INILAH MAKNA DAN PENGERTIAN TAHLIL

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI---Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan zikir-zikir dengan maksud menghadiahkan pahala bacaannya kepada orang yang telah meninggal. "Tahlilan" berasal dari kata bahasa Arab tahlīl (تهليل) yang berarti membaca kalimat Lā ilāh(a) illa Allāh (لا إله إلا الله “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”), salah satu yang dibaca pada kegiatan tahlilan. Tradisi tahlilan biasa diselenggarakan setiap malam Jumat atau pada hari-hari kesekian setelah meninggalnya seseorang, meskipun tidak terbatas pada dua kesempatan tersebut.

Makna dan pengertian Tahlil

Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Sudut pandang lain melihat bahwa kegiatan yang sama merupakan “acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah,” karena memang penyelenggara memberikan makanan hidangan dan untuk dibawa pulang.


1. MAKNA TAHLIL

Lafazh tahlil berasal dari kata:

هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا


"Halal" "Yuhalil" "Tahlil"

Artinya: "Mengucapkan la ilaha illallah"

Kalimat "la ilaha illallah" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna: "tidak ada Tuhan selain Allah."



Kata Tahlilan berasal dari bahasa Arab tahliil (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata:
  هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا

yang berarti mengucapkan kalimat: لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى .رواه مسلم
 
“Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Artinya:

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. ." (QS.Muhammad, 19).

Kalimat "la ilaha illallah" disebut juga dengan kalimat tauhid karena dengan kalimat ini seseorang meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, artinya mengakui ke-Esa-an Allah

Kalimat "la ilaha illallah" disebut juga "kalimatul-ikhlas," (HR Tabrani) karena murni hanya berbicara tentang Allah SWT, tidak ada pembicaraan lain.

Kalimat ini disebut juga dzikir, karena denganNya seseorang berdzikir mengingat Allah SWT.

Kalimat "la ilaha illallah" disebut juga kalimat thayyibah (kata-kata yang baik), da'watul-haq (seruan kebenaran) dan al 'urwah al da'watul-haq (seruan kebenaran) dan al 'urwah al wustqa (pegangan yang kokoh).

Kalimat "la ilaha illallah" terdiri dari "nafi" dan "itsbat" "nafi" adalah menafikan (membatalkan semua yang dituhankan dan membatalkan ibadah kepada semua yang dituhankan, berbunyi: illallah.

Lafazh Allah berasal dari kata ilah (...), jamaknya alihah (...) artinya apa saja yang disembah atau yang dipertuhankah. Kemudian Lafazh ilah ini ditambah dengan alif dan lam makrifah, sehingga menjadi alilah (...), kemudian huruf hamzahnya dibuang dan lam pertama dimasukan ke dalam lam kedua (idgam), maka jadilah Allah (اللَّهُ).

Sungguh menjakjubkan, apapun huruf dipermulaannya yang dikurangi, maknanya akan selalu menunjukkan kepada Dia yang punya nama. Kalau alif dihilangkan, maka akan muncul lillah (...), berarti untuk Allah atau karena Allah: kalau lam pertama dihapus, muncul lahu (...) berarti bagi-Nya; begitu pula jika lam kedua dibuang, maka akan tersisa huruf ha. Bila huruf ha ini dibaca secara sukun (...) maka akan muncul ucapan : "ah". inilah bunyi rintihan semua manusia yang menderita atau meringis, hal ini merupakan sebutannya terhadap Tuhan baik orang itu kenal kepada-Nya atau tidak.

Pada perkembangan terakhir, Allah hanya nama yang diperuntukan bagi Tuhan yang sebenarnya dan berhak untuk disembah.

2. TAHLIL DAN SYAHADAT

Seorang non muslim jika ia memeluk Islam dan Mualaf, ia harus mengatakan kalimat ""la ilaha illallah". Dengan kalimat ini ia mengakui ke-Esa-an Allah SWT. Hal ini disebut dengan syahadat tauhid. Syahadat tauhid ini disempurnakan dengan pengakuan akan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang disebut syahadat rasul; sehingga berbunyi:

.........................


