Etika Memakai Sepatu dan Sendal Menurut Islam

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Mukaddimah

Islam adalah satu-satunya agama yang banyak sekali memperhatikan aspek akhlaq dan etika, dari hal yang sebesar-besarnya hingga sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, pantaslah pula apa yang dikatakan 'Aisyah radliyallâhu 'anha ketika ditanya tentang akhlaq Rasulullah bahwa akhlaq beliau adalah al-Qur'an.

Bila kita mengamati kandungan al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi, maka sangat sulit kita untuk tidak mengatakan bahwa di dalamnya selalu terkait dengan akhlaq dan etika itu.
Salah satu hal yang nampaknya sepele tetapi besar artinya yang diberikan perhatian oleh Islam adalah masalah etika memakai sandal atau sepatu.
Nah, apa urgensinya? Bagaimana etikanya?…Pada kajian kali ini, kita akan membahasnya, Insya Allah.

Naskah Hadits

Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Bila salah seorang diantara kamu memakai sandal, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kanan dan bila dia melepasnya, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kiri. Jadikanlah kaki kanan yang pertama dari keduanya dipakai dan yang terakhir dari keduanya yang dilepas (dicopot)." (HR.Bukhari)

Kandungan Hadits:
  1. Terdapat hadits yang diriwayatkan 'Aisyah di dalam kitab ash-Shahîhain bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sangat suka menganan (memakai dengan memulai yang kanan), baik ketika memakai sandal atau sepatu (atau sandal dan yang semaknanya), menyisir, bersuci dan seluruh urusannya. Beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam senantiasa memulai dengan kanan dan mendahulukannya terhadap sesuatu yang baik dan mengakhirkannya terhadap yang selain itu. bila memakai sandal, beliau mendahulukan kaki kanan; bila memakai pakaian, beliau mendahulukan sebelah kanan dan bila masuk masjid, beliau mendahulukan kaki kanan. Beliau mendahulukan yang kiri untuk selain hal itu; ketika masuk WC, keluar dari Masjid, melepas kedua sandal, pakaian dan semisalnya.
  2. Beliau mengkhususkan yang kanan di dalam makan, minum, berjabat tangan dan mengambil sesuatu yang baik. Dan beliau mengkhususkan yang kiri terhadap kotoran dan sesuatu yang tidak disukai. Inilah sunnah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang beliau sukai dan senang melakukannya.
  3. Di dalam masalah thaharah (bersuci), beliau mendahulukan untuk mencuci tangan kanan dan kaki kanan. Ketika mencukur di dalam manasik haji, beliau mendahulukan bagian sebelah kanan dari kepalanya atas bagian kirinya, demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
  4. Menurut syari'at, akal dan estetika bahwa mendahulukan yang kanan terhadap sesuatu yang baik dan mengkhususkannya serta mengkhususkan yang kiri terhadap sesuatu yang tidak disukai adalah lebih utama. Oleh karena itu, kaidah syari'at yang kemudian diambil dari sunnah beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam adalah mendahulukan yang kanan terhadap setiap sesuatu yang pernah beliau lakukan dalam rangka memuliakan beliau dan yang selain itu, dianjurkan untuk memulainya dengan yang kiri.
  5. Ibn al-'Arabi (bukan Ibn 'Arabi, tokoh Sufi yang sesat-red.,) berkata, "Memulai dengan yang kanan disyari'atkan terhadap semua amal shalih karena keutamaannya secara estetika lebih kuat dan secara syari'at lebih dianjurkan untuk mendahulukannya."
  6. al-Hulaimi berkata, "Sesungguhnya memulai dengan yang kiri ketika melepas (sandal atau sepatu-red.,) karena memakai itu adalah suatu kehormatan dan juga karena ia (dalam posisi) menjaga (melindungi). Manakala yang kanan lebih mulia dan terhormat daripada yang kiri, maka dimulailah dengannya ketika memakai dan dikemudiankan ketika melepas (mencopot) sehingga kehormatannya tetap ada dan jatahnya dari hal itu lebih banyak."

Sumber : Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh.'Abdullah al-Bassam, jld.VI, h.233-234)

Rahasia Dan Keajaiban Allah Dalam Lautan

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Allah Ta'ala berfirman: Dia membiarkan dua buah laut mengalir, kemudian keduanya bertemu; diantara keduanya ada batas yang tidak bisa dilampaui oleh masing-masingnya; maka nikmat Rabb-mu manakah yang kalian dustakan?; dari keduanya keluar mutiara dan marjan. (Q.S. Ar-Rahmaan).

Maksudnya adalah bahwa kedua laut itu adalah asin. Sebab, ayat-ayat di atas berbicara tentang laut dan apa yang keluar dari salah satu laut berupa marjan dan dari laut lainnya lagi berupa mutiara. Laut yang pertama rasanya asin, demikian juga yang kedua. Dan kapan manusia mengetahui bahwa laut yang asin itu berbeda-beda, dan bukannya laut yang memiliki kandungan sama. Hal ini tidak diketahui oleh manusia kecuali setelah mereka memasuki tahun 1942. Pada tahun 1873 manusia mengetahui bahwa ada tempat tertentu di dalam laut yang kandungan airnya berbeda-beda.

Ketika para peselancar melakukan selancar dan mengelilingi lautan dunia selama 3 tahun dengan menggunakan kapal, maka ini menjadi tonggak pembatas antara ilmu kelautan kuno, penuh dengan khurafat, dengan penelitian mendalam yang didasarkan kepada penelaahan atas fakta laut tersebut. Dan ini merupakan awal dari gelombang kemajuan ilmu pengetahuan bahwa laut yang asin memiliki kandungan air yang berbeda-beda. Dan sudah pernah dilakukan penelitian dan evaluasi terhadap penelitian ini bahwa air laut berbeda-beda kadar panas, berat jenis (BJ air), kandungan oksigen.

Dan pada tahun 1942, muncul untuk yang pertama kalinya sebuah hasil penelitian yang sangat panjang. Penelitian ini dilakukan oleh ratusan para peneliti dasar laut, dan mereka menemukan bahwa samudera atlantik bukanlah laut yang hanya merupakan satu lautan, akan tetapi samudera atlantik ternyata terdiri atas beberapa laut yang masing-masing berbeda. Masing-masing peneliti menemukan perbedaan dari masing-masing air laut yang mereka temui. Air laut di sebelah sana memiliki keistimewaan dan karakteristik tersendiri, demikian juga air laut bagian lainnya; masing-masing berbeda kadar suhu, BJ air, oksigennya, semuanya bersatu dalam satu samudera, altlantik......

Apalagi dengan laut-laut lain yang berbeda dan kemudian bertemu, seperti laut tengah, laut merah, laut atlantik, dan seperti laut merah dan teluk 'adn juga bertemu di satu tempat yang sempit.

Maka pada tahun 1942, untuk pertama kalinya kita mengetahui ada satu laut yang masing-masing bagian laut tersebut memiliki perbedaan dalam kandungan dan sifat-sifatnya, dan bertemu pada satu tempat tertentu.

Pada pakar kelautan (oceanolog) mengatakan bahwa sifat yang paling kentara dari laut dan airnya adalah bahwa laut dan airnya tidak pernah tetap ... tidak pernah tenang, dan hal yang paling terlihat adalah ia selalu bergerak, ... panjangnya, dan lebarnya, dan gelombang airnya, arah pergerakannya adalah diantara faktor-faktor yang sangat banyak yang mempengaruhi keadaan air laut.

