:"Aku ikut serta berperang bersama Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam sebanyak 19 kali peperangan". Dia adalah
salah seorang dari "al-Muktsirûn li riwâyatil hadits"
(kelompok shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits) dari Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia memiliki halaqah (kelompok pengajian) di al-
Masjid an-Nabawy. Halaqah ini banyak dihadiri oleh orang-orang yang ingin
menggali ilmu darinya. Dia juga termasuk orang yang dipanjangkan umurnya oleh
Allah dan merupakan salah seorang shahabat yang paling belakangan meninggal di
Madinah. Dia wafat disana pada tahun 78 H dalam usia 94 tahun.
Faedah-Faedah
Hadits Dan Hukum-Hukum Terkait
A.
Hadits yang mulia diatas menjelaskan beberapa hukum
yang terkait dengan shalat 'Ied, diantaranya:
o
Hadits
tersebut menyatakan bahwa dalam shalat 'Ied tidak ada azan dan iqamah.
o
Khuthbah
'Ied hendaknya mencakup ajakan agar bertaqwa kepada Allah Ta'âla sebab ia
merupakan kolektor semua kebaikan, demikian pula ajakan agar berbuat ta'at
kepada-Nya dan saling mengingatkan dalam hal itu.
o
Khuthbah
dilakukan setelah shalat 'Ied bukan sebelumnya sepertihalnya pada shalat
Jum'at. Masing-masing dari keduanya memiliki dua khuthbah * akan tetapi pada
shalat Jum'at dilakukan sebelum shalat sedangkan pada 'Ied dilakukan sesudah
shalat. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan
para Khalifah-nya ar-Rasyidun. * terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah
khuthbah shalat 'Ied; ada ulama yang mengatakan sekali saja dan ada yang
mengatakan dua kali. Ibnu Qayyim al-Jauziah nampaknya menguatkan pendapat
kedua, yakni dua kali.
o
Shalat
dalam dua 'Ied hukumnya adalah fardhu kifayah; untuk itu seorang Muslim harus
berupaya secara optimal dalam melakuksanakannya, menghadiri serta mendengarkan
khuthbahnya agar mendapatkan pahala dan mendapatkan manfaat dari wejangan dan
at-Tadzkir (peringatan) yang disampaikan oleh Imam/khathib.
B.
Islam sangat memperhatikan eksistensi kaum wanita dan
menempatkan mereka kepada kedudukan yang agung dan tinggi; spesialisasi serta
karakteristik mereka dalam beberapa hukum terlihat dalam hadits diatas, diantaranya:
o
Bahwa
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengkhususkan bagian khuthbah
tersendiri buat mereka dalam khuthbah 'Ied, setelah mewasiati dan mengingatkan
kaum lelaki. Untuk itu, hendaknya seorang Imam/khathib pada 'Ied mengkhususkan
khuthbahnya untuk mereka dan membicarakan problematika mereka. Khuthbah khusus
ini diberikan bila mereka tidak mendengarkan khuthbah yang bersifat umum akan
tetapi bila mereka mendengarkannya maka hendaknya dia menjadikan sebagian dari
khuthbah tersebut, khusus berkaitan dengan perihal kaum wanita.
o
Bahwa
seorang wanita diharamkan berbaur dengan kaum lelaki atau berjejal dengan
mereka baik hal itu dilakukan di masjid-masjid ataupun di tempat lainnya. Akan
tetapi semestinya, kaum wanita berada di tempat-tempat yang sudah dikhususkan
untuk mereka. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan
timbulnya fitnah atau menjadi sarana dalam melakukan hal-hal yang diharamkan.
