PENGERTIAN DAN TATA CARA SHOLAT KHUSYU

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI-Pendidikan Agama Islam---Ibadah sholat yang kita lakukan hendaknya selalu khusyu, agar sholat menjadi lebih bernilai, bukan sekedar menunaikan kewajiban saja, tetapi merupakan ibadah yang sempurna untuk mencapai keridhoan Allah SWT.


Sebelum kita membahas lebih jauh tentang bagaimana sholat yang khusyu tersebut, alangkah baiknya kita pahami pengertian tentang khusyu itu sendiri.


Pengertian Tentang Khusyu

Tentang sholat yang khusyu ini Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur'an sebagai berikut:

Katakanlah : "Sesungguhnya aku diperintahkan menyembah Allah dengan tulus ikhlas, beragama karena-Nya semata-mata,"  Q: XXXIX (Al-Qur'an Surah Az-Zumar): 1

Secara mendasar ayat ini telah menuntun kita menuju pokok utama sasaran pembicaraan dalam blog ini, yaitu masalah khusyu". Pada hakikatnya pengertian sholat yang khusyu' itu telah terkandung oleh ayat di atas. Tatapi mengingat kenyataannya, keterbatasan kita sebagai manusia yang selalu ragu-ragu kita harus menambahkan lagi dengan pernyataan-pernyataan yang lain untuk menunjang pengertian tersebut dengan penjelasan af'al dari istilah itu.

Jika disusun secara lebih terurai, khusyu' itu akan menampilkan pengertian kurang lebih sebagai berikut:

Khusyu adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan bathin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhi dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta'rifan) segala ucapan dan bentuk atau sikap lahir.

Arti khusyu’ dalam bahasa Arab ialah al-inkhifaadh (merendah), adz-dzull (tunduk), dan as-sukuun (tenang). Seseorang dikatakan telah mengkhusyu’kan matanya jika dia telah menundukkan pandangan matanya. Secara terminology khusyu’ adalah seseorang melaksanakan shalat dan merasakan kehadiran Allah SWT yang amat dekat kepadanya, sehingga hati dan jiwanya merasa tenang dan tentram, tidak melakukan gerakan sia-sia dan tidak menoleh. Dia betul-betul menjaga adab dan sopan santun di hadapan Allah SWT. Segala gerakan dan ucapannya dia konsentrasikan mulai dari awal shalat hingga shalatnya berakhir.

Sedangkan menurut para ulama khusyu’ adalah kelunakan hati, ketenangan pikiran, dan tunduknya kemauan yang renadah yang disebabkan oleh hawa nafsu dan hati yang menangis ketika berada di hadapan Allah sehingga hilang segala kesombongan yang ada di dalam hati tersebut. jadi, pada saat itu hamba hanya bergerak sesuai yang diperintahkan oleh Tuhannya Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an kata khusyu’ disebutkan sebanyak 17 kali dalam bentuk kata yang berbeda. Meskipun mayoritas ditujukan kepada manusia namun ada juga sebagian ayat yang menyatakan bahwa khusyu’ berlaku juga untuk benda-benda yang lain seperti gunung dan bumi.

Karenanya, termasuk ke dalam sholat khusyu' itu segala sesuatu yang menggambarkan tunduk dalam berbagai ragam segi sebagai berikut:
1. Sikap hormat, sungguh-sungguh dan tertib
(yang sudah barang tentu menolak sikap memain-maikan anggota badan, berpaling-paling, terburu-buru, dan sikap seenaknya).
2. Merendahkan suara, menyempurnakan tartil
(yang sudah barang tentu menolak suara yang berlebih-lebihan dalam lagu dan mengeraskannya, ucapan/lafadz yang tergesa-gesa dan sembrono)
3. Menenangkan sikap, memusatkan perhatian dan pikiran
(yang sudah barang tentu menolak sikap/berdiri yang tidak stabil, mata yang melihat-lihat ke kiri dan kekanan pikiran yang gelisah atau masih terpaut kepada hal-hal yang lain).

Sebenarnya istilah yang menggambarkan af'al khusyu ini bukanlah tertentu kepada shalat saja, melainkan juga dalam pekerjaan lain yang bukan shalat, bahkan dalam renungan ketika kesepian atau sampai-sampai ketika buang air dalam kamar mandi kecil sekalipun.
Kristalisasi sikap khusyu' di dalam shalat secara menyeluruh, dapat disimpulkan dalam pengertian ihsan yang dijelaskan Rasulullah saw:





Menyebah Allah seolah-olah engkau melihat Dia, karena walaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat engkau (Bukhari: 42 - Muslim; 1).

Itulah sebabnya Imam Ghazali mengatakan bahwa khusyuk itu adalah sebuah iman dan natijah keyakinan yang dikarenakan oleh kebesaran Allah SWT.


PERKEMBANGAN MAZHAB HANAFI DALAM ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI---Perkembangan Mazhab Hanafi.--Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab fikih tertua dalam masyarakat Muslim. Pertama kali dirintis oleh Imam Abu Hanifah (150 H). Seorang ulama-entrepreneur yang tinggal di Kota Kufah, Irak.

Abu Hanifah meninggalkan tiga karya tulis, yaitu kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Fiqh Al-Absath, dan Al-Alim Wa Al-Muta'allim. Tidak ada yang secara khusus membahas tentang hukum Islam. Pemikiran hukum Islam Abu Hanifah lebih banyak diperoleh dari karya-karya muridnya, seperti Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaiban (189 H).