Dari sini ada satu pertanyaan: Bila memang demikian keadaannya, maka kenapa air-air yang berbeda itu tidak bercampur dan tidak menyatu (melebur) menjadi satu jenis?" maka mereka pun mempelajari, meneliti, dan menelahnya. Dan akhirnya pun mereka menemukan jawabannya, yaitu bahwa ada "dinding air pembatas" yang memisahkan setiap pertemuan dua laut dalam satu tempat, baik di dasar samudera atau pun di dalam palung (jurang di dalam lautan). Tempat inilah yang ternyata memisahkan antara laut yang satu dengan laut yang lainnya. Akhirnya mereka pun dapat mengetahui batas laut ini dan bagaimana karakteristiknya. Akan tetepi dengan apakah mereka bisa mengetahuinya ? Apakah dengan kedua mata kita ...? Tidak, ... akan tetapi dengan meneliti secara mendetail dan rinci terhadap kandungan kadar garam, kadar suhu, BJ air. Dan hal-hal inilah yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Keutamaan Membaca Shalawat Atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Allah berfirman :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33:56)
Dan Shalawat dari Allah atas hamba-hambanya berarti pujian dari Allah kepada mereka di hadapan  malail'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

Artinya : apabila kamu mendengar adzan maka katakanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzdzin, kemudian bershalawatlah atasku, karena barang siapa yang bershalawat atasku satu kali, maka Allah akan bershalawat atasnya sepeluh kali, kemudian mohonlah kepada Allah untukku wasilah karena wasilah adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan saya sungguh berharap menjadi orang yang mendapatkannya, dan barang siapa memohonkan untukku wasilah maka dia akan mendapatkan syafa'at. HR. Muslim.

Sesungguhnya dari hari-hari kalian yang paling utama adalah hari jum'at, di hari itu Adam 'alaihis salam diciptakan, dan di hari itu dia meninggal, dihari itu ditiupnya sangkakala ( tiupan pertama yang pada waktu itu alam semesta menjadi hancur ), di hari itu terjadi matinya semua makhluq ( kecuali yang dihendaki Allah ), oleh karena itu perbanyaklah shalawat atasku pada hari itu, karena shalawat kamu ditampakkan kepadaku. Para sahabat berkata : wahai utusan Allah ! bagaimana ditampakkan kepadamu shalawat kami, palahal engkau sudah hancur luluh ? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada bumi jasad para nabi shallallahu 'alaihim wasallam. HR. Abu Daud, dan telah dishahihkan oleh An-Nawawi dalam kitab Riyadhus shalihin, dan Syaikh Albani dalam shahihil Jami'. 2212

Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian kuburan (tidak dibaca Al-Qur'an, tidak dilaksanakan shalat di dalamnya dll ) dan janganlah kalian jadikan kuburanku tempat yang selalu dikunjungi dengan berulang-ulang, dan bershalawatlah atasku, karena shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh An-Nawawi dan Albani dalam kitab shahih al-Jami' 7226.

Tiada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan kepadaku ruhku sehingga aku membalas salam tersebut. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh An-Nawawi dan Albani dalam kitab shahih al-Jami' 5679.

Celakalah orang yang aku disebut padanya, lalu dia tidak mengucapkan shalawat atasku. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani dalam kitab shahih Al-Jami' 3510
 
Keterangan singkat :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh ummatnya, diantara hak tersebut adalah kewajiban mencintainya, dan dari kecintaan itu adalah memperbanyak membaca shalawat atasnya pada setiap waktu, dan Allah telah memerintahkan kaum mu'minin untuk melakukan hal itu dan menjanjikan mereka dangan ganjaran yang agung, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan bahwa kehinaanlah bagi orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam disebut padanya sedang ia tidak mengucapkan shalawat atasnya. 

Pelajaran dari hadits di atas :

  • Diperintahkannya mengucapkan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . 
  • Disunnahkannya memperbanyak shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam khususnya pada hari Jum'at.  
  • Balasan yang agung bagi mereka yang mengucapkan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

HUKUM MEMBUNUH ULAR YANG MEMASUKI RUMAH KITA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
 
Ular adalah binatang malata yang sering ditemukan dihutan, sawah dan kadang dirumah dengan bentuk yang beraneka ragam dan kekhususan tertentu. Ular termasuk hewan yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibunuh, seperti dijelaskan dalam hadits-hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا سَالَمْنَاهُنَّ مُنْذُ حَارَبْنَاهُنَّ وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُنَّ خِيفَةً فَلَيْسَ مِنَّا

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kami pernah berdamai dengannya (ular) sejak kami memusuhinya, maka barangsiapa yang membiarkannya lantaran rasa takut, maka ia tidak termasuk golongan kami. ” [HR. Abu Daud, Hasan Shahih: Al Misykah (4139)]

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ كُلَّهُنَّ فَمَنْ خَافَ ثَأْرَهُنَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bunuhlah semua ular, barangsiapa yang takut pada dendam mereka, maka ia bukan dari golonganku. [H.R. Abu Daud, Shahih, al Misykah (4140)]

ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْحَيَّاتِ مَخَافَةَ طَلَبِهِنَّ فَلَيْسَ مِنَّا مَا سَالَمْنَاهُنَّ مُنْذُ حَارَبْنَاهُنَّ

Dari Ibnu Abbâs berkata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membiarkan ular-ular hidup karena takut dendamnya, maka ia bukanlah dari golongan kami, tidaklah kami pernah berdamai dengannya sejak kami memeranginya.” [HR. Abu Daud, Shahih: Al Misykah (4138]

عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا نُرِيدُ أَنْ نَكْنُسَ زَمْزَمَ وَإِنَّ فِيهَا مِنْ هَذِهِ الْجِنَّانِ يَعْنِي الْحَيَّاتِ الصِّغَارَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِنَّ

Dari Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya kami akan membersihkan zam-zam sedang di dalamnya terdapat jinaan ini —yaitu ular kecil—?” Rasûlullâh pun menyuruhnya untuk membunuhnya. [HR. Abu Daud, Shahih: Apabila Ibnu Sibat benar-benar mendengar dari Al Abbas: Al Misykah (4141)]

Tidak diragukan lagi ini semua adalah perintah untuk membunuh ular, namun para Ulama membagi ular dalam dua ketegori secara tinjauan hukum :

1. Ular yang ada di luar rumah seperti padang pasir, kebun, sawah atau hutan.

2. Ular yang ada didalam rumah.

BAGAIMANA TINJAUAN FIKIH DALAM MENYIKAPI DUA JENIS ULAR INI?
1. Ular Yang Ada Diluar Rumah.
Para Ulama bersepakat membunuh ular yang hidup diluar rumah adalah disyariatkan secara mutlak. Kesepakatan bolehnya membunuh ular jenis ini disampaikan oleh banyak Ulama, diantaranya:

Ibnu Abdilbarr rahimahullah yang berkata, “Para ulama berkonsensus (berijma’) tentang bolehnya membunuh ular padang pasir, baik yang kecil ataupun yang besar dalam semua jenis ular. [at-Tamhîd karya Ibnu Abdilbarr 16/27].

Juga ada kesepakatan tentang bolehnya membunuh ular tanpa memberi peringatan terlebih dahulu kepada ular tersebut sebelum membunuhnya atau dengan memberi peringatan terlebih dahulu.
Al-Qirâfi rahimahullah berkata, “Adapun ular-ular padang pasir atau wadi (lembah) maka dibunuh tanpa ada perselisihan Ulama dengan tanpa peringatan dahulu, karena tetap berada pada perintah membunuhnya. [adz-Dzakhirâh, karya al-Qirâfi 13/288].

Sedangkan Ibnu Abi Zaid al-Qairwani rahimahullah berkata, “Tidak diperingatkan dulu di padang pasir dan dibunuh semua yang Nampak. [Risâlah, Ibni Abi Zaid al-Qairwani, hlm. 168]

Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan masalah ini dalam pernyataan beliau rahimahullah , “Menurut semua pendapat, ular boleh dibunuh di daratan dan padang pasir tanpa diperingatkan dahulu. [Fathul Bâri, 6/221]

Dasar dari kesepakatan ini adalah :
1.Hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَلْتَمِسَانِ الْبَصَرَ وَيُسْقِطَانِ الْحَبَلَ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bunuhlah ular berbisa dan yang pendek, sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan penglihatan mata dan menggugurkan kandungan.” [Muttafaq ‘Alaih]

2. Hadits Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ مُحْرِمًا بِقَتْلِ حَيَّةٍ بِمِنًى

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang sedang berihram untuk membunuh ular di Mina [HR Muslim no. 2235].