Tidak berbaurnya wanita dengan kaum lelaki sudah merupakan kaidah umum yang
wajib difahami oleh seorang wanita Muslimah dan wali-nya karena banyak sekali
faedah-faedah yang didapat dari hal tersebut.
o
Mendapatkan
'ilmu merupakan hak semua orang; laki-laki dan wanita, untuk itu hendaknya
seorang wanita berupaya secara optimal dalam menuntut ilmu yang dengannya dia
memahami agamanya. Diantara sarana itu adalah: gairah serta semangatnya dalam
mendengarkan wejangan-wejangan, juga, bertanya tentang hal-hal yang sulit
baginya, sebagaimana tampak dalam hadits diatas.
o
Secara
global kaum wanita memiliki sifat-sifat, diantaranya: banyak keluhan/permintaan
dan memungkiri kebaikan suami alias terhadap nafkah yang telah diberikan
olehnya. Sifat-sifat ini merupakan sifat yang tercela yang dapat menggiringnya
ke neraka. Oleh karena itu, seorang wanita Muslimah harus menghindari hal itu dan
berupaya keras untuk menjauhinya.
o
Ciri
khas seorang wanita Muslimah adalah bersegera dalam berbuat kebajikan dan
memenuhi panggilan iman. Hendaklah dia menambah aset kebajikannya sebanyak yang
mampu dilakukan.
o
Kepemilikan
terhadap harta merupakan hak laki-laki dan wanita, masing-masing memiliki harta
secara sendiri-sendiri dan kewenangan dalam memberdayakannya; oleh karena
itulah, isteri-isteri para shahabat bersegera dalam menginfaqkan harta-harta
mereka tanpa meminta izin terlebih dahulu dari suami-suami mereka. Seorang
wanita berhak memberdayakan hartanya dan menginfaqkannya meskipun tidak
mendapat izin dari sang suami. Dalam hal ini, Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam telah menyetujui tindakan isteri-isteri para shahabat radhiallaahu
'anhunna.
C.
Khathib dan Penceramah memiliki tanggung jawab yang
besar
Hal ini disebabkan mereka adalah bertindak sebagai orang yang menyampaikan
permasalahan halal dan haram dari Allah Ta'ala. Dari sini, seorang khathib
hendaknya melakukan tanggung jawab tersebut sebaik-baiknya; menceramahi manusia
dengan apa yang mereka ketahui, mengajarkan mereka hal-hal yang bersifat agamis
dan duniawi yang tidak mereka ketahui, mensugesti mereka untuk berbuat
kebajikan, memperingatkan mereka dari berbuat kejahatan serta menjelaskan kepada
mereka hal-hal yang dapat mendekatkan diri mereka kepada surga dan
menyelamatkan mereka dari neraka. Demikian pula, hendaknya mereka menghindari
berbicara tentang hal-hal yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan
umum kaum muslimin dan hal yang tidak bermanfaat bagi agama mereka.
D.
Sedekah memiliki faedah yang besar dan buah yang agung
di dunia dan akhirat
Diantaranya;
bahwa ia menjaga dari keterjerumusan kedalam api neraka, dan ini diperkuat oleh
sabda beliau yang lain: "takutlah kepada api neraka meskipun
(bersedekah) dengan sebelah dari buah tamar/kurma".
E. Islam selalu berupaya agar seorang Muslim dalam
berinteraksi dengan orang lain menggunakan manhaj yang transfaran dan
proporsional meskipun terhadap orang yang paling dekat hubungannya dengannya
Dengan
demikian, dia mesti meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya; yang memiliki
keutamaan ditempatkan sesuai dengan keutamaannya, yang memiliki hak diberikan
haknya yang sepatutnya, tidak mengurangi hak manusia, menjauhi setiap hal yang
dapat menyakiti mereka serta menghindari perkataan yang kotor dan mungkir
terhadap jasa yang telah diberikan kepadanya.
F.
Seorang penuntut ilmu harus haus akan ilmu, banyak
bertanya kepada gurunya tentang kesulitan yang dihadapinya
Namun,
hendaknya pertanyaan yang disampaikan dilakukan dengan penuh kesopanan dan
tatakrama agar dia mendapatkan jawaban sesuai dengan apa yang diinginkannya
dari gurunya tersebut. (Rabu, 27-2-2002 M=15-12-1422 H)
0 komentar:
Posting Komentar