Abu Yusuf mengarang Kitab al-Atsar dan Kitab Al-Kharaj. Kedua karya tersebut menarik perhatian pemerintah pada era Abbasiyah. Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai Hakim Agung. Tugasnya tak hanya memutus persoalan hukum yang terjadi di wilayah kekuasaan Abbasiyah, tetapi juga mengangkat para hakim lokal.

Abu Yusuf lebih banyak mengangkat para ahli yang memiliki kemampuan memutuskan hukum dengan metode Imam Abu Hanifah. Karena kebijakan ini, masyarakat pada akhirnya lebih mengenal pandangan-pandangan hukum Mazhab Hanafi dibanding pandangan mazhab lain. Di antara lokasi yang menjadi pusat penyebaran Mazhab Hanafi adalah Irak, Khurasan, Syam, Mesir, dan wilayah Afrika Utara lainnya.

Al-Mayuriqi (488 H), dalam kitab Jadwah Al-Muqtabis Fi Dzikri Wulat Al-Andalus, membenarkan keterlibatan kekuasaan dalam penyebaran Mazhab Hanafi. Dia mengutip pernyataan Ibn Hazm, seorang ulama Andalusia bermazhab Zahiri yang mencatat, "Dua mazhab yang berkembang karena dukungan kekuasaan adalah Mazhab Hanafi di Timur dan Mazhab Maliki di Andalusia."

Pengaruh Mazhab Hanafi yang kuat di masyarakat Abbasiyah, ditunjukkan salah satunya ketika Khalifah Al-Qadir Billah mengganti hakim kota Baghdad dengan hakim bermazhab Syafi'i bernama Al-Barizi.

Menurut Ahmad Timur dalam buku Nazhrah Tarikhiyyah Fi Huduts Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah Al-Arba'ah, kebijakan tersebut memicu konflik di masyarakat bawah. Khalifah Al-Qadir Billah akhirnya mengembalikan jabatan hakim kepada ulama bermazhab Hanafi untuk menghentikan keresahan.

Sejak saat itu, Mazhab Hanafi memiliki posisi yang kuat dalam pemerintahan.

Dalam catatan Christie S. Warren yang dipublikasikan Oxford Bibliographies, dituliskan bahwa pada abad ke-16 Kekhalifahan Turki Usmani mengadopsi Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Chamim Tohari dalam artikelnya yang berjudul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah menulis, pada tahun 1889, Turki Usmani meresmikan kitab Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah.

Kitab ini disusun untuk menyamakan rujukan hukum para hakim di bawah kekhalifahan Turki Usmani yang sebelumnya tidak memiliki kitab kompilasi hukum yang menjadi rujukan bersama. Kitab hukum ini diadopsi dari kitab-kitab muktabar dalam mazhab Hanafi. Hal ini menunjukkan, sekali lagi, pengaruh mazhab Hanafi yang kuat pada era kekhalifahan Turki Usmani.

Dalam Ensiklopedi Tunisia (Al-Mausu'ah Al-Tunisiyyah Al-Maftuhah) disebutkan, Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab yang punya banyak pengikut di Tunisia. Mazhab Hanafi telah masuk sejak abad ketiga Hijriah. Namun para pengikut Mazhab Hanafi mendapatkan posisi mereka semakin kuat ketika Turki Usmani menguasai Tunisia. Mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi.

Para pejabat, tentara, dan para hakim bermazhab Hanafi. Syaikhul Islam, jabatan mufti tertinggi negara, selalu dipegang ulama pengikut bermazhab Hanafi.

Menurut Abu Zahrah dalam buku Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah, ada tiga faktor perkembangan mazhab Hanafi. Pertama, banyaknya murid Abu Hanifah yang memiliki kecakapan dalam menjawab permasalahan-permasalahan hukum.

Mereka menguasai metode pengambilan keputusan hukum Abu Hanifah, pendapat-pendapat pendiri mazhab, dan dasar-dasar yang digunakannya. Hal ini membuat mereka dapat dengan cepat menemukan hukum agama terkait dengan kasus yang sedang terjadi. Selanjutnya mereka menjadi rujukan masyarakat luas.

Kedua, pengembangan teori pengambilan keputusan hukum. Pada saat yang bersamaan, pengikut mazhab lain belum menyadari pentingnya pengembangan teori tersebut. Misalnya tentang proses penemuan alasan hukum atau biasa disebut illat al-hukm.

Dengan memahami alasan di balik suatu keputusan hukum, mereka dapat melakukan analogi untuk kasus-kasus baru. Hal ini menjadikan Mazhab Hanafi lebih maju dibanding mazhab hukum lainnya. Bahkan, kasus-kasus yang belum timbul di masyarakat dapat diantisipasi sebelum terjadi.

Ketiga, penyebaran ke wilayah yang memiliki adat-istiadat yang beraneka macam. Hal ini akan menguji kemampuan para hakim bermazhab Hanafi menjawab permasalahan yang timbul. Pengalaman ini membuat para ulama pengikut Mazhab Hanafi dapat mengembangkan metode pengambilan hukum dan mengkompilasi fatwa yang sangat kaya.

Penyebaran ke berbagai wilayah tersebut tidak dapat dilepaskan dari dukungan penguasa Abbasiyah di masa lalu dan penguasa Turki Usmani pada era modern.

Saat ini, mazhab Hanafi menjadi mazhab yang dominan di beberapa negeri mayoritas Muslim. Christie S. Warren mencatat bahwa Mazhab Hanafi banyak dianut di Yordania, Lebanon, Pakistan, Suriah, Turki, Uni Emirat Arab, Bangladesh, Mesir, India, dan Irak. Konstitusi Afghanistan banyak merujuk kepada fatwa-fatwa Mazhab Hanafi.