Ini menunjukkan pembunuhan ular disyariatkan bagi orang yang sedang berihram sekalipun. Jika demikian keadaannya, maka orang yang sedang tidak berihram lebih disyari’atkan lagi.

3.Hadits Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu yang menyatakan :

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَارٍ، وَقَدْ أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا، فَنَحْنُ نَأْخُذُهَا مِنْ فِيهِ رَطْبَةً، إِذْ خَرَجَتْ عَلَيْنَا حَيَّةٌ، فَقَالَ: «اقْتُلُوهَا»

Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di satu goa, diturunkan kepada beliau firman Allah, “Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan”. Lalu kami menghafalnya langsung dari mulut beliau, sekonyong-konyong keluar kepada kami seekor ular, lalu beliau bersabda: Bunuhlah! [Muttafaqun ‘Alaihi].

2. Ular Yang Ada Dirumah
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum membunuh ular yang ada di dalam rumah dan ditemukan didalam rumah. Dalam masalah ini, para Ulama terbagi dalam empat pendapat :

a. Pendapat pertama menyatakan ular dibunuh tanpa diberi peringatan atau diusir dahulu baik di kota Madinah atau diluarnya. Inilah pendapat sebagian Ulama madzhab Hanafiyah. Imam ath-Thahawi rahimahullah menyatakan bahwa diperbolehkan membunuh semua ular, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perjanjian dengan jin untuk tidak masuk rumah umatnya. Apabila masuk tidak boleh menampakkan dirinya. Apa bila mereka masuk maka telah melanggar perjanjian sehingga tidak ada lagi masalah. [lihat al-Bahru ar-Râ’iq karya Ibnu Nujaim 2/174].

Mereka berargumentasi dengan keumuman hadits membunuh ular yang telah disebutkan di atas, seperti hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dan Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu. Mereka menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membunuh ular tanpa memerinci ular yang ada di rumah atau di luar rumah.

b. Pendapat kedua menyatakan tidak boleh membunuh ular yang ada di dalam rumah sampai diberi peringatan, baik di rumah-rumah di wilayah kota Madinah atau diluar kota Madinah. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah dan dirajihkan Ibnu Abdilbaarr rahimahullah.

Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Lebih aku sukai untuk diperingatkan terlebih dahulu pada ular-ular yang ada di rumah-rumah baik di kota Madinah atau diluar kota Madinah selama tiga hari. (at-Tamhîd 16/263). Demikian juga Ibnu Abdilbarr rahimahullah berkata, “Yang benar di peringatkan ular-ular yang ada di rumah semuanya. [at-Tamhîd 16/263].

Pendapat ini didasari hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata :

إِنَّ لِهَذِهِ الْبُيُوتِ عَوَامِرَ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْهَا فَحَرِّجُوا عَلَيْهَا ثَلَاثًا، فَإِنْ ذَهَبَ، وَإِلَّا فَاقْتُلُوهُ، فَإِنَّهُ كَافِرٌ

Sesungguhnya di rumah-rumah ada ular-ular yang berada di rumah-rumah. Apabila kalian melihat satu dari mereka, maka buatlah peringatan padanya tiga kali. Apabila pergi, maka biarkan dan bila tidak mau pergi maka bunuhlah, karena dia itu kafir. [HR Muslim no. 2236]

c. Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak boleh dibunuh ular dalam rumah yang ada di kota Madinah kecuali setelah diberi peringatan tiga kali. Namun ular rumah yang ada di luar kota Madinah boleh dibunuh tanpa peringatan dahulu. Inilah pendapat imam Nâfi’. Pendapat ini berdalil dengan hadits as-Sâib yang berbunyi:

عَنْ أَبِي السَّائِبِ قَالَ أَتَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ فَبَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدُهُ سَمِعْتُ تَحْتَ سَرِيرِهِ تَحْرِيكَ شَيْءٍ فَنَظَرْتُ فَإِذَا حَيَّةٌ فَقُمْتُ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ مَا لَكَ قُلْتُ حَيَّةٌ هَاهُنَا قَالَ فَتُرِيدُ مَاذَا قُلْتُ أَقْتُلُهَا فَأَشَارَ إِلَى بَيْتٍ فِي دَارِهِ تِلْقَاءَ بَيْتِهِ فَقَالَ إِنَّ ابْنَ عَمٍّ لِي كَانَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْأَحْزَابِ اسْتَأْذَنَ إِلَى أَهْلِهِ وَكَانَ حَدِيثَ عَهْدٍ بِعُرْسٍ فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَذْهَبَ بِسِلَاحِهِ فَأَتَى دَارَهُ فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَائِمَةً عَلَى بَابِ الْبَيْتِ فَأَشَارَ إِلَيْهَا بِالرُّمْحِ فَقَالَتْ لَا تَعْجَلْ حَتَّى تَنْظُرَ مَا أَخْرَجَنِي فَدَخَلَ الْبَيْتَ فَإِذَا حَيَّةٌ مُنْكَرَةٌ فَطَعَنَهَا بِالرُّمْحِ ثُمَّ خَرَجَ بِهَا فِي الرُّمْحِ تَرْتَكِضُ قَالَ فَلَا أَدْرِي أَيُّهُمَا كَانَ أَسْرَعَ مَوْتًا الرَّجُلُ أَوْ الْحَيَّةُ فَأَتَى قَوْمُهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَرُدَّ صَاحِبَنَا فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِصَاحِبِكُمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ نَفَرًا مِنْ الْجِنِّ أَسْلَمُوا بِالْمَدِينَةِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ أَحَدًا مِنْهُمْ فَحَذِّرُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ إِنْ بَدَا لَكُمْ بَعْدُ أَنْ تَقْتُلُوهُ فَاقْتُلُوهُ بَعْدَ الثَّلَاثِ

Dari Abu As-Sa’ib, ia berkata, “Aku pernah mengunjungi Abu Sai’d al-Khudri. Ketika aku sedang duduk di sisinya, aku mendengar gerakan sesuatu di bawah tempat duduknya, maka aku langsung melihatnya, dan ternyata seekor ular, sehingga aku langsung berdiri. Abu Sai’d kemudian berkata, ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab, ‘Ada ular di sini.’ Ia kembali berkata, ‘Lalu apa yang akan kamu lakukan?’ Aku menjawab, ‘Aku akan membunuhnya.’ Ia kemudian pergi ke rumah yang berhadapan dengan rumahnya dan berkata, ‘Sesungguhnya keponakanku dahulu tinggal di rumah ini. Ketika terjadi perang Ahzab ia meminta izin untuk mendatangi istrinya —saat itu ia baru menikah— karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya dan ia diperintahkan membawa senjatanya, ketika ia pulang ke rumahnya, ternyata ia melihat istrinya sedang berdiri di depan rumah, maka ia mengarahkan panah kepadanya. Istrinya lalu berkata, “Jangan tergesa-gesa sampai kamu melihat apa yang membuatku keluar rumah?” Ia kemudian masuk ke dalam rumah, ternyata ada ular yang tak dikenal, maka ia langsung memanahnya. Ia lalu keluar dengan membawa panah yang bergerak-gerak. la berkata, “Aku tidak tahu manakah dari keduanya yang lebih cepat mati, laki-laki atau ular itu ? Hingga kaumnya datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Mintalah kepada Allah untuk menghidupkan teman kami.’ Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mintalah ampunan untuk teman kalian.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya sebagian dari golongan jin telah masuk Islam di Madinah, apabila kalian melihat salah satu dari mereka, maka peringatkanlah ia tiga kali, kemudian apabila setelah itu terlintas dalam pikiran kalian hendak membunuhnya, maka bunuhlah setelah tiga kali’. ” [H.R. Abu Daud, no. 5257]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab memberi peringatan dahulu dengan sabda beliau: ‘Sesungguhnya sebagian dari golongan jin telah masuk Islam di Madinah’ sehingga ada pengkhususan kota Madinah dalam pensyariatan member peringatan sebelum membunuh ular yang ada dirumah.