Artinya:
"Aku bersaksi (mengakui) bahwa tidak ada Tuhan (yang disembah dengan sebenarnya) melainkan Allah dan aku bersaksi (mengakui) bahwa Muhammad adalah Rasul Allah."

Dengan demikian, syahadat terbagi dua yaitu: syahadat tauhid dan syahadat Rasul.

1). Syahadat Tauhid:

................

Dengan kalimat ini seseorang :
  • Mengakui bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan alam semesta (Rabb al-'Alamin). pengakuan ini disebut Tauhid Rububiyyah.
  • Mengakui bahwa Allah-lah yang berhak disembah dan ditaati segala aturan (syari'at) Nya. Pengakuan  ini disebut Tauhid Uluhiyyah.

2). Syahadat Rasul:

Dengan kalimat ini seseorang mengakui bahwa:

a. Allah yang disembah dan ditaati itu adalah Tuhan yang diterangkan oleh Nabi          Muhammad SAW, yang Maha Esa pada Dzat, sifat dan Af"al-Nya.
- Dzat Allah SWT diyakini akan wujud eksistensi-Nya
- Sifat Allah SWT disaksikan bekas-bekasnya melalui ayat-ayat-Nya yang terpampang di alam semesta dan pada diri manusia sendiri.
- Af'al Allah SWT dihayati terjadinya melalui gerak dan diam yang ada pada alam semesta ini di setiap saat dan waktu.

b. Ibadah yang dilaksanakan harus sesuai dengan acuan yang dicontohkan oleh  Nabi Muhammad SAW dan untuk mencari ridha Allah SWT (ikhlas untuk-Nya).

Demikianlah tentang makna dan pengertian Tahlil, yang terkait dengan kegiatan Tahlilan yang sering dilakukan di masyarakat kita. Semoga tulisan ini bermanfaat, terimakasih sudah berkunjung kembali di blog sisa Harimanusia ini. Wassalam...

CANDA MENURUT SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KRITERIA DAN TUJUANNYA[1]

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Sisa-Harimanusia----Canda tawa merupakan irama kehidupan yang tidak mungkin terhindarkan, apalagi jika kita hidup ditengah masyarakat. Terkadang canda itu menjadi cara untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kita, bahkan dalam kondisi tertentu canda menjelma menjadi metode pendidikan yang jitu. Tidak bisa dipungkiri, canda di saat-saat tertentu memang dibutuhkan untuk menciptakan suasana rileks dan santai guna mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis melakukan aktifitas yang menguras konsentrasi dan tenaga. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat.

HUKUM CANDA DALAM ISLAM

Pada dasarnya, bercanda hukumnya mubah (boleh), selama materi candaan itu bersih dari semua yang terlarang atau diharamkan dalam agama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda.

Al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian tentang bercanda? Maka kami jawab, ‘Bercanda boleh bila menimbulkan rasa nyaman, baik itu bagi orang yang mengajak bercanda, atau bagi orang yang diajak bercanda, atau bagi keduanya.[2]

Imam Nawawi rahimahullah juga berpendapat senada sebagaimana disebutkan didalam kitab al-Adzkâr (hlm. 581). Di situ, beliau rahimahullah menetapkan bahwa bercanda dengan tujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana, maka itu tidak terlarang sama sekali, bahkan canda seperti ini termasuk sunnah yang mustahab (disukai).

Diantara dalil-dalil yang mendasari bolehnya bercanda adalah sebagai berikut:

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunannya, no. 1913, dan dalam kitab asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah, no. 238. Menurut beliau hadits ini derajatnya hasan shahih, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata:

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ غَيْرَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا

Para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau mencadai kami.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betul, akan tetapi saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar.[3]

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998 dan at-Tirmizi, no.1991 dari Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Anas Radhiyallahu anhu , seorang laki-laki meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibawa serta di atas tunggangannya, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ

“Aku akan membawamu dengan anak unta.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasûlullâh! Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina.”[4]

Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya.

    Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga at-Tirmidzi dari Anas Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergaul dan membaur bersama kami, sampai-sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada adikku yang masih kecil:

يَا أَبَا عُميرٍ مَا فَعلَ النُّغَيرُ

 Wahai Abu Umair! Apakah yang telah dilakukan oleh an-nughair?[5]

an-Nughair adalah burung kecil.

Hadit-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semisal menunjukkan bahwa bercanda itu boleh, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama. Terkadang hukum mubah (boleh) ini bisa naik derajatnya menjadi mustahab (disunatkan) apabila maksudnya untuk merealisasikan sebuah kebaikan atau menghiburkan lawan bicara, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Imam Nawawi di atas.

Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, “Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab.”[6]

Izzuddin bin Abdissalam as-Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Dahulu aku pernah ditanya tentang canda, materinya dan canda yang diperbolehkan, maka aku jawab, ‘Canda disunnahkan diantara saudara, teman dan sahabat, karena canda bisa membuat hati senang dan suasana yang bersahabat, akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan, ghibah dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa.”[7]

Dalam kitab al-Mausû’ah al-Kuwaitiyah (36/273) disebutkan bahwa bercanda tidak menghilangkan kesempurnaan, bahkan sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syari’at. Misalnya, canda tapi tetap jujur tidak dusta, tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah, atau untuk menampakkan sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda, namun canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Canda yang seperti ini hukumnya sunnah. Karena hukum asal perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib diikuti atau sunnah untuk diteladani kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh para Ulama.

Berdasarkan nukilan perkataan para Ulama di atas diketahui  bahwa bercanda hukum asalnya mubah, namun terkadang bisa menjadi sunnah bila bermaksud menghibur, terutama bila melihat teman atau saudara dalam keadaan susah atau murung. Ini didukung dengan hadits dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa  anak Ummu Sulaim yaitu Abu Umair terkadang diajak canda oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada suatu hari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk mencandainya, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatinya sedang bersedih. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ada apa dengan Abu Umair, saya melihatnya sedang bersedih?” Para Sahabat menjawab, “Wahai Rasûlullâh! Burung kecil yang biasa dia ajak bermain mati.” Lalu Rasûlullâhpun memanggilnya, “Wahai Abu Umair! Apa yang diperbuat oleh nughair?”

Apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penggalan kisah di atas bertujuan meringankan beban kesedihan anak kecil yaitu Abu Umair Radhiyallahu anhu yang kehilangan burung kesayangannya.

HIKMAH DARI PENSYARIATAN CANDA

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa hikmah disyariatkan bercanda yaitu menghibur saudara. Karena canda tidak diperbolehkan kecuali jika materinya berisi hal-hal yang bisa menghibur pelaku saja, atau orang yang dicandai atau dua-duanya, sebagaimana perkataan al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah.

Namun canda yang diperbolehkan atau bahkan yang disunatkan di atas terikat dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Jika ketentuan-ketentuan ini dilanggar, berarti canda itu masuk kategori canda yang tercela dan terlarang.

KRITERIA CANDA YANG DIBOLEHKAN

Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah:

    Selalu jujur dan tidak bohong

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Ketika para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau menyandai kami.” Beliau bersabda, “Betul, hanya saja saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar (jujur).

Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan al-Mubârak bin Fadhâlah dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata bahwa ada seorang nenek datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasûlullâh! Mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla agar aku dimasukkan ke dalam surga.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek.” Mendengar ini, nenek itu pergi sambil menangis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً ﴿٣٥﴾ فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا ﴿٣٦﴾ عُرُبًا أَتْرَابًا

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. [Al-Wâqi’ah/56:35-37][8]

    Canda itu tidak berlebihan dan tidak dilakukan secara rutin

Ar-Rhâgib al-Asfahani rahimahullah berkata, “Apabila canda tidak berlebihan, maka itu terpuji.”