Pengaruh Mazhab Hanafi dapat dilihat dalam sejumlah praktik masyarakat di negara-negara yang mengikuti mazhab tersebut. Salah satu praktik ibadah yang didasarkan kepada Mazhab Hanafi adalah azan yang digunakan di sebagian masjid di India dan Afghanistan.

Di Indonesia yang pada umumnya bermazhab Syafi'i, azan dimulai dengan bacaan takbir sebanyak empat kali. Praktik berbeda yang dapat ditemui pada sebagian masjid penganut Mazhab Hanafi, bacaan takbirnya hanya dua kali. Azan semacam ini didasarkan kepada pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani.

Praktik ibadah lain yang didasarkan kepada Mazhab Hanafi adalah cara berwudu dengan cara duduk di tempat yang tinggi seperti bangku. Di tempat wudu di masjid-masjid Turki, negara yang banyak ditemukan penganut Mazhab Hanafi, disediakan bangku duduk di depan kran-kran wudu.

Hal ini karena dalam Mazhab Hanafi, sebagaimana juga fatwa dalam mazhab Maliki, sangat dianjurkan duduk di tempat agak tinggi (al-julus fi makanin murtafi'in) saat berwudu. Tujuannya untuk menghindari percikan air bekas wudu yang menurut sebagian pendapat dinilai najis.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Abidin Al-Hanafi dalam kitab Al-Durr Al-Mukhtar Syarah Radd Al-Mukhtar. Praktik berwudu dengan cara duduk tentu tidak akan dijumpai di masjid-masjid di Indonesia yang umumnya mengikuti mazhab Syafi'i dan tidak menilai najis bekas air wudu. Pada umumnya, tempat wudu di masjid Indonesia tidak disertai bangku. Masyarakat Muslim Indonesia juga berwudu dengan cara berdiri.

Baca Juga Selengkapnya:

Sejarah Singkat dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih !  LINK

Sejarah dan Perkembangan Mazhab Maliki (Malikiyah) ! LINK

Sejarah dan Perkembangan Mazhab Hanbali ! LINK


Sejarah dan Perkembangan Mazhab Syafi,i LINK

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MAZHAB SYAFI'I DALAM ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI---Perkembangan Mazhab Syafi’i. ---Imam Syafi’i merupakan satu dari sekian banyak Imam Madzhab yang menyandang status Mujtahid Mutlak; satu dari lima imam madzhab yang sampai hari ini masih diikuti oleh banyak orang.

Dalam sejarahnya sendiri, Imam Asy-Syafi’i telah memadukan antara dua madrasah. Madrasah Ahlul Hadis yang direpresantasikan oleh Imamu Daril Hijrah, Malik ibn Anas dan juga Madrasa Ahlur ra’yi yang direpresentasikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam asy-Syafi’i belajar langsung di Madrasah Ahlul Hadis kepada Imam Malik ibn Anas, sedangkan di Madrasah Ahlul Ra’yi, beliau belajar kepada Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani. Sebab, Imam Abu Hanifah meninggal di tahun kelahiran Imam As-Syafi’, 150 Hijriyah.

Fase kemunculan, pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’i telah dikaji oleh banyak pakar semisal Syeikh Muhammad Ibrahim Ahmad Ali dalam risalahnya al-Madzhab ‘inda asy-Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Batawi dalam kitabnya al-Imam asy-Syafi’i fie Madhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, Syeikh Akram Yusuf Umar dalam kitabnyan al-Madzkhal ila Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy dan juga ulama-ulama yang lainnya.

Syeikh Muhammad Ibrahim membagi Madzhab Syaf’i ke dalam empat fase penting. Pertama adalah fase ta’sis. Fase ini dimulai sejak munculnya pendapat-pendapat Imam asy-Syafi’i yang berbeda dengan madzhab dua gurunya, Madzhab Maliki dan Hanafi. Pikiran-pikiran baru Imam Asy-Syafi’i tertuang dalam Qaul Qadim ketika beliau berada di Iraq pada kisaran tahun 195 sampai 199 hijriyah. Juga tetuang dalam Qaul Jadidnya di Mesir pada tahun 199 H sampai wafatnya  pada tahun 204 hijriyah.

Fase kedua adalah fase penyebaran. Fase ini dimulai sejak wafatnya sang imam dan berakhir pada paruh akhir abad keenam hijriyah. Fase ketiga adalah fase tahris dan tanqih. Fase ini dimulai dari paru terakhir abad ke enam hijriyah dengan munculnya Imam Abul Qasim, Imam Abdul Karim ar-Rafi’i dan Imam Abu Zakariyah Muhyiddin an-Nawawi. Fase ini membentang sampai akhir abad ke sembilan hijriyah.

Fase terakhir menurut Syeikh Muhammad Ibrahim adalah fase istiqrar. Dimulai dari akhir abad kesembilan dengan kemunculan para imam madzhab syafi’i. Di antaranya adalah Syeikh Zakariya al-Anshari, Syeikh Syihab ar-Ramli, Syeikh Ibn Hajar al-Haitami, Syeikh Syamsuddin ar-Ramli. Dua nama terakhir ini adalah pioner madzhab Syafi’i pada fase ini.  Sampai-sampai, jika kedua imam ini telah bersepakat atas suatu hal yang tidak ada kesepakatan sebelumnya antara Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi, maka tidak ada jalan bagi ulama Syafi’iyah yang lain kecuali mengikuti kesepakatan keduanya.