Alasan ini lemah karena yang menjadi sebab adalah adanya keislaman segolongan jin, bukan karena kota Madinahnya. Pengertian ini dikuatkan dengan hadits Abu Lubabah Radhiyallahu anhu yang berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ الْجِنَّانِ الَّتِي تَكُونُ فِي الْبُيُوتِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَخْطِفَانِ الْبَصَرَ وَيَطْرَحَانِ مَا فِي بُطُونِ النِّسَاءِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh jin yang berada di rumah, kecuali ular yang berbisa ada dua garis hitam dipunggungnya dan yang pendek ekornya, karena kedua jenis itu dapat menghilangkan pengelihatan mata dan mengeluarkan apa yang ada di dalam perut wanita. [Muttafaq ‘Alaih].

d. Pendapat keempat menyatakan tidak dibunuh seekorpun ular didalam rumah baik dikota Madinah ataupun diluar kota Madinah kecuali ular yang berbisa ada dua garis hitam dipunggungnya dan yang pendek ekornya, maka dibunuh kedua-duanya secara bebas. Inilah pendapat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu. Dasar pendapat ini adalah hadits Abu Lubabah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ الْجِنَّانِ الَّتِي تَكُونُ فِي الْبُيُوتِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَخْطِفَانِ الْبَصَرَ وَيَطْرَحَانِ مَا فِي بُطُونِ النِّسَاءِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh jin yang berada di rumah, kecuali ular yang berbisa ada dua garis hitam dipunggungnya dan yang pendek ekornya, karena kedua jenis itu dapat menghilangkan pengelihatan mata dan mengeluarkan apa yang ada di dalam perut wanita. [Muttafaq ‘Alaih].
Juga hadits yang diriwayatkan imam Muslim dengan sanadnya ke Nafi’ Maula ibnu Umar, beliau berkata :

كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقْتُلُ الْحَيَّاتِ كُلَّهُنَّ حَتَّى حَدَّثَنَا أَبُو لُبَابَةَ بْنُ عَبْدِ الْمُنْذِرِ الْبَدْرِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى عَنْ قَتْلِ جِنَّانِ الْبُيُوتِ» فَأَمْسَكَ

Ibnu Umar dahulu membunuhi semua ular hingga Abu Lubabah bin AbdilMundzir al-Badri mencerikan kepada kami bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membunuh ular-ular yang ada dirumah. Lalu ibnu Umar berhenti.

Oleh karena itu Nafi’ maula ibnu Umar berkata:

أَنَّ أَبَا لُبَابَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُنْذِرِ الْأَنْصَارِيَّ، وَكَانَ مَسْكَنُهُ بِقُبَاءٍ فَانْتَقَلَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَبَيْنَمَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ جَالِسًا مَعَهُ يَفْتَحُ خَوْخَةً لَهُ، إِذَا هُمْ بِحَيَّةٍ مِنْ عَوَامِرِ الْبُيُوتِ، فَأَرَادُوا قَتْلَهَا، فَقَالَ أَبُو لُبَابَةَ: إِنَّهُ قَدْ «نُهِيَ عَنْهُنَّ يُرِيدُ عَوَامِرَ الْبُيُوتِ، وَأُمِرَ بِقَتْلِ الْأَبْتَرِ وَذِي الطُّفْيَتَيْنِ وَقِيلَ هُمَا اللَّذَانِ يَلْتَمِعَانِ الْبَصَرَ، وَيَطْرَحَانِ أَوْلَادَ النِّسَاءِ»

Sungguh Abu Lubabah bin Abdulmundzir al-Anshari bertepat tinggal di Quba lalu pindah ke kota Madinah. Satu ketika Abdullah bin Umar duduk-duduk bersama beliau membuka satu ruangan. Tiba-tiba ada ular yang ada dirumah dan mereka ingin membunuhnya. Maka abu Lubabah berkata: Sungguh telah dilarang membunuhnya –meninginkan ular rumah- dan diperintahkan untuk membunuh ular yang pendek ekornya dan yang berbisa yang ada dua garis hitam dipunggungnya. Dikatakan keduanya dapat membutakan mata dan menggugurkan janin. [Riwayat Muslim]

Dalam hadits-hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh ular yang ada dirumah seluruhnya tanpa dibatasi dengan harus diperingati, kemudian mengecualikan ular yang pendek ekornya dan yang berbisa yang ada dua garis dipunggunnya.

PENDAPAT YANG RAJIH
Dari pendapat dan dasar argumentasi para Ulama di atas, tampak pendapat yang rajih adalah keharusan mengusir dan memperingatkan ular yang ada dirumah sebelum membunuhnya, kecuali dua jenis ular yaitu ular yang pendek ekornya dan yang berbisa yang ada dua garis dipunggungnya. Hal itu karena tegas dan jelasnya hadits Abu Lubabah diatas dalam pengecualian kedua jenis ular ini.

As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Dikecualikan kedua ular ini karena jin yang Mukmin tidak akan beralih rupa kebentuk keduanya, karena efek buruk langsung dari melihat keduanya. Jin yang Mukmin hanya beralih rupa dengan bentuk yang tidak berbahaya melihatnya. [Tanwâr al-Hawâlik , Suyuthi 2/247].

Sedangkan nash-nash umum yang memerintahkan membunuh ular maka dipahami dengan nash-nash khusus melarang membunuh ular dalam rumah, nash-nash umum tersebut dibawa kepada pengertian untuk ular-ular diluar rumah. Pengkhususan ular-ular yang dirumah karena adanya nash-nash yang memerintahkan kita untuk member peringatan dna mengusirnya sebelum dibunuh. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XViI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber: https://almanhaj.or.id/4105-hukum-membunuh-ular.html

Dzikir

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Allah Ta'ala berfirman :
"Hai Orang-orang yang beriman, sebutlah Allah (berdzikirlah) dengan zikir yang sebanyak-banyaknya". (Al-Ahzab : 41 ).

Berzikir yang terus-menerus merupakan syarat untuk mendapatkan kecintaan dari Allah SWT yang langgeng pula. Allah yang paling berhak untuk dicintai secara menyeluruh, diibadahi, diagungkan dan dimuliakan sepenuh jiwa dan raga.

Pekerjaan yang termasuk paling bermanfaat bagi seorang hamba adalah berzikir yang banyak. Zikir bagi hati itu laksana air bagi ladang pertanian, bahkan seperti air bagi ikan, ia takkan hidup dabn berkembang tanpa air.

Zikir itu bermacam-macam :
  1. Berzikir dengan menyebut asma Allah dan sifat-sifat-Nya, serta memujinya dengan menyebut asma dan sifat-Nya.
  2. Tasbih ( mensucikan Allah dengan mengucapkan : Subhanallah ), tahmid ( memuji Allah dengan mengucapkan : Al-hamdu lillah ), takbir ( mengagungkan Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar), Tahlil (mengucapkan la ilaha illallah yang artinya tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah) serta memuliakan Allah. Ini merupakan lafal zikir yang paling banyak diucapkan oelh kalangan orang-orang yang belakangan atau pada dewasa ini.
  3. Berzikir dengan hukum-hukum Allah, perintah-perintah-Nya serta laranganan-larangan-Nya dan ini merupakan zikir ahli ilmu. Bahkan ketiga zikir ini merupakan zikir mereka kepada Rabb-nya.
  4. Berzikir dengan firman-Nya yaitu dengan Al-Qur'an. Ini termasuk zikir yang paling utama. Allah berfirman : "Dan barangsiapa yang berpaling dari zikir-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. 20:124) Yang dimaksud dengan zikir-Ku adalah kalam Allah yang telah diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu al-Qur'an.Allah berfirman : "orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram". (QS. 13:28)
  5. Berdzikir dengan berdo'a kepada Allah, beristighfar (mohon ampunan) dan merendahkan diri di hadapan Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mengikuti cara berdzikir beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Kelima macam cara berdzikir di atas merupakan cara berdzikir Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berdzikir kepada Allah harus sesuai dengan yang telah disyari'atkan oleh Allah dan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, bukan bid'ah seperti yang dikerjakan oleh kaum sufi. Mereka berdzikir dengan dzikir yang dibuat-buat dan diada-adakan. Contohnya mereka menyebut : hu… hu… yang menurut mereka lafadz itu termasuk asma Allah. Dzikir semacam ini tidak dibenarkan sama sekali. Begitu juga mengenai bacaan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam harus sesuai dengan yang terdapat dalam sunnah seperti shalawat Ibrahimiyyah (yang dibaca pada tahiyyat dalam shalat ) dan lainnya yang sesuai dengan sunnah.

