Home » , , » PERKEMBANGAN MAZHAB HANAFI DALAM ISLAM

PERKEMBANGAN MAZHAB HANAFI DALAM ISLAM

PAI---Perkembangan Mazhab Hanafi.--Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab fikih tertua dalam masyarakat Muslim. Pertama kali dirintis oleh Imam Abu Hanifah (150 H). Seorang ulama-entrepreneur yang tinggal di Kota Kufah, Irak.

Abu Hanifah meninggalkan tiga karya tulis, yaitu kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Fiqh Al-Absath, dan Al-Alim Wa Al-Muta'allim. Tidak ada yang secara khusus membahas tentang hukum Islam. Pemikiran hukum Islam Abu Hanifah lebih banyak diperoleh dari karya-karya muridnya, seperti Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaiban (189 H).

Abu Yusuf mengarang Kitab al-Atsar dan Kitab Al-Kharaj. Kedua karya tersebut menarik perhatian pemerintah pada era Abbasiyah. Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai Hakim Agung. Tugasnya tak hanya memutus persoalan hukum yang terjadi di wilayah kekuasaan Abbasiyah, tetapi juga mengangkat para hakim lokal.

Abu Yusuf lebih banyak mengangkat para ahli yang memiliki kemampuan memutuskan hukum dengan metode Imam Abu Hanifah. Karena kebijakan ini, masyarakat pada akhirnya lebih mengenal pandangan-pandangan hukum Mazhab Hanafi dibanding pandangan mazhab lain. Di antara lokasi yang menjadi pusat penyebaran Mazhab Hanafi adalah Irak, Khurasan, Syam, Mesir, dan wilayah Afrika Utara lainnya.

Al-Mayuriqi (488 H), dalam kitab Jadwah Al-Muqtabis Fi Dzikri Wulat Al-Andalus, membenarkan keterlibatan kekuasaan dalam penyebaran Mazhab Hanafi. Dia mengutip pernyataan Ibn Hazm, seorang ulama Andalusia bermazhab Zahiri yang mencatat, "Dua mazhab yang berkembang karena dukungan kekuasaan adalah Mazhab Hanafi di Timur dan Mazhab Maliki di Andalusia."

Pengaruh Mazhab Hanafi yang kuat di masyarakat Abbasiyah, ditunjukkan salah satunya ketika Khalifah Al-Qadir Billah mengganti hakim kota Baghdad dengan hakim bermazhab Syafi'i bernama Al-Barizi.

Menurut Ahmad Timur dalam buku Nazhrah Tarikhiyyah Fi Huduts Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah Al-Arba'ah, kebijakan tersebut memicu konflik di masyarakat bawah. Khalifah Al-Qadir Billah akhirnya mengembalikan jabatan hakim kepada ulama bermazhab Hanafi untuk menghentikan keresahan.

Sejak saat itu, Mazhab Hanafi memiliki posisi yang kuat dalam pemerintahan.

Dalam catatan Christie S. Warren yang dipublikasikan Oxford Bibliographies, dituliskan bahwa pada abad ke-16 Kekhalifahan Turki Usmani mengadopsi Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Chamim Tohari dalam artikelnya yang berjudul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah menulis, pada tahun 1889, Turki Usmani meresmikan kitab Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah.

Kitab ini disusun untuk menyamakan rujukan hukum para hakim di bawah kekhalifahan Turki Usmani yang sebelumnya tidak memiliki kitab kompilasi hukum yang menjadi rujukan bersama. Kitab hukum ini diadopsi dari kitab-kitab muktabar dalam mazhab Hanafi. Hal ini menunjukkan, sekali lagi, pengaruh mazhab Hanafi yang kuat pada era kekhalifahan Turki Usmani.

Dalam Ensiklopedi Tunisia (Al-Mausu'ah Al-Tunisiyyah Al-Maftuhah) disebutkan, Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab yang punya banyak pengikut di Tunisia. Mazhab Hanafi telah masuk sejak abad ketiga Hijriah. Namun para pengikut Mazhab Hanafi mendapatkan posisi mereka semakin kuat ketika Turki Usmani menguasai Tunisia. Mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi.

Para pejabat, tentara, dan para hakim bermazhab Hanafi. Syaikhul Islam, jabatan mufti tertinggi negara, selalu dipegang ulama pengikut bermazhab Hanafi.