Sama dengan Syeih Muhammad Ibrahim, Syeih Ahmad Nahrawi juga membagi Madzhab Syafi’i ini kedalam empat fase. Pertama adalah fese persiapan  dan pembentukan. Fase ini dimulai pasca wafatnya Imam Malik pada tahun 179 hijriyah dan berlanjut sampai pada ziarahnya ke Bagdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 hijriyah. Pada fase inilah kemampuan pikiran Muhammad ibn Idris  dalam hal fiqih menemukan ketajamannya setelah bergelut dengan dua madrasah fiqih pada masa tersebut. Fase ini juga, menurut Syeikh Ahmad Nahrawi, adalah fase dimana Imam Asy-Syafi’i mulai menuju kepada tingkatan mujtahid mutlak.

Fase kedua adalah fase kemunculan dan pertumbuhan madzhab qadim. Fase ini bermula saat Imam Asy-Syafi’i mengunjungi Bagdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 hijriyah sampai kepindahan beliau ke Mesir pada kisaran tahun 199 hijriyah.

Pada fase ini, beliau  mulai berfatwa dengan pendapatnya dan meninggalkan pendapat gurunya Imam Malik  dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani shahibul Imam Abu Hanifa. Fase ini disebut fase kemunculan sebab dalam berfatwa, Imam asy-Syafi’i benar-benar datang dengan sesuatu yang “baru” baik furu’ maupun metode istimbat hukum (Ushul Fiqh).  Pada fase ini Imam Asy-Syafi’i  telah menulis kitab al-Hujah fi al-Fiqh dan ar-Risalah al-Qadimah al-Iraqiyah dalam bidang Ushul Fiqih. Pemikiran Imam asy-Syafi’i di Iraq ini kemudian menyebar melalui para murid-murinya. Di antara yang paling masyhur adalah Al-Hasan az-Za’farani.

Fase ketiga adalah fase pematangan dan integrasi madzhab baru (Qaul Jadid). Fase ini berlangsung sejak hijrahnya Imam asy-Syafi’i dari Iraq pada tahun 199 H sampai wafatnya pada tahun 204 hijriyah. Kondisi Mesir ternyata berbeda dengan kondisi di Iraq. Beliau  menemukan hal-hal baru yang menuntut adanya telaah ulang atas pendapat dan argumen-argumen yang ada pada Qaul Qadim Iraqi. Oleh karena itu, Imam asy-Syafi’i memulai untuk melakukan kritik ra’yi hingga lahirlah Qaul Jadid Misri. Pada masa tela’ah atau otokritik ini, beliau menulis kitabnya yang masyhur, yang sampai saat ini dijadikan rujukan kaum muslimin, Kitab al-Umm dalam bidang fikih dan kitab ar-Risalah al-Mishriyah dalam bidang Ushul Fiqih.

Fase terakhir -menurut ulama yang makamnya ada di Mampang Prapatan ini- adalah fase takhrij dan tadzyil. Fase ini dimulai dari wafatnya sang Imam sampai pertengahan abad kelima atau enam hijriyah. Pada fase ini, para imam dalam madzhab syafi’i mulai melakukan takhrij atas pendapat-pendapat ulama-ulama syafi’iyah sebelumnya dengan cara mencocokkan hasil-hasil istimbat berserta tatacara istimbatnya dengan kaidah-kaidah dasar yang telah digariskan oleh Imam Asy-Syafi’i. Maka, pada fase ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Ibrahim, muncul gerakan tarjih yang dipelopori oleh Imam ar-Rafi’i dan An-Nawawi pada periode tanqih dan tarjih pertama dan Imam Ar-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami pada periode tanqih kedua.

Baca Juga :




SEJARAH SINGKAT DAN KARAKTERISTIK 4 MAZHAB FIQIH

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI--Sejarah Singkat dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih. Mazhab merupakan istilah dari bahasa Arab yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati. Sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik secara konkrit maupun secara abstrak. Mazhab merupakan jalur yang dipilih sehingga terhubung dengan risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW.

Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

Setidaknya ada tiga ruang lingkup yang sering menggunakan istilah mazhab di dalamnya. Pertama mazhab akidah, mazhab politik, dan mazhab fiqih. Dalam hukum Islam atau fiqih terdapat empat mazhab besar yang diakui oleh golongan ahli sunnah wal jamaah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.



Ke empat mazhab fiqih ini telah mempengaruhi perkembangan Islam. Perbedaan implementasi fiqih berdasarkan mazhab masing-masing dalam suatu komunitas tak jarang menjadi perdebatan yang tak berkesudahan. Namun toleransi merupakan kunci terjaganya persaudaraan dalam iman. 

1. Hanafi

Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab fikih tertua dalam masyarakat Muslim. Pertama kali dirintis oleh Imam Abu Hanifah (150 H). Seorang ulama-entrepreneur yang tinggal di Kota Kufah, Irak.

Mazhab Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu'man bin Tsabit atau yang lebih terkenal dengan nama Abu Hanifah. Ia wafat 767 masehi. Pemikiran hukumnya bercorak rasional. Mazhab ini berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah mencapai kemajuan yang tinggi di Iraq. Sehingga persoalan yang muncul banyak dipecahkan melalui pendapat, analogi, dan qiyas khafi. Karyanya yang terkenal adalah Fiqh Al-Akbar.

Abu Hanifah meninggalkan tiga karya tulis, yaitu kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Fiqh Al-Absath, dan Al-Alim Wa Al-Muta'allim. Tidak ada yang secara khusus membahas tentang hukum Islam. Pemikiran hukum Islam Abu Hanifah lebih banyak diperoleh dari karya-karya muridnya, seperti Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaiban (189 H).