Sumber: Disarikan dari buku : Kaifa Nafhamu Al-Qur'an Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, edisi Indonesia hal : 191 )

Keutamaan Membaca dan Tadarus Al'Qur'an

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Tadarus berasal dari kata "Tadrusun" yang artinya mengkaji atau mempelajari, jadi tadarus Al'Qur'an artinya mengkaji dan mempelajari Al'Qur'an. Membaca (wa qari') dan mempelajari Al'Qur'an terutama dibulan Ramadhan yang disebut sebagai bulan Al'Qur'an akan mendapatkan sejumlah keutamaan yaitu :

Seseorang akan mendapatkan ciri sebagai seorang beriman. Allah SWT berfirman yang artinya: Orang-orang yang telah kami berikan Al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya (QS. Al-Baqarah : 121)

CONTOH KALIMAH PEMBUKAAN DAN PENUTUP CERAMAH AGAMA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

ASSALAMUALAIKUM WAARAHMATULLAHI WABARAKAATUH

ALHAMDULILLAHI ROBBL ALAMIIN, NAHMADUHU WANASTAIINU WANASTAGHFIRUHU,,,WANA UUDDZU BILLAHI MIN SYURURI ANFUSINA WAMIN SSAAYYIATI A`MALINA...MAYAHDILLAHU FALA MUDHILLALAH WAAMAYUDDHLILHU FFALA HAADIYA LAHU.. ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAH ALLAHUMMASALLI ALA SSAAYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALI SAYIDINA MUHAMMAD... AMMA BA`DU.

Sebagai hamba Allah yang beriman marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kesehatan iman lahir dan batin kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka hanya semata-mata menghambakan diri kepada Allah SWT.

Salawat dan salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan kita nabi Allah Muhammad SAW yang telah menngantarkan umat manusia dari peradaaban hidup yang jahiliyah menuju pada peradaban hidup yang moderen,,,, yg penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang kita rasakan pada saat ini. Semoga kita semua termasuk hambanya yang taat, yang berhak mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.

Hadirin-Hadirat yang dirahmati Allah...Dalam kesempatan ini Perkenankanlah saya untuk menyampaikan ceramah agama yang berjudul: --------------dst...

----- Isi Ceramah Agama ------


PENUTUP
Demikian ceramah agama yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan, yang benar datangnya atas bimbingan Allah SWT Yang Maha Benar, dan yang salah, khilaf, atau keliru itu datangnyadari saya pribadi sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari salah, khilaf dan dosa.

Akhirul kalam, subhanakallahu maa wabihamdika, asyhadu allaa ilaaha anta, astaghfiruka wa atuubu ialaih,,,
Wallahul muwaffiq ila aqwamithaaryq,,,
Wassalamu alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.


Demikian contoh pembukaan dan penutup ceramah Agama ini, semoga bermanfaat. terimakasih..

KENALI DAN WASPADAI ALIRAN KEBATINAN DI SEKITAR KITA !

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

DEFINISI KEBATINAN

Secara kebahasaan, Batin bermakna bagian dalam, samar dan tersembunyi

Secara istilah, batiniyah bermakna kelompok yang mengaku bahwa zhawahir (makna-makna terang) al-Qur’an dan hadits memiliki makna batin (tersembunyi), tak obahnya kulit dengan sari patinya, yang dapat dipahami oleh orang-orang tertentu, bukan oleh orang-orang awam.

LAHIRNYA ALIRAN KEBATINAN

Dalam sejarah, aliran kebatinan lahir pada masa-masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/dan tersebar luas pada masa Khalifah al-Mu’tashim

Aliran kebatinan didirikan oleh beberapa orang, antara lain:

1. Maimun bin Daishan (al-Qaddah)

2. Muhammad bin al-Husain (Dandan)

3. Hamdan Qirmith

VISI DAN MISI ALIRAN KEBATINAN

1. Mengembalikan kejayaan agama Majusi

2. Mengembalikan kejayaan Persia/Iran

3. Menghancurkan Islam dari dalam

4. Meraup keuntungan materi dari pengikutnya

5. Memenuhi kebutuhan biologis

KEBATINAN MASUK DALAM ISLAM MELALUI DUA PINTU

1. Melalui Aliran Syi’ah (Rafidhah) dengan propaganda membela Ahlul Bait yang telah dizhalimi oleh penguasa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah serta mengembalikan kekuasaan politik ke tangan Ahlul Bait

2. Menyusup melalui ajaran Tashawuf dengan mengubah paradigma bahwa orang yang telah mencapai tingkat ma’rifat dan kesucian tertentu tidak berkewajiban mengamalkan ajaran syari’at, tetapi cukup dengan mendalami ilmu hakikat

PADAHAL Menurut ajaran tashawuf yang sebenarnya tidaklah seperti itu.  Seorang ulama’ ahli tasawwuf seperti Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengatakan Syariat tanpa Hakikat adalah hampa (sia-sia), Hakikat tanpa Syariat adalah batal sedangkan pelaksanaan dalam bentuk amal dan ibadah adalah Thoriqot.

SEJARAH UMAT ISLAM NUSANTARA

Pada masa-masa yang silam kaum Muslimin wilayah Nusantara mengikuti madzhab Imam al-Syafi’i dalam bidang amaliyah (fiqih), madzhab Al-Asy’ari dalam ideologi (akidah) serta madzhab Al-Imam Al-Ghazali dan al-Imam Abu al-Hasan al-Syadzili dalam tashawuf.

MEREBAKNYA BERBAGAI ALIRAN DI NUSANTARA

Pada tahun 1330 H merebaklah berbagai aliran dan golongan di wilayah nusantara seperti Wahhabi, Syiah, Kebatinan (Ibahiyyun atau libertinisme), inkarnasi dan manunggaling kawulo gusti.

MEREBAKNYA KEBATINAN DI INDONESIA

Di antara aliran yang berkembang sejak tahun 1330 H di Nusantara adalah Ibahiyyun (Libertinisme, Liberalisme dan serba boleh).

MENURUT ALIRAN INI, orang yang telah mencapai maqam mahabbab (cinta kepada Allah) dan mendapat kesucian hati, tidak perlu mengamalkan syari’at, tetapi cukup dengan hakikat.

AJARAN KEBATINAN

    Mencintai Allah dengan sepenuh hati
    Mensucikan hati dari ghaflah (lalai kepada Allah).
    Memilih iman dari pada kufur
    Apabila 3 kewajiban di atas telah dicapai, maka ia TIDAK WAJIB melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama dan Allah tidak akan memasukkannya ke neraka sebab melakukan dosa besar.
    Ia TIDAK WAJIB MELAKUKAN IBADAH-IBADAH ZHAHIR, tetapi cukup merenung (tafakkur) dan memperbaiki akhlaq hati.