Menurut Abu Zahrah dalam buku Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah, ada tiga faktor perkembangan mazhab Hanafi. Pertama, banyaknya murid Abu Hanifah yang memiliki kecakapan dalam menjawab permasalahan-permasalahan hukum.

Mereka menguasai metode pengambilan keputusan hukum Abu Hanifah, pendapat-pendapat pendiri mazhab, dan dasar-dasar yang digunakannya. Hal ini membuat mereka dapat dengan cepat menemukan hukum agama terkait dengan kasus yang sedang terjadi. Selanjutnya mereka menjadi rujukan masyarakat luas.

Kedua, pengembangan teori pengambilan keputusan hukum. Pada saat yang bersamaan, pengikut mazhab lain belum menyadari pentingnya pengembangan teori tersebut. Misalnya tentang proses penemuan alasan hukum atau biasa disebut illat al-hukm.

Dengan memahami alasan di balik suatu keputusan hukum, mereka dapat melakukan analogi untuk kasus-kasus baru. Hal ini menjadikan Mazhab Hanafi lebih maju dibanding mazhab hukum lainnya. Bahkan, kasus-kasus yang belum timbul di masyarakat dapat diantisipasi sebelum terjadi.

Ketiga, penyebaran ke wilayah yang memiliki adat-istiadat yang beraneka macam. Hal ini akan menguji kemampuan para hakim bermazhab Hanafi menjawab permasalahan yang timbul. Pengalaman ini membuat para ulama pengikut Mazhab Hanafi dapat mengembangkan metode pengambilan hukum dan mengkompilasi fatwa yang sangat kaya.

Penyebaran ke berbagai wilayah tersebut tidak dapat dilepaskan dari dukungan penguasa Abbasiyah di masa lalu dan penguasa Turki Usmani pada era modern.

Saat ini, mazhab Hanafi menjadi mazhab yang dominan di beberapa negeri mayoritas Muslim. Christie S. Warren mencatat bahwa Mazhab Hanafi banyak dianut di Yordania, Lebanon, Pakistan, Suriah, Turki, Uni Emirat Arab, Bangladesh, Mesir, India, dan Irak. Konstitusi Afghanistan banyak merujuk kepada fatwa-fatwa Mazhab Hanafi.

Pengaruh Mazhab Hanafi dapat dilihat dalam sejumlah praktik masyarakat di negara-negara yang mengikuti mazhab tersebut. Salah satu praktik ibadah yang didasarkan kepada Mazhab Hanafi adalah azan yang digunakan di sebagian masjid di India dan Afghanistan.

Di Indonesia yang pada umumnya bermazhab Syafi'i, azan dimulai dengan bacaan takbir sebanyak empat kali. Praktik berbeda yang dapat ditemui pada sebagian masjid penganut Mazhab Hanafi, bacaan takbirnya hanya dua kali. Azan semacam ini didasarkan kepada pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani.

Praktik ibadah lain yang didasarkan kepada Mazhab Hanafi adalah cara berwudu dengan cara duduk di tempat yang tinggi seperti bangku. Di tempat wudu di masjid-masjid Turki, negara yang banyak ditemukan penganut Mazhab Hanafi, disediakan bangku duduk di depan kran-kran wudu.

Hal ini karena dalam Mazhab Hanafi, sebagaimana juga fatwa dalam mazhab Maliki, sangat dianjurkan duduk di tempat agak tinggi (al-julus fi makanin murtafi'in) saat berwudu. Tujuannya untuk menghindari percikan air bekas wudu yang menurut sebagian pendapat dinilai najis.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Abidin Al-Hanafi dalam kitab Al-Durr Al-Mukhtar Syarah Radd Al-Mukhtar. Praktik berwudu dengan cara duduk tentu tidak akan dijumpai di masjid-masjid di Indonesia yang umumnya mengikuti mazhab Syafi'i dan tidak menilai najis bekas air wudu. Pada umumnya, tempat wudu di masjid Indonesia tidak disertai bangku. Masyarakat Muslim Indonesia juga berwudu dengan cara berdiri.

Baca Juga Selengkapnya:

Sejarah Singkat dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih !  LINK

Sejarah dan Perkembangan Mazhab Maliki (Malikiyah) ! LINK

Sejarah dan Perkembangan Mazhab Hanbali ! LINK


Sejarah dan Perkembangan Mazhab Syafi,i LINK

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Artikel