Mazhab Hanafi merupakan mazhab fiqih dengan jumlah pengikut terbesar di dunia dengan jumlah pengikut sebanyak 675 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Pakistan, India, Bangladesh, Turki, Afganistan, dan Uzbekistan.

Pada masa Turki Utsmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi kerajaan. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Abu Yusuf yaitu guru Imam Ahmad, asy-Syaibani yaitu guru Imam Syafi'i, Abu Mansur Al-Maturidi, Jalaluddin Al-Rumi, dan Bahauddin Naqsyaban.




2. Maliki

Mazhab Maliki atau Maliki adalah mazhab yang didirikan oleh Malik bin Anas atau yang biasa dikenal dengan nama Imam Malik. Imam Malik wafat pada 797 Masehi. Sepanjang hidupnya Malik tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali untuk keperluan ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual.

Imam Malik juga termasuk periwayat hadist. Karyanya yang terkenal adalah al-Muwattha', yaitu hadis yang bercorak fiqih. Imam Malik juga dikenal sebagai seorang Mufti dalam kasus-kasus yang dihadapi. Salah satu fatwanya bahwa baiat yang dipaksakan hukumnya tidak sah. Selain itu pemikirannya juga banyak menggunakan tradisi bangsa Madinah.

Imam Malik terkenal sebagai seorang Mujtahid yang berpegang teguh kepada Hadis. Jika Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlur Ra’yi, maka Imam Malik disebut dengan Ahlul Hadis. Diantara karya besarnya dalam bidang Hadis adalah Kitab Al-Muwatha’. Beliau menulis dan meneliti karyanya ini selama 40 tahun. Kitab inilah yang kemudian menjadi fundamen dasar dan menjadi pokok utama dalam pemikiran dan perkembangan madzhab Maliki. Dalam kitab inilah Imam Malik menuangkan gagasannya terhadap model ijtihad baru seperti amalu ahlil madinah dan qaul sahabi.

Mazhab Maliki merupakan mazhab fiqih dengan pengikut yang terkonsentrasi pada wilayah Afrika Utara dan Afrika Barat dengan jumlah pengikut sebanyak 270 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Maroko, Al-Jazair, Mesir, Sudan, Nigeria, dan Tunisia. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Syafi'i, Yahya Al-Laitsi, Ibnu Rusdi, AI Qurthubi, Ibnu Batutah, dan Ibnu Khaldun.

Walaupun sama-sama berfahamkan ahlussunnah wal jamaah yang diikuti oleh jumhurul ulama’, tetapi ada banyak perbedaan yang terdapat antara Imam Malik dan Abu Hanifah. Diantara hal yang menyebabkan madzhab Maliki berbeda dengan madzhab Hanbali adalah pertama, banyak pendapat-pendapat Imam Malik yang dibukukan oleh Imam Malik sendiri di kota kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya. Dengan demikian maka kita bisa melihat dengan jelas dasar-dasar madzhabnya seperti yang kita lihat dari kitabnya, Al-Muwatha’. Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya. Sumbangan dari murid-muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar yang ditetapkan oleh Imam Malik, dan oleh karena itu murid-murid imam Malik termasuk dalam tingkatan Mujtahid Madzhab.




3. Syafi'i

Mazhab Syafi'i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi'i. Ia wafat pada 767 masehi. Selama hidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis.

Selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijma, Imam Syafl'i juga berpegang pada qiyas. Beliau disebut juga sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul Fiqih. Karyanya yang terkenal adalah AI-Umm dan Ar-Risalah.

Pemikirannya yang cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul Qadim (pendapat yang baru) dan Qaul Jadid (pendapat yang lama). Untuk penyebarannya mazhab Syafl'i diikuti oleh 495 juta jiwa. Negara-negara dengan mayoritas pengikut mazhab ini adalah Indonesia, Ethiopia, Malaysia, Yaman, Mesir, dan Somalia.

Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Ahmad AI Ghazali, lbnu Katsir, lbnu Majah, An Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Abu Hasan Al Asy'ari, dan Said Nursi.

Dalam perkembangan Mahzab Syafi'i, Imam Asy-Syafi’i telah memadukan antara dua madrasah. Madrasah Ahlul Hadis yang direpresantasikan oleh Imamu Daril Hijrah, Malik ibn Anas dan juga Madrasa Ahlur ra’yi yang direpresentasikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam asy-Syafi’i belajar langsung di Madrasah Ahlul Hadis kepada Imam Malik ibn Anas, sedangkan di Madrasah Ahlul Ra’yi, beliau belajar kepada Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani. Sebab, Imam Abu Hanifah meninggal di tahun kelahiran Imam As-Syafi’, 150 Hijriyah. 

Fase kemunculan, pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’i telah dikaji oleh banyak pakar semisal Syeikh Muhammad Ibrahim Ahmad Ali dalam risalahnya al-Madzhab ‘inda asy-Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Batawi dalam kitabnya al-Imam asy-Syafi’i fie Madhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, Syeikh Akram Yusuf Umar dalam kitabnyan al-Madzkhal ila Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy dan juga ulama-ulama yang lainnya. Syeikh Muhammad Ibrahim membagi Madzhab Syaf’i ke dalam empat fase penting. 



4. Hambali 

Mazhab Hambali atau Hanabilah di (*almutaqadima oleh Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia wafat pada 855 masehi. Pada masa mudanya beliau telah berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i.

Corak pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW.

Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.

Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.



Demikianlah sejarah singkat dan karakteristik 4 Mazhab Fiqih dalam Agama Islam. Semoga bermanfaat. Terimakasih.


