Adapun orang yang pertama kali mengadakannya
adalah Bani Ubaid Al-Qoddakh yang menamai diri mereka dengan “Fatimiyyah”, yang
mana mereka adalah dari golongan Syi'ah Rafidhah. Mereka memasuki kota Mesir pada tahun 362
H / 977 M. Dari situlah kemudian tumbuh berkembang perayaan maulid secara umum
dan maulid nabi secara khusus.
Imam Ahmad
bin Ali Al-Miqrizi –ulama ahli tarikh/sejarah- mengatakan dalam kitabnya “Al-Mawaidz
wal I’tibar Bidzikri Khutoti wal Atsar” (1/490) :
“Para khalifah Fatimiyyah mempunyai perayaan yang
bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, Asyuro’, maulid
Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah
az-Zahra, dan maulid khalifah.
Serta perayaan lainnya seperti perayaan awal
bulan Rajab, awal Sya’ban, Nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan,
dan penutupan Ramadhan….”
Orang yang pertama kali merayakan hari ulang
tahun nabi setelah mereka adalah Raja Mudhafir Abu Sa’ad Kaukaburi pada awal
abad ke 7 Hijriah. Sebagaimna diungkapkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam
kitabnya “Al-Bidayah wa An-Nihayah : 13/137)” :
“Dia (Raja
Mudhafir) merayakan maulid Nabi di bulan Rabi’ul awal dengan amat mewah.
As-Sibt berkata : Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan
raja Mudhafir disiapkan 5000 daging panggang, 10.000 daging ayam, 100.000 gelas
susu, dan 30.000 piring makanan ringan….”
Hingga beliau (Ibnu Katsir) berkata
pula :
“Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh
agama dan orang-orang Sufi (betapa serupanya dahulu dan sekarang, pen).
Sang raja pun menjamu mereka. Bahkan bagi orang-orang Sufi ada acara
khusus, yaitu bernyanyi di waktu Dzhuhur hingga fajar, dan raja pun juga ikut
berjoget bersama mereka."
Ibnu Khalikan berkata dalam kitabnya "Wafayatul
A’yaan" (4/117-118) :
"Bila
tiba awal bulan Safar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang
indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan para penyanyi. Ahli
penunggang kuda, dan pelawak. Pada hari itu manusia LIBUR KERJA karena ingin
bersenang-senang di kubah-kubah tersebut bersama para penyanyi…..dan bila
maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi dan kambing, yang tak
terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba di
lapangan….Pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah sholat Maghrib di
benteng.”
Demikianlah sejarah awal perayaan hari ulang
tahun Nabi yang penuh pemborosan dan kemaksiatan.
Perkataan
Ulama tentang Maulid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
dalam kitabnya “I’qtidho’ Shirotil Mustaqim” (2/123-124):
“Demikian
pula apa yang diadakan oleh sebagian manusia tentang perayaan hari kelahiran
Nabi, padahal ulama telah berselisih tentang tanggal kelahirannya. Semua tidak
pernah dikerjakan oleh generasi salaf (sahabat, tabi’in, tabi’ut dan
tabi’in)….dan Seandainya hal itu baik (untuk diamalkan), Tentu para salaf
lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta
kepada Nabi dan mereka lebih semangat dalam melaksanakan amal kebaikan.
Sesungguhnya cinta Rasul adalah dengan mengikuti beliau, mentaati perintahnya,
menghidupkan sunnahnya secara dzahir dan batin, menyebarkan ajarannya, dan
berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan ataupun lisan.
Karena inilah
jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan kebaikan.”
Syaik Muhammad Abdussalam As-Syaqiry (murid
Syaikh Rasyid Ridha) berkata dalam kitab “As-Sunan wal Mubtada’at :
123” bahwa :
“Di bulan
ini (Rabi’ul awal), Rasulullah dilahirkan dan diwafatkan…..Oleh karenanya,
menjadikan kelahiran beliau sebagai perayaan merupakan perkara bid’ah munkaroh
dan sesat serta tidak sesuai dengan syariat dan akal. Seandainya perkara ini
baik, Bagaimana mungkin amalan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta para sahabat dan tabi’in,
tabi’ut tabi’in serta ulama kaum muslimin ? Tidak syak lagi bahwa perayaan
tersebut hanyal Dibuat-buat oleh para Sufi yang suka makan, dan oleh
para pengangguran dari kalangan ahlu bid’ah yang kemudian diikuti oleh
mayoritas manusia. Pahala apa yang akan diperoleh dari harta yang
dihambur-hamburkan ?”
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari Al-Jombangi pendiri Pesantren Tebu Ireng dan juga pendiri Nahdlatul
Ulama (NU) berkata dalam kitabnya “At-Tanbihaat al-Waajibat liman
Yashna’ Maulid bin Mungkarot” hal.17-18, yang bukilannya adalah :
“Perayaan
maulid seperti yang saya sifatkan pertama kali (dibumbui maksiat) hukumnya
haram, dan tidak ada dua tanduk yang bertabrakan tentang terlarangnya maulid,
tidak dianggap baik oleh orang yang mempunyai sifat takwa dan iman. Akan tetapi
yang menyenanginya hanyalah orang yang dibutakan matanya dan sangat bernafsu
terhadap makan dan minum serta tidak takut maksiat kepada siapapun dan tidak
peduli dengan dosa apapun. Demikian pula Menontonnya, menghadiri
undangannya, dan menyumbang harta untuk perayaan maulid tersebut. Semua itu
hukumnya haram dan sangat haram, karena mengandung beberapa kemungkaran,
yang akan kami sebutkan di akhir kitab.”