Canda yang berlebihan akan menyebabkan banyak tawa, terkadang dendam, bisa menjatuhkan wibawa, melalaikan orang dari zikir kepada Allâh dan melalaikan hal-hal penting dalam agama. Sedangkan canda yang rutin akan menyibukkan diri dengan permainan dan sesuatu yang sia-sia. Al-Murthada az-Zubaidi rahimahullah mengatakan, “Para imam mengatakan bahwa canda yang berlebihan mencoreng kewibawaan, dan menjauhkan diri dari canda sama sekali, melanggar sunnah dan sirah nabawiyah yang diperintahkan untuk diteladani. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.”[9]

Di sini ada poin penting yang dilanggar oleh banyak orang, dimana mereka menjadikan canda sebagai sebuah profesi untuk membuat manusia tertawa dengan kedustaan dan berpura-pura (akting), seperti para pelawak dan para kartunis yang sering menjadikan syari’at Islam sebagai bahan candaan, ditambah lagi materinya yang berisi celaan dan tuduhan. Ini semua karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama Islam, kurang memiliki rasa malu dan akal mereka lemah. Na’udzu billah. Canda seperti ini akan menimbulkan kemarahan dan dendam di hati serta pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Bahz bin Hakîm dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia… Celakalah dia[10]

Disebutkan dalam kitab Faidul Qadîr, “Rasûlullâh mengulang-ulang do’anya dengan maksud memberikan gambaran betapa parah celaka yang akan menimpa itu. Karena dusta itu sendiri merupakan sumber semua kejelekan dan inti semua keburukan. Apabila dusta menyatu dengan keinginan memancing tawa yang bisa mematikan hati, menyebabkan lupa, maka akhirnya perbuatan ini menjadi keburukan yang paling jelek.”

Sebagian Ulama mengatakan bahwa merupakan kesalahan fatal menjadikan canda sebagai profesi yang dilakukan secara rutin dan berlebihan, kemudian dia berdalih dengan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia ini seperti orang menghabiskan waktu untuk melihat dan menikmati tarian para dancer dan berdalih bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhu menonton tarian perang pada hari raya. Ini sebuah kesalahan.

    Candanya tidak menimbulkan rasa dongkol, marah dan dendam.

Apabila candanya menimbulkan hal-hal di atas, maka menurut para Ulama, hukumnya salah satu diantara haram atau makruh.[11]

Oleh karena itu termasuk dalam adab canda yaitu tidak bercanda dengan orang yang tidak bisa diajak bercanda. Karena bercanda dengan orang yang seperti hanya menjadi salah satu sebab permusuhan dan bisa memutus hubungan kekeluargaan. Sebagian orang menganggap semua perkataan dan perbuatan itu serius, atau tidak suka bercanda dengan orang tertentu. Berdasarkan ini, kita harus mengenali keperibadian lawan bicara kita, agar tidak salah dan berefek buruk ketika bercanda.

    Candanya bukan dengan seuatu yang metakutkan.

Apabila seperti itu, maka hukumnya tercela, bahkan bisa haram.

Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin as-Sâ-ib bin Yazîd dari bapaknya, dari kakeknya, dia mendengar Rasûlullâh bersabda:

لاَيَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيْهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا

Jangalah salah seorang diantara kalian mengambil barang saudaranya baik itu dalam rangka bercanda ataupun serius.[12]

Mengambil dengan tujuan bercanda maksudnya dia mengambil barang saudaranya dengan niat akan mengambalikannya.[13]

Dalil lainnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, “Kami diberitahukan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika mereka melakukan perjalanan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian salah seorang dari mereka tertidur, sebagian dari mereka mendatanginya dan mengambil anak panahnya. Ketika orang tertidur itu terjaga dia kaget dan ketakutan, sehingga semua orang tertawa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah yang membuat kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Kami mengambil anak panahnya kemudian dia terkejut.” Mendengar ini, Rasûlullâh bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak halal bagi seorang Muslim menakuti  Muslim lainnya[14]

    Canda dilakukan denga tutur kata yang baik dan perbuatan yang elok.
Orang yang hendak mencandai orang lain harus menjauhi perkataan yang jelek dan keji, juga harus menjauhi perbuatan buruk yang bertolak belakang dengan adab kepada teman. Karena itu semua berpotensi mendatangkan kebencian dan kedengkian.

    Canda hendaknya diperuntukkan bagi orang yang membutuhkannya, seperti wanita dan anak-anak. Begitulah canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya candaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperuntukkan bagi wanita dan anak-anak.

TUJUAN DARI CANDA YANG DIPERBOLEHKAN

Islam membolehkan canda untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung, diantaranya:

    Berpartisipasi dalam memperkokoh dan mempererat hubungan antar individu masyarakat. Karena salah satu tujuan di perbolehkannya canda adalah memberikan suasana segar dalam pergaulan diantara dua orang atau lebih yang saling bersahabat dan menjaga perasaan untuk ingin selalu jumpa.

    Meningkatkan semangat beraktivitas dan meningkatkan kemampuan dalam menangggung beban kehidupan. Karena manusia terkadang mangalami futur (lemah semangat atau lesu) dalam melakukan ibadah, bosan dengan kesibukan-kesibukan dan berbagai beban kehidupan, sehingga dia butuh refresing dan permainan yang diperbolehkan.

Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi rahimahullah mengatakan bahwa manusia akan merasa terpenjara jika mereka tidak mau bercanda.[15]

Ini juga bisa menjadi metode yang jitu untuk membangkitkan semangat untuk beribadah, bekerja dan melakukan berbagai aktifitas yang positif.

    Mempermudah untuk meluluhkan hati orang lain agar mau tunduk dan taat. Itulah yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya baik kepada laki-laki, perempuan, ataupun anak-anak.
    Mengobati hati yang lemah. Oleh karena itu, kebanyakan canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilakukan bersama kaum wanita dan anak-anak demi mengobati hati mereka lemah.
    Menghadirkan senyum di bibir dan menebar kebahagian serta suka cita di hati.

Senyum dan tawa adalah hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tersenyum dan tertawa, namun senyum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sering terlihat daripada tawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dan bercanda dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebahagian dan rasa suka cita dalam hati-hati mereka.

    Mendidikan orang yang diajak bercanda dan meluruskan prilakunya

Tujuan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Mâzini Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Ibuku memintaku untuk membawakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setangkai buah anggur, akupun memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah aku sampai dan menyerahkan anggur tersebut Beliau memegang telingaku seraya bersabda, “Wahai ghudar”[16]

Ghudar, artinya orang yang tidak menunaikan amanah.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh ingin bermain dan bercanda dengan anak kecil ini.

Inilah sebagian kriteria dan tujuan diperbolehkannya bercanda. Barangsiapa memperhatikan tujuan dan kriteria dalam candanya maka candanya adalah canda yang diperbolehkan. Namun, barangsiapa melanggarnya atau melanggar sebagiannya berarti dia menyimpang dari jalur kebenaran, dan terjatuh dalam canda yang tercela. Canda yang tercela : semua canda yang merusak rasa malu dan mencoreng kehormatan. Diantara kriteria canda yang tercela sebagai berikut:

    Canda yang mengandung unsur ejekan terhadap agama Islam atau salah satu syari’atnya. Candaan seperti bisa menyebabkan orang yang melakukannya keluar dari Islam, karena mengejak ajaran Islam salah satu diantara yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” , Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman [At-Taubah/9:65-66]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengejek Allâh, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya merupakan kekufuran. Pelakunya bisa menjadi kafir dengan sebab perbuatannya itu.”[17]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafisirkan ini mengatakan, “… Sesungguhnya menghina atau mengejek Allâh Azza wa Jalla , ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah berbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena pokok ajaran agama ini terbangun diatas pengagungan terhadap Allâh Azza wa Jalla , pengaguangan terhadap agama-Nya dan Rasul-Nya, sementara mencela salah satunya bertentangan menghilangkan pokok agama ini dan sangat bertentangan dengannya.”