MODUS PENYEBARAN KEBATINAN

1. PENYEBARAN ISU BAHWA DIRINYA SEORANG WALI ALLAH yang telah mencapai ma’rifat

2. Melayani PENGOBATAN ALTERNATIF

3. Melayani KONSULTASI KESULITAN ekonomi, sosial, politik dan lain-lain

4. MENYEBARKAN ISU DAN MENAMPAKKAN BAHWA DIRINYA MENGETAHUI PERKARA GHAIB

5. MENYEBARKAN ISU MEMILIKI KAROMAH seperti halnya para wali Allah

6. MEREMEHKAN PARA KIAI DAN ULAMA yang konsisten dengan ajaran syari’at

KIAT AGAR TIDAK TERTIPU AJARAN KEBATINAN

1. MENGUKUR PERBUATAN SESEORANG DENGAN AJARAN SYARA’ (jangan percaya jika seseorang mengakui seorang wali atau punya karomah atau bisa menerawang masa depan tapi enggan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).

Apabila Anda melihat seseorang terbang di udara, berjalan di atas air dan mengetahui hal-hal yang ghaib, tetapi ia menyalahi syara’ dengan melakukan larangan dan meninggalkan kewajiban tanpa ada uzur, maka dia sebenarnya adalah jenis syetan manusia yang dibuat oleh Allah sebagai fitnah bagi orang-orang awam.

2. MENGETAHUI TANDA-TANDA WALI ALLAH

Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashfihani berkata: “Sesungguhnya para wali Allah itu memilii sifat-sifat yang jelas dan tanda-tanda yang terang”. Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, juz 1 hal. 5.

TANDA-TANDA WALI ALLAH

    Disukai dan ditaati oleh orang-orang yang berakal dan orang-orang shaleh.

Rasulullah SAW: “Sesungguhnya ada hamba-hamba Allah, sekelompok manusia, bukan nabi dan bukan syuhada’, tetapi derajat mereka di akhirat menjadi perhatian para nabi dan syuhada’”. Seorang laki-laki bertanya: “Siapa mereka dan apa amal mereka?” Mereka adalah Wali Allah “Ingatlah sesungguh wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yg beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus 62)

2. Dapat membawa orang lain untuk mengingat Allah secara sempurna dan menjadi lebih baik.

Rasulullah saw ditanya: “Siapakah wali Allah itu?” Beliau menjawab: “Wali Allah adalah orang-orang, yang apabila orang lain melihat mereka, maka akan ingat kepada Allah SWT.”

Rasulullah saw telah menunjukkan sifat wali Allah, “Orang-orang apabila dilihat, maka orang yang melihat akan mengingat Allah SWT.” Maksudnya, apabila seorag Mukmin melihat wali Allah, maka orang tersebut akan mengagungkan Allah dan mengingat dosa-dosanya.

3. Pakaian dan makanannya sangat sederhana, tetapi doa-doanya selalu dikabulkan oleh Allah SWT

BAHAYANYA ALIRAN KEBATINAN MENURUT PARA ULAMA

*)Seorang laki-laki berkata kepada al-Junaid al-Baghdadi, “Orang yang ma’rifat kepada Allah akan mencapai maqam tidak bergerak (tidak melaksanakan kewajiban) untk mendekatkan diri kepada Allah.” Al-Junaid menjawab: “Mencuri dan berzina masih lebih baik dari pada berkata seperti itu.”

*)Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata: “Kebatinan lebih berbahaya bagi umat Islam daripada golongan Yahudi, Nasrani dan Majusi, lebih berbahaya daripada ateisme dan seluruh golongan kafir lainnya, bahkan lebih berbahaya daripada Dajjal di akhir zaman.”

*)Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Jauzi: “Aliran kebatinan itu, luarnya syiah (rafidhah), sedangkan isinya adalah kekafiran.”

*)Imam al-Zabidi dalam Syarh Ihya’ dan KH. Hasyim Asy’ari, “Kebatinan itu adalah kekufuran, kezindiqan dan kesesatan.”

والله أعلم بالصواب

Demikian, semoga bermanfa’at dan dapat membuat qt lebih bijaksana serta waspada agar tidak terperangkap pada jerat-jerat berbagai paham dan aliran yang berpotensi menggerogoti nilai keislaman itu sendiri baik Wahabi, HTI, aliran kebatinan dan lain-lain. Dan yang pasti, penulisan ini tidak ada maksud untuk memojokkan atau mendiskriminasi kelompok tertentu, namun semata-mata tujuannya ialah lebih memantapkan kita sebagai umat islam terhadap akidahnya sendiri. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita serta melindungi kita dari aliran/faham yang bisa merusak aqidah serta menyimpang dari nilai keislaman itu sendiri, aamiin,,,

Allahumma sallimna, wa sallim talamidzana wa sallim ikhwanina min afatiddunya wal akhiroh wa fitnatihima innaka ‘ala kulli syai_in qodir

Ya Muqollibal Qulub, tsabbit qolbana, qolba talamidzana, qolba ikhwanina ‘ala dinil islam wal iman wa ‘ala tho’atik wa min ahlus sunnah wal jama’ah,,, Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin,,

Wallahul Muwaffiq ila Aqwam Al-Thariq……

HUKUM MENGUCAPKAN KALIMAT INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Kalimat Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un atau sering disebut dengan kalimat istirja’ biasa digunakan jika seseorang mendapatkan suatu musibah dari Allah swt 

Juga sabda Rasulullah saw,”Hendaklah kalian mengucapkan istirja’ terhadap segala sesuatu bahkan terhadap tali sandal yang putus karena ini termasuk juga musibah.” (HR. al Bazzar) 

Jadi ucapan istirja’ (Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un) ini adalah diucapkan terhadap segala musibah yang menimpa seseorang termasuk didalamnya adalah musibah kematian baik yang meninggal itu adalah seorang muslim ataupun non muslim. Akan tetapi tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk memohonkan ampunan atau mendoakan orang kafir yang sudah meninggal dunia.