Kemudian
di halaman 8-10, beliau berkata pula :
“Pada
malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awal tahun 1355 H / 1935 M saya melihat sebagian
santri pondok pesantren agama mengadakan perayaan maulid dengan menghadirkan
alat-alat musik kemudian membacakan sedikit ayat Qur’an serta kisah kelahiran
Nabi (kitab Barzanji). Kemudian setelah itu, mulai mengerjakan kemungkaran
seperti (atraksi) pencak silat dengan menabuh gendang. Semua itu dilakukan
dihadapan para wanita yang bukan mahram. Demikian pula sejenis judi (domino),
campur baur laki-laki perempuan, joget, dan tenggelam dalam hal yang sia-sia,
tertawa dan mengeraskan suara di masjid dan sekelilingnya. Melihat itupun SAYA
MENGINGKARI mereka dari kemungkaran-kemungkaran tersebut.
Lalu merekapun bubar.
Tatkala perkaranya seperti yang saya gambarkan tadi, dan saya khawatir dan
kejadian menjijikan ini akan bertambah menyebar ke tempat lainnya atau akan
ditambah lagi oleh orang-orang awam dengan kemaksiatan lainnya, maka saya
tulislah buku ini sebagai Nasehat dan Petunjuk kepada kaum Muslimin.”
Syubhat
Perkara Maulid
Ketahuilah : “Perkataan ini dusta, tidak
berdasar dalil sedikitpun. Sebab maulid Nabi tidak termasuk konsekuensi cinta
kepada Nabi. Cinta Nabi itu dengan ketaatan (dalam menjalankan sunnahnya),
bukan dengan kemaksiatan dan kebid’ahan seperti halnya maulid Nabi. Bahkan
maulid Nabi termasuk pelecehan dan penghinaan kepada Nabi” [“Siyanatul Insan
‘An Waswasati Syaikh Dahlan” hal. 228 oleh Syaikh Muhammad Basyir Al-Hindy,
kata pengatar oleh Syaikh Rasyid Ridha]
Kemudian perhatikan cerita dialog menarik
yang diambil dari buku “Syaikh Abdul Qadir Jailany wa Aro’uhu”
hal.420-421 seputar masalah maulid :
“Suatu kali
aku berkunjung ke salah satu negeri Islam dalam acara muktamar tahun 1415 H /
1993 M, tiba-tiba seorang ulama negeri tersebut mengajak dialog bersamaku
tentang maulid Nabi setelah menuduhku tidak mencintai Nabi karena aku tidak
merayakan maulid. Kemudian aku jelaskan kepadanya bahwa penyebab utama aku
tidak merayakannya adalah justru karena kecintaanku kepada Nabi. Sebab hakekat
cinta kepadanya adalah dengan beramal sesuai petunjuknya (sunnahnya). Lalu
terjadilah dialog sebagai berikut :
Penulis : “Apakah maulid merupakan amal
ketaatan ataukah kemaksiatan ?”
Jawabnya : “Jelas ketaatan”
Penulis : “Apakah
Nabi mengetahui ketaatan tersebut ataukah tidak mengetahuinya ?”
Jawabnya : “Mengetahuinya”. (Dia
menjawab demikian karena tidak mungkin dia berani mengatakan bahwa Nabi tidak
mengetahuinya, kalau dia mengatakan Nabi tidak mengetahuinya berarti perkara
maulid yang dia amalkan langsung menjadi bathil)
Penulis : “Apakah Nabi menyampaikan
perintah maulid atau menyimpannya ?”
Jawabnya : (Dia bingung harus menjawab apa,
lalu berkata) : “Menyampaikannya ?”
(Dia menjawab demikian, karena tidak mungkin
dia menjawab Nabi menyimpannya, kalau dia mengatakan Nabi menyimpan perintah
maulid, berati perkara maulid yang dia amalkan langsung menjadi bathil)
Penulis : “Jika begitu, tunjukkan kepada
saya contoh dari Nabi tentang perayaan maulid (jika kamu berkata bahwa Nabi
menyampaikan hal tersebut) ?
Jawabnya : (Diam tidak bisa menjawab)
Penulis : “Diamnya saudara berarti
menunjukkan bahwa Nabi tidak menyampaikan perkara Maulid ini (tidak ada
contohnya dari beliau).
Akhirnya
dia mengakui bid’ahnya maulid Nabi dan berjanji kepadaku untuk memerangi bid’ah
tersebut. Semoga Allah meneguhkan hatinya.”
Nasehat
untuk saudaraku sesama muslim….
Rasulullah
bersabda: “Janganlah kalian memujiku sebagimana kaum Nashrani memuji Nabi
'Isa. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah : Hamba Alloh dan Rasul-Nya.”
[HR. Bukhari : 3445]
Imam
Syatibi berkata dalam kitabnya “Al-I’tishom” I/64-65), bawah Imam
Malik berkata :
“Barangsiapa
melakukan bid’ah dalam Islam dan MENGANGGAPNYA BAIK (bid’ah ahsanah),
maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad mengkhianati risalah, karena Allah
berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu….”. Maka
apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi) bukan sebagai agama, maka pada hari
ini juga tidak termasuk agama.”
Imam
Al-Barbahari berkta dalam kitabnya “Syarhus Sunnah” hal. 68-69 bahwa :
“Waspadailah olehmu perkara baru (bid’ah). Karena
bid’ah yang awalnya kecil, lambat laun akan terbiasa dan menjadi besar.
Demikian pula setiap bid’ah pada ummat ini, AWALNYA HANYA KECIL MIRIP DENGAN
KEBENARAN, HINGGA PELAKUNYA TERTIPU DAN SUDAH TIDAK MAMPU LAGI KELUAR DARINYA….”
Demikianlah pembahasan ringkas tentang
bid’ahnya maulid nabi. Semoga Allah menunjuki kita semua. Amien.
0 komentar:
Posting Komentar