Baca Juga Selengkapnya:

Sejarah dan Perkembangan Mazhab Maliki (Malikiyah) ! LINK

Sejarah dan Perkembangan Mazhab Hanafi ! LINK


Sejarah dan Perkembangan Mazhab Syafi,i  !  LINK

Sejarah dan Perkembangan Hanbali  !  LINK


PERKEMBANGAN MAHZAB MALIKI (MALIKIYAH)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI--Perkembangan Mazhab Maliki (Malikiyah)---Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman penguasa waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak dan tidak pula kepada pemerintah. Beliau memilih tidak memihak kepada pemberontak karena menurutnya suatu keadaan tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan. Sedangkan ketidak berpihakannya kepada pemerintah muncul setelah beliau menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan terhadap lawan politiknya, seperti terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam menyikapi pemberontakan ini Imam Malik pernah berkata, “Apabila seorang kepala negara mampu berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya, kita tidak boleh memberontak terhadapnya. Jika ia tidak berlaku adil, rakyat harus bersabar dan memperbaikinya. Apabila ada yang memberontak karena ketidakadilannya, kita tidak boleh membantu pemerintah menindas pemberontak itu” (Mubarok, 2000:79).

Imam Malik terkenal sebagai seorang Mujtahid yang berpegang teguh kepada Hadis. Jika Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlur Ra’yi, maka Imam Malik disebut dengan Ahlul Hadis. Diantara karya besarnya dalam bidang Hadis adalah Kitab Al-Muwatha’. Beliau menulis dan meneliti karyanya ini selama 40 tahun. Pada awal mulanya kitab ini memuat lebih dari sepuluh ribu hadis. Setelah diteliti dan dibuang hadis-hadis yang terdapat cacatnya maka tinggal sekitar 1500 hadis yang terdapat dalam kitab ini. Kitab ini telah disyarahi oleh banyak sekali ulama’ baik salaf maupun khalaf, diantaranya adalah Tanwir Al-Hawalik karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi As-Syafi’I (Al-Sayyis, 1999:180).

Walaupun sama-sama berfahamkan ahlussunnah wal jamaah yang diikuti oleh jumhurul ulama’, tetapi ada banyak perbedaan yang terdapat antara Imam Malik dan Abu Hanifah. Diantara hal yang menyebabkan madzhab Maliki berbeda dengan madzhab Hanbali adalah pertama, banyak pendapat-pendapat Imam Malik yang dibukukan oleh Imam Malik sendiri di kota kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya. Dengan demikian maka kita bisa melihat dengan jelas dasar-dasar madzhabnya seperti yang kita lihat dari kitabnya, Al-Muwatha’. Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya. Sumbangan dari murid-muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar yang ditetapkan oleh Imam Malik, dan oleh karena itu murid-murid imam Malik termasuk dalam tingkatan Mujtahid Madzhab (Hanafi, 1991:152).

Guru dan Murid Imam Malik Serta Penerusnya di Era Modern

Mayoritas ulama’ yang menjadi guru Imam Malik adalah ulama’ Madinah, karena seumur hidup Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk berhaji. Diantara Ulama yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu adalah:
1. Abdurrahman bin Hurmuz (Tabi’in, Wafat 117 H).
2. Nafi’ Maula Ibnu Umar.
3. Ibnu Syihab Az-Zuhri.
4. Rabiah bin Abdurrahman (Al-Sayyis, 1999:178).

Sedangkan muridnya sendiri yang kemudian menjadi ulama’ dan tersebar ke seluruh penjuru dunia berjumlah lebih dari 1300 ulama’. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah:
1. Imam Syafi’i (W. 204 H) adalah salah satu mudrid Imam Malik yang kemudian mendirikan madzhab sendiri.
2. Abdurrahman Ibnu Qasim Al-Maliki (W. 191 H) adalah salah seorang ulama’ yang berguru kepada Imam Malik lebih dari 20 tahun. Beliau termasuk ulama’ yang berperan dalam penyusunan kitab al-Mudawwanah dan ikut menyebarkan madzhab Maliki di Mesir.
3. Abu Muhammad Abdullah Ibnu Wahab (W. 197 H). Beliau berguru kepada Imam Malik lebih dari 17 tahun. Termasuk karyanya adalah kitab Ahwal Al-Qiyamah. Beliau berperan menyebarkan madzhab Maliki di Mesir dan Maghrib (Maroko).
4. Asyhab (W. 204 H).
5. Ibnul Furut (W. 213 H).
6. Yahya Al-Laitsi..
7. Utsman bin Hikam Al-Jadzami.
8. Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthuby.
9. Abdurrahman Al-Mahzumi.
10.Abdullah bin Nafi’ Maula Bani Mahzum, dan yang lainnya (Hanafi, 1991: 153-154, Rayyan, tt: 118).

Berkat ketekunan para murid-muridnya maka madzhab Maliki banyak tersebar ke seleruruh penjuru dunia. Diantara negara-negara yang menjadi pusat madzhab Maliki adalah Maroko, Tunisia, Muritania, Afrika Utara, Mali, Somalia, Senegal, Sudan, Uni Emirat Arab, Spanyol, Prancis dan sebagian negara Mesir dan Yaman. Bahkan madzhab Maliki ini menjadi madzhab resmi di beberapa negara seperti Maroko dan Tunisia. Sedangkan di Spanyol dan Prancis Undang-Undang Dasar dan beberapa undang-undangnya merupakan turunan dan adopsi dari kitab-kitab madzhab Maliki, salah satunya adalah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd atau yang lebih terkenal di Eropa dengan julukan Averoes (Rayyan, tt: 120-121).