Semisal dengan ini, perbuatan sebagian orang yang mengejek sebagian sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti mengejek jenggot, hijab atau celana yang di atas mata kaki atau sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Perkataan dan perbuatan seperti ini adalah kemungkaran. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang munafik. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita semua dari perkataan dan perbuatan yang sangat berbahaya ini.

Masalah ketuhanan, kerasulan, wahyu, dan agama merupakan masalah yang terhormat dan mulia. Siapapun tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya, baik dengan mengejek, atau menertawakannya, atau merendahkannya. Jika ada orang yang berani melakukan itu, berarti dia telah kufur. Karena perbuatannya tersebut mengisyaratkan penghinaannya terhadap Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan syari’at-Nya. Orang yang pernah melakukannya wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatannya yang jelek tersebut.

Diantara kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam masalah ini yaitu menjadikan masalah-masalah yang ghaib yang wajib diimani sebagai bahan candaan, seperti masalah surga, neraka atau siksa kubur yang dijadikan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai pengingat dan motivator bagi seorang hamba untuk meraih apa yang telah dijanjikan oleh Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat.

Oleh karena itu perbuatan ini wajib dihindari.

    Mengejek orang lain dengan kedipan mata atau dengan sindiran

Dalam al-Qur’an, Allâh telah melarang hal tersebut, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [Al-Hujurat/49: 11],

Ibnu Katsir rahimahulla berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan mengejek manusia, yaitu perbuatan meremehkan, dan mengoolok-olok manusia, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, dan merendahkan manusia,

Perbuatan merendahkan dan meremehkan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan. Boleh jadi orang yang direndahkan atau diremehkan lebih tinggi kedudukannya disisi Allâh Azza wa Jalla , atau lebih dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla daripada orang mengejek dan merendahkan.[18]

Sebagian orang yang suka mengolok terkadang menemukan orang yang bisa mereka jadikan bahan ketawaan dan candaan. Na’ûdzu billâh. Perbuatan seperti ini perbuatan terlarang dan hendaklah orang-orang seperti ini mengetahui dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ …  كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya dan meremehkannya …. sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim diharamkan bagi Muslim yang lain.[19]

    Canda yang bisa mencelakai orang yang dicandai

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ

Tidak boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi syaitan mengganggu tangannya sehingga dia bisa terjatuh kedalam kubangan api neraka[20],

Dan dalam riwayat Muslim, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أشَارَ إلَى أخِيهِ بِحَدِيدَةٍ ، فَإنَّ المَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ ، وَإنْ كَانَ أخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ

Barangsiapa mengacungkan potongan besi kepada saudaranya, maka dia dilaknat Malaikat sampai dia meninggalkannya, walaupun itu saudara seibu dan sebapak.[21]

Al-Hafiz Ibnu Hajar t berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan dari segala sesuatu yang bisa menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu terlarang tersebut tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius.”[22]

Pada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Walaupun itu saudara kandungnya” terdapat penekanan dalam menjelaskan keumuman larangan, tidak diperbolehkan bercanda seperti diatas kepada siapapun, dan dalam situasi apapun, baik canda ataupun serius, karena membuat muslim menjadi takut, gusar, resah hukumnya haram pada setiap keadaan. Karena terkadang juga senjata yang dipakai bermain itu benar-benar mengenai saudaranya tanpa sengaja.[23]