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Innalillaahi wa inna ilayhi raaji’uun atau (“Kita ini milik Allah, dan kepadaNya kita kembali”)
“kita ini milik Allaah”
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa Allah berhak memerintah dan melarang kita; baik kita suka maupun tidak suka.
Maka orang yang mengetahui ucapan ini, seharusnya akan ridha dengan perintah dan laranganNya; tidak mengingkarinya, tidak pula “mencari jalan tengah” yaitu dengan memadukannya dengan hawa nafsunya, agar perintah dan larangan tersebut disesuaikan dengan hawa nafsunya.
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa kita harus bersabar dalam meninggalkan apa-apa yang dilarangNya.
Maka setelah kita tahu konsekuensi akan hal ini, maka seseorang akan termotivasi untuk tahu segala apa yang dilarangNya, tentu dengan MENUNTUT ILMU. Ia akan mencari tahu larangan-laranganNya agar ia tidak terjerumus kedalamnya sedangkan ia tidak sadar; dan setelah kita tahu, maka ia akan menghindari dan meninggalkannya; dan tetap bersabar dalam meninggalkannya.
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa kita harus besabar dalam mengerjakan apa-apa yang di-wajibkanNya.
Demikian pula sebagaimana hal diatas… Pengucapnya yang mengetahui hal ini, maka akan termotivasi untuk mencari tahu segala kewajiban yang wajib ia tunaikan, tentunya dengan MENUNTUT ILMU. Agar ia dapat tahu kewajiban apa yang harus ia laksanakan, dan agar ia tidak meninggalkan kewajiban tanpa sepengetahuan kita. Setelah ia tahu tentangnya, maka ia mengerjakannya, dan bersabar untuk tetap mengerjakannya.
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa diri kita, demikian pula harta kita dan keluarga kita (orang tua, saudara/i, serta istri dan anak) juga adalah milikNya.
Maka pengucapnya harusnya dapat mendatangkan ridha dengan segala ketetapanNya atas diri, harta dan keluarganya.
Ketahuilah… apapun yang ditetapkanNya, adalah kebaikan (dengan segala hikmah dibaliknya); meskipun kita memandangnya “buruk”.
Ketahuilah Allah Maha Tahu, jadi jangan kita merasa lebih tahu daripada Allah. Ketahuilah Allah Maha Bijaksana, jadi jangan kita merasa lebih bijaksana dari Allah.
Dan ketahuilah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu; sedangkan kita tidak memiliki kekuasaan atas apa yang menjadi milikNya, termasuk pula diri kita, kita ini milikNya. Maka hendaknya kita bertawakkal kepadaNya, ridha serta sabar dengan ketetapanNya.
Demikian pula, ketika kita mendapatkan nikmat; ketahuilah bahwa nikmat ini bukan dari usaha kita sendiri, tapi dari pertolongan Allah; dan juga ini semua adalah dariNya; maka ini semua pada hakekatnya adalah milikNya. Maka janganlah kita merasa bahwa ini adalah semata-mata usaha kita, atau merasa harta ini adalah hanyalah milik kita semata (melupakan sang pemilik sebenarnya); sehingga kita lupa untuk menyisihkan sebagian dari kenikmatan yang sudah Dia berikan kepada kita di jalanNya… Kalaupun memang membelanjakannya, maka hendaknya paling tidak kita hanya membelanjakannya dalam hal-hal yang diridhaiNya saja, bukan untuk memaksiatiNya.
“…dan kepadaNya kita kembali”
Maka ketahuilah:
Jika kita tidak mau mengikuti perintah/larangan Allah, atau/dan tidak ridha dengan ketetapanNya; maka ketahuilah kepadaNya-lah kita kembali; Dialah yang akan membalas perbuatan kita tersebut; sudah disediakanNya adzab ketika sakratul mawt, adzab kubur, adzab ketika hari hisab, serta adzab neraka yang amat pedih bagi hambaNya yang menyombongkan diri kepadaNya.
Sebaliknya, jika kita taat kepadaNya, kita berusaha mencari tahu perintah dan laranganNya, kemudian kita taat kepadaNya (dengan menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya), dan tetap bersabar untuk taat kepadaNya hingga wafat; maka Allah menjanjikan untuknya kebaikan-kebaikan; Dia telah menjanjikan kepada kita, kemudahan ketika nyawa kita diambilNya, nikmat kubur, dimudahkan ketika hisab (bahkan kita bisa termasuk orang yang diselamatkan dari hisab dan adzab dihari hisab), dan dimasukkan kedalam surgaNya; sebagai balasan atas orang-orang yang bertaqwa kepadaNya.
Demikian pula, dia telah menyediakan pahala tanpa batas kepada hamba-hambaNya yang sabar atas segala ketetapanNya, dan juga dia telah menjanjikan pahala yang melimpah terhadap hamba-hambaNya yang bersyukur kepadaNya. Sebaliknya, barangsiapa yang murka kepada ketetapanNya, maka Dia Murka terhadap orang tersebut!
Demikian pula barangsiapa yang diberikanNya nikmat, maka Dia adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri… Dia telah menyediakan berbagai balasan yang baik bagi hamba-hambaNya yang bersyukur. Dengan apa hambaNya bersyukur? (Dengan beriman kepadaNya, mentauhidkanNya, berpegang teguh diatas ketaatan serta menjauhi segala kemungkaran baik itu kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, maupun kemaksiatan). Sebaliknya, Dia akan mengancam orang yang kufur atas nikmatNya yang mempergunakan nikmatNya (nikmat hidup, sehat, serta berbagai nikmat lain) dalam rangka kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan.
Sumber: https://abuzuhriy.wordpress.com/2012/12/20/merenungi-ucapan-istirja-inna-lillahi-wa-inna-ilaihi-rajiun/