Diantara ulama’ madzhab Maliki kontemporer yang banyak memberikan sumbangan pemikiran dan karya bagi madzhab Maliki di Zaman modern ini adalah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki. Nama lengkap beliau adalah As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw dari jalur Hasan bin Ali Radhiyaallahu ‘Anhuma. Sayyid Muhammad merupakan salah satu doktor alumni Al-Azhar Mesir dengan gelar Ph.D yang beliau dapatkan pada umur 25 tahun. Tesisnya dalam bidang hadits banyak mendapatkan pujian dari banyak kalangan ulama dan profesor internasional.

Ayahnya, As-Sayyid Alawi Al-Maliki merupakan salah seorang ulama’ Makkah terkenal di abad yang lalu. Beliau telah mengajar berbagai ilmu Islam turats di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Ratusan murid dari seluruh pelosok dunia telah mengambil faedah daripada beliau melalui kuliah beliau di Masjidil Haram, dan ramai di kalangan mereka telah memegang jawatan penting agama di negara masing-masin. Malah, Raja Faisal (Raja Arab Saudi) tidak akan membuat keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat dari As-Sayyid Alawi.

Sayyid Muhammad sendiri selain mengajar di Al-Azhar Mesir juga dilantik menjadi Profesor di Ummul Qura University Makkah dan mengajar disitu. Setelah wafat ayahandanya beliau menggantikan kedudukannya mengajar di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawy di Madinah. Diantara karyanya dalam bidang ushul fiqh adalah Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh, Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh, dan Mafhum at-Tatawwur wa altTajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah.  Sedangkan karya beliau dalam bidang fiqh diantaranya Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha dan Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn as-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah.

Baca Juga Selengkapnya:



Perkembangan Mazhab Hambali ! LINK



SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MAZHAB HANBALI DALAM ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI---Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) selaku pendiri mazhab Hanbali hidup di kota Baghdad yang masyarakatnya telah memilih mazhab yang memberikan porsi akal lebih besar ketimbang nash. Ibu kota Irak itu dikenal lebih maju dan elit jika dibandingkan dengan daerah Hijaz seperti Madinah atau Mekkah.


Dalam keilmuan, kedua daerah ini sama-sama memiliki kontribusi besar dalam perkembangan peradaban Islam, khususnya terkait dengan disiplin ilmu Hadis dan fikih. Irak dikenal sebagai Ahlur Ra’yi, sedangkan Hijaz dikenal sebagai Ahlul Hadis.

Penggolongan itu muncul akibat dari perbedaan sikap dan cara pandang ulama kedua daerah tersebut. Tapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak mengikuti cara pandang ulama daerahnya yang dikenal dengan Ahlur Ra’yi. Dia justru meniru ulama Hijaz yang lebih memprioritaskan nash ketimbang akal dalam menyelesaikan persoalan keagamaan.

Barangkali, sikap Imam Ahmad tersebut merupakan dampak dari pola belajarnya. Pakar hukum islam, Abu Zahrah, dalam Tarikhul Madzahibil Islamiyah menuliskan, Imam Ahmad bin Hanbal belajar dan mengumpulkan hadis terlebih dahulu ketimbang belajar fikih.

Bahkan dia berkelana sampai ke luar Baghdad seperti Bashrah, Hijaz, Kufah dan Yaman, demi bisa mendalami dan memperbanyak hadis.

Semangat Imam Ahmad dalam mengumpulkan hadis tersebut berimplikasi pada caranya menggunakan fatwa-fatwa untuk menjawab dan menyelesaikan problematika umat. Apalagi beliau memiliki hafalan kurang lebih 30 ribu hadis, semakin menguatkan cara pandangnya tersebut dan berani berbeda dengan ‘kebiasaan’ ulama daerahnya.

Ringkasnya, fikih Imam Ahmad berserta pengikut Mazhab Hanbali lebih condong memperioritaskan hadis (nash) ketimbang sumber hukum lainnya.

Sumber dan Metode Hukum

Sumber pertama adalah nash Alquran dan hadis. Pada tahap ini, Mazhab Hanbali sama dengan mazhab fikih lainnya. Karena memang sumber pertama ini merupakan pusat utama ajaran Islam lahir.

Sumber kedua adalah fatwa para sahabat Nabi yang tidak menimbulkan perbedaan pendapat. Posisi para sahabat merupakan orang-orang istimewa dan terbaik dibandingkan umat Islam pada umumnya.

Selain itu, juga karena para sahabat ini yang menemani dan menyaksikan perjuangan Nabi. Sehingga bisa disebut mereka orang paling paham terhadap maksud dan kehendak Nabi. Contoh fatwa para sahabat adalah diterimanya persaksian seorang budak.

Sumber ketiga adalah memilih fatwa sahabat yang lebih cocok dengan nash. Ini disebabkan adanya perbedaan pendapat para sahabat dalam suatu permasalahan.

Jika dicermati, dengan sumber ketiga ini sudah terlihat akan komitmen Mazhab Hanbali, khususnya Imam Ahmad sendiri dalam berfatwa dengan lebih memprioritaskan nash ketimbang sumber hukum yang lain.

Abu Zahrah mengatakan bahwa pada tahap ini, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan Imam Syafi’i. Bagi Imam Syafi’i, ketika mendapatkan perbedaan fatwa sahabat, maka memilihnya dengan cara tarjih, yakni memilih pendapat yang lebih kuat meskipun harus menempuh dengan metode qiyas (analogi). Maka, pendapat sahabat yang lebih kuat dan cocok dengan qiyas tersebut akan dipilihnya.