Maka hati-hatilah wahai saudaraku dari perbuatan seperti di atas, perbuatan yang bisa menghantarkan kita pada ancaman dasyat, yaitu terjauhkan dari rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

    Canda yang mengandung dusta dan ghibah

Poin pertama yaitu tentang candaan yang mengandung dusta sudah dijelaskan pada penjelasan di atas. Adapun poin yang kedua, yaitu ghibah, ini merupakan penyakit yang buruk dan termasuk dosa besar. Cerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra’ mi’raj mestinya sudah memberikan gambaran betapa buruknya perbuatan ini. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُون بها وُجُوْهَهُمْ وصُدورَهم فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُـحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِم

Ketika saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra’ dan Mi’raj), saya melalui satu kaum yang memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka saya berkata, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Mereka adalah orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.’[24]

Terkadang perbuatan buruk ini terlihat indah dan bagus bagi orang sebagian orang, sehingga dia tertarik untuk melakukannya. Semua dilakukan dengan dalih canda dan untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan, padahal tanpa dia sadari dia telah terjatuh dalam perbuatan ghibah yang diharamkan, yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Tahukah kalian, apa itu ghibah? Para Sahabat berkata, ‘Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak sukai.’[25]

Jadi, canda, ramah tamah, dan membuat orang lain menjadi senang dan bahagia tidak bisa dilakukan dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Akhirnya, inilah beberapa ketentuan dan tujuan bercanda. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikannya bermanfaat bagi kami dan semua yang membacanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlah, edisi 07, dengan judul al-Mizâh fi Sunnah, karya Abdul Majid

[2] Qawâ’idul Ahkâm fi Mashâlihul Anâm,  2/391

[3] Hadist ini shahih, lihat kitab As-Shahîhah,  no. 1726

[4] Sanad hadist ini shahih sesuai dengan syarat imam al-Bukhâri dan Muslim. Lihat  Mukhtasar Syamâ’il, Imam al-AlBâni, no. 203

[5] HR. Al-Bukhâri, no. 5774; Muslim, no. 4003, dan Tirmizi, no. 305

[6] Fathul Bâri, 10/527

[7] Al-Mirah fil Mizâh, hlm. 8

[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmizdi dalam Syamâ’il, no. 238, dan hadits ini dinilai hasan oleh al-Albâni dalam Mukhtasharnya, no. 205

[9] Tâjul ‘Arûs, dalam materi huruf mim za ha

[10] HR. At-Tirmidzi, no. 2315; Abu Daud, no. 4990 dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Shahîh at-Tirmizi no. 1885

[11] Qawâidul Ahkâm,  2/391, dan al-Azkâr an-Nawawiyah, hlm. 581

[12] HR. At-Tirmidzi no. 2160; dan Abu Daud, no. 5003; dan lafaz hadist dari Abu Daud

[13] Disebutkan oleh al-‘Iz bin abdissalam dalam Qawâ’id al-Ahkâm, 2/392

[14] Imam ahmad dalam Musnadnya no.23064, dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Ghayatul Marâm, no. 447

[15] Al-Adâb asy-Syariyah, 2/321

[16] Ibnu Sunni, no. 401; dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, no.2673. Hadist ini menjadi hasan dengan beberapa jalan yang dimiliki

[17] Majmû’ Fatâwâ, 4/173. Cetakan al-Ubaikan

[18] Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, 13/154. Cetakan Qurthubah

[19] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 4650 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[20] HR. Al-Bukhâri dan Muslim

[21] HR. Muslim, no. 2616

[22] Fathul Bâri, 13/25

[23] Dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam Syarah shahih Muslim, 16/170

[24] HR. Abu Daud, no.4878. Hadist ini shahih. Lihat as-Shahîhah, no. 533

[25] HR. Muslim, no.2589


Sumber: https://almanhaj.or.id/

Cari Artikel