HUKUM MEMAKAI PERHIASAN EMAS BAGI WANITA MUSLIM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Dalam Islam dihalalkan bagi wanita memakai (perhiasan) emas, baik yang melingkar maupun tidak melingkar, berdasarkan keumuman firman Allah :
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. [Az Zuhruf/43 : 18]
Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan, bahwa hilyah (perhiasan) termasuk diantara sifat-sifat wanita dan perhiasan tersebut secara umum, baik perhiasan emas atau lainnya.
Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan An Nasa’i dengan sanad yang baik (Jayyid), dari Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radiayallahu ‘anhu, bahwa Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa salam, mengambil sutera, kemudian di letakkan di tangan kanannya dan mengambil emas, kemudian di letakkan di tangan kirinya, lalu beliau bersabda,
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي
“Sesungguhnya kedua benda ini (sutera dan emas) diharamkan bagi laki-laki dari umatku.”
Ibnu Majah menambahkan dalam riwayatnya :
حِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
“Halal bagi perempuan mereka”
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa’i dan At Tarmidzi, dishahihkan olehnya. Dan dikeluarkan juga oleh Abu Daud dan Hakim, dan di shahihkan olehnya. Dikeluarkan oleh AthThabrani dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm, dari Abu Musa Al Asy’ari Radiallahu’anhu, bahwa nabi sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
أُحِلَّ الْحَرِيرُ وَالذَّهَبُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا
“Emas dan sutera dihalalkan bagi orang-orang perempuan umatku dan diharamkan bagi laki-lakinya”
Hadits tersebut di nyatakan cacat dengan al inqitha’ (terputus sanadnya) antara Sa’id bin Abu Hindun dengan Abu Musa (Al Asy’ari). Akan tetapi tidak ada dalil yang dapat dipercaya tentang kecacatannya itu, dan kami sudah menyebutkan ulama-ulama yang telah menshahihkannya. Jika pun diharuskan benarnya kecacatan yang disebutkan tadi (terputus sanadnya), maka hadits ini naik derajatnya dengan hadits-hadits lainnya yang shahih, sebagaimana hal tersebut merupakan kaidah yang dikenal di kalangan imam-imam hadits.
Berdasarkan ini ulama salaf berjalan, dan lebih dari seorang telah menukil ijma’ (kesepakatan) tentang bolehnya wanita memakai perhiasan emas. Kami sebutkan perkataan sebagian ulama Salaf sebagai tambahan penjelas (masalah ini).
Al Jashash berkata dalam tafsirnya, jus II hal.388, berkaitan pernyataannya tentang emas. “Hadits-hadits yang datang tentang di bolehkannya emas bagi wanita dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat lebih jelas dan lebih masyhur, dibanding dengan hadits yang melarang. Dan dalam pendalilan (penunjukan) ayat (yang dimaksud dengan ayat, ialah ayat yang kami sebutkan tadi , surat Az Zuhruf : 18, pent). Juga jelas tentang bolehnya perhiasan emas bagi wanita. Pemakaian perhiasan bagi wanita telah tersebar luas sejak zaman nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam dan sahabat sampai pada zaman kita ini, tanpa seorang pun yang mengingkari mereka (wanita-wanita yang memakai emas). Demikian pula tidak bisa di ingkari (dipertentangkan) dengan khabar-khabar ahad.”
Al Kayaa Al Harasi berkata dalam tafsir Al Qur’an juz IV hal. 391, dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala,
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ
“Artinya : Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (anak perempuan) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan ……[Az Zuhruf/43 : 18]
Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya perhiasan bagi wanita dan ijma’ (kesepakatan) terbangun kuat atas bolehnya, serta khabar-khabar (hadits-hadits) tentang hal ini tidak terhitung (banyaknya)”.
Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, juz IV hal.142, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya emas dan sutera bagi kaum wanita tanpa terperinci, berkata : ” Khabar-khabar (hadist-hadits) ini dan hadits yang semakna dengannya, menunjukkan bolehnya berhias dengan emas bagi para wanita. Dan kami memperoleh petunjuk (dalil) dengan didapatkannya ijma’ tentang bolehnya perhiasan emas bagi wanita dan terhapusnya (hukum) khabat-khabar yang menunjukkan haramnya perhiasan emas bagi wanita secara khusus”.
An Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Majmu’ Juz IV hal.424, “Diperbolehkan bagi wanita memakai sutra serta berhias dengan perak dan emas dengan ijma’ (kesepakatan) berdasarkan hadits-hadits yang shahih”, Beliau juga berkata pada juz VI hal.40 (Pada kitab yang sama-pent), “Kaum muslimin telah bersepakat tentang diperbolehkan bagi wanita memakai beraneka ragam perhiasan dari perak dan emas semuanya. Seperti: Kalung, cincin, gelang tangan,, gelang kaki, dan semua perhiasan yang di pakai di leher dan selainnya, serta semua perhiasan yang biasa di pakai para wanita. Dalam hal ini, tidak ada perselisihan sedikitpun.”
An Nawawi rahimahullah, berkata dalam Syarah Shahih Muslim, Bab : Diharamkan Cincin Emas Bagi Laki-Laki dan terhapusnya (hukum) diperbolehkannya pada permulaan islam,” Kaum Muslimin telah bersepakat bolehnya cincin emas bagi wanita”.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadist Al Bara’,
نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سَبْعِ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah melarang kami dari 7 macam perkara. Beliau melarang kami dari (memakai) cincin emas (Al Hadits). Beliau rahimallah berkata pada Juz X hal. 317, “Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam melarang dari cincin emas atau memakai cincin emas khusus bagi laki-laki, tidak bagi wanita. Sungguh telah dinukilkan kesepakatan (ulama) tentang bolehnya bagi wanita.”
Dihalalkan (perhiasan) bagi wanita secara mutlak, baik yang melingkar maupun tidak melingkar berdasarkan dua hadits yang telah lalu (di atas-pent), disertai dengan kesepakatan ahlul ilmi tentang hal itu yang disebutkan oleh imam-imam tersebut. Juga di tunjukkan oleh hadits-hadits berikut ini.
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i, dari ‘Amr bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya. Bahwa seorang wanita mendatangi Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam bersama dengan puterinya. Dan di tangan puterinya ada dua gelang emas yang tebal. Kemudian Beliau Sallallahu ‘alaihi wa salam berkata kepada wanita tersebut, “Sudahkah engkau memberikan zakat gelang ini?” wanita tersebut berkata, “tidak”. Beliau bersabda,
أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّه بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَافَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ
“Apakah engkau senang jika Allah memakaikan gelang padamu dengan keduanya pada hari kiamat dengan dua gelang dari api neraka?” Kemudian wanita tersebut melepaskan kedua gelang itu dan menyerahkannya kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wa salam dan berkata, “Dua gelang itu untuk Allah dan Rasul Nya”.
Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan kepada wanita itu tentang wajibnya mengeluarkan zakat bagi dua gelang yang disebutkan tadi. Dan beliau tidak mengingkari wanita tersebut karena memakaikan kedua gelang itu pada puterinya. Itu menunjukkan bolehnya hal tersebut. Padahal kedua gelang itu melingkar. Hadits tersebut shahih dan sanahnya jayyid (baik), sebagaimana Al Hafidz (Ibnu Hajar Al Asqalani, pent), memberitakannya dalam kitab Al Bulugh (Bulugh Al Maram, pent).
2. Hadits yang ada dalam Sunan Abu Daud dengan sanad yang shahih, dari ‘Aisyah Radiallahu’anhuma, berkata : ” Aku mempersembahkan sebuah perhiasan kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wa salam yang dihadiahkan oleh seorang An Najasyi (raja Habasyah) kepada beliau. Dalam perhiasan itu terdapat cincin emas permata hubusy. Aisyah berkata : ” Kemudian Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam mengambilnya dengan ranting yang diulurkan atau dengan sebagian jari-jari Beliau. Kemudian Beliau memanggil Umamah puteri Abul ‘Ash, yaitu anak dari puteri Beliau (Zaenab), kemudian Beliau berkata,
تَحَلِّيْ بِهَذَا يَابُنَيَّةُ
“Berhiaslah dengan ini wahai cucuku”.
Beliau sallallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebuah cincin berbentuk sebuah lingkaran dari emas yang kepada Umamah dan berkata, “Berhiaslah dengan cincin ini….”,
Hal itu menunjukkan dibolehkannya emas melingkar secara nash.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad Daruquthni serta dishahihkan oleh Al Hakim sebagaimana dalam Bulugh Al Maram, dari Ummu Salamah Radiallahu’anhuma, Beliau (Ummu Salamah) memakai gelang kaki dari emas, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ini kanzun (harta simpanan)?” Beliau bersabda, “Apabila engkau menunaikan zakat gelang kaki emas itu, maka itu tidaklah termasuk harta simpanan.”
Adapun hadits-hadits yang dhahirnya merupakan larangan memakai emas bagi para wanita, maka hadits-hadits tersebut adalah syadz (ganjil) menyelisihi hadits lain yang lebih shahih dari hadits-hadits tersebut dan lebih tsabit. Imam-imam hadits telah menetapkan, bahwa hadits-hadits yang datang dengan sanad-sanad yang jayyid akan tetapi menyelisihi hadits-hadits (lain) yang lebih shahih darinya, tidak mungkin digabungkan (antara keduanya), dan tidak diketahui tarikhnya, maka hadits-hadits tersebut dianggap syadz, tidak dipercaya dan tidak diamalkan.
Al Hafidz Al ‘Iraqi rahimahullah, berkata dalam Al Afiyah :
Hadits syadz adalah rawi tsiqah yang menyelisihi
Rawi-rawi tsiqah lainnya pada sebuah hadits,
maka diperiksa oleh Asy Syafi’i.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam An Nukhbah (Nukhbatul Fikr, pent), teksnya adalah :
Jika seorang rawi diselisihi oleh rawi (lain) yang lebih rajih (kuat),
maka ar rajih dinamakan al mahfudz dan
lawannya dinamakan syadz.

Sebagaimana disebutkan oleh imam-imam hadits, bahwa di antara syarat hadits shahih yang biasa diamalkan, bahwa hadits tersebut bukan hadits syadz. Dan tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan tentang haramnya emas bagi wanita, walaupun sanad-sanadnya selamat dari cacat-cacat, akan tetapi tidak mungkin digabungkan antara hadits-hadits tersebut dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan halalnya (bolehnya) emas bagi wanita dan hadits-hadits tersebut tidak diketahui sejarahnya. Maka, pastilah hadits-hadits tersebut syadz (ganjil), dan tidak shahih. Sebagai suatu pengamalan kaidah sya’riyyah yang telah dikenal di kalangan ahlul ilmi ini.
Hadits yang disebutkan oleh saudara kami fillah, Al ‘Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Adabuz Zifaaf, berupa penggabungan antara hadits-hadits yang melarang (mengharamkan) dan hadits-hadits yang membolehkan (pemakain perhiasan emas bagi wanita) dengan membawa makna hadits-hadits yang mengharamkan kepada yang al muhallaq (emas yang melingkar), dan membawa makna hadits-hadits yang membolehkan pada selain al muhallaq (tidak melingkar), adalah tidak benar dan tidak sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan kebolehannya. Karena dalam hadits-hadits shahih tersebut terdapat penghalalan (memakai) cincin. Sedangkan cincin melingkar.Penghalalan gelang, sedangkan gelang melingkar. Dengan demikian, maka apa yang telah kami sebutkan menjadi jelas. Dan juga karena hadits-hadits yang menunjukkan halal (bolehnya memakai perhiasan emas bagi wanita) adalah muthlaq (umum) tanpa pengikat. Maka, wajiblah mengambil dan mengamalkan) hadits-hadits yang menghalalkan tersebut karena kemuthlaqannya dan keshahihan sanad-sanadnya. Serta telah dikuatkan oleh apa yang dihikayatkan oleh sekelompok ahlul ilmi berupa ijma’ (kesepakatan) akan terhapusnya (hukum) hadits-hadits yang menunjukkan keharaman (emas melingkar bagi wanita), sebagaimana yang telah kami nukilkan ucapan-ucapan mereka di atas. Inilah yang haq tanpa ragu lagi.
Dengan demikian, maka hilanglah syubhat (kesamaran) dan hukum syar’i menjadi jelas, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Yaitu halalnya (perhiasan) emas bagi wanita-wanita umat ini dan diharamkannya (emas) bagi laki-laki. Wallahu waliyuttaufiq walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wassalam, keluarganya dan para sahabatnya Radiallahu ‘anhum.

Cari Artikel