Cara tersebut berbeda dengan Imam Ahmad yang memilih pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan nash Alquran dan hadis. Dia tidak menggunakan metode qiyas layaknya Imam Syafi’i, karena baginya posisi qiyas berada di bawah fatwa para sahabat.

Sedangkan sumber keempat adalah Hadis Mursal, yaitu hadis yang dalam rentetan perawinya tidak disebutkan nama sahabat, atau Hadis Dlaif (lemah) yang tingkat kelemahan tak separah Hadis Maudlu’ (palsu). Dari sini pula Imam Ahmad terlihat lebih mendahulukan sumber ini ketimbang qiyas.

Sumber terakhir adalah metode qiyas. Sumber ini merupakan cara terakhir dalam menjawab permasalahan umat jika memang jawabannya tidak ditemukan di dalam nash, fatwa sahabat, pendapat tabi’in, atau riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi yang keabsahaannya masih dipersoalkan.

Bagi Imam Ahmad, mengamalkan Hadis Dlaif dalam cakupan fadlailul a’mal (keutamaan perbuatan) sah-sah saja selama kelemahan hadis tersebut tidak parah. Berbeda jika berkaitan dengan penetapan hukum syari’at, maka Hadis yang dijadikan dasar harus Hadis Shahih.

Pengambilan lima sumber hukum dalam Mazhab Hanbali ini bersifat hirarkis. Artinya harus berurutan secara tertib dari sumber pertama sampai terakhir.

Dari sini bisa terlihat, porsi akal dalam penetapan fatwa bagi Mazhab Hanbali sangat sedikit, dan lebih banyak memberikan porsi nash dan riwayat-riwayat perkataan sahabat dan tabi’in.

Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah menyatakan, mazhab Hanbali memperketat dan meminimalisir ruang ijtihad (penafsiran). Karena bagi mereka, selama masih ada nash atau riwayat para sahabat dan tabi’in yang dapat dijadikan pijakan dalam mengeluarkan fatwa ruang ijtihad makin sempit.

Mazhab Hanbali mencukupkan diri dengan memahami teks-teks tersebut berdasarkan riwayat yang dihafalkan dan diwariskan dari masa ke masa. Makanya kemudian mereka mengklaim sebagai mazhab berhaluan (manhaj) salaf, di mana mereka (orang-orang salaf) begitu memprioritaskan nash dan fatwa sahabat dalam menyelesaikan persoalan keagamaan.

Dengan kata lain, Mazhab Hanbali begitu menekankan nash dan riwayat-riwayat tersebut untuk dijadikan solusi dalam menjawab fenomena keagamaan seiring perkembangan zaman.

Pengikut mazhab Hanbali cenderung menolak kegiatan ibadah yang tidak ditemukan di dalam riwayat-riwayat nash. Sebab bagi mereka, riwayat-riwayat tersebut merupakan cerminan atas kehidupan umat Islam pada masa Nabi Muhammad.

Adanya riwayat hadis yang membahas larangan membuat ibadah baru dalam agama, makin menguatkan pandangan mereka dalam mengkritik kegiatan ibadah yang belum ada riwayat dari orang-orang salaf.

Sehingga, jika terdapat kegiatan ibadah yang tidak ada contohnya berdasarkan riwayat-mereka akan menolak, bahkan mengkritik dan menyalahkannya. Gaya hidup dan ekspresi keberagamaan mereka disesuaikan dengan orang-orang yang ada dalam zaman periwayat nash. Contohnya seperti kehidupan di Saudi Arabia.

Oleh karena itu, dapat disingkat jika mazhab ini cenderung tekstual dalam memahami nash dan riwayat-riwayat yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in. (drs)

Baca Juga Selengkapnya:







INILAH MAKNA DAN PENGERTIAN TAHLIL

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PAI---Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan zikir-zikir dengan maksud menghadiahkan pahala bacaannya kepada orang yang telah meninggal. "Tahlilan" berasal dari kata bahasa Arab tahlīl (تهليل) yang berarti membaca kalimat Lā ilāh(a) illa Allāh (لا إله إلا الله “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”), salah satu yang dibaca pada kegiatan tahlilan. Tradisi tahlilan biasa diselenggarakan setiap malam Jumat atau pada hari-hari kesekian setelah meninggalnya seseorang, meskipun tidak terbatas pada dua kesempatan tersebut.

Makna dan pengertian Tahlil

Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Sudut pandang lain melihat bahwa kegiatan yang sama merupakan “acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah,” karena memang penyelenggara memberikan makanan hidangan dan untuk dibawa pulang.


1. MAKNA TAHLIL

Lafazh tahlil berasal dari kata:

هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا


"Halal" "Yuhalil" "Tahlil"

Artinya: "Mengucapkan la ilaha illallah"

Kalimat "la ilaha illallah" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna: "tidak ada Tuhan selain Allah."



Kata Tahlilan berasal dari bahasa Arab tahliil (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata:
  هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا

yang berarti mengucapkan kalimat: لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى .رواه مسلم
 
“Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Artinya:

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. ." (QS.Muhammad, 19).

Kalimat "la ilaha illallah" disebut juga dengan kalimat tauhid karena dengan kalimat ini seseorang meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, artinya mengakui ke-Esa-an Allah

Kalimat "la ilaha illallah" disebut juga "kalimatul-ikhlas," (HR Tabrani) karena murni hanya berbicara tentang Allah SWT, tidak ada pembicaraan lain.

Kalimat ini disebut juga dzikir, karena denganNya seseorang berdzikir mengingat Allah SWT.

Kalimat "la ilaha illallah" disebut juga kalimat thayyibah (kata-kata yang baik), da'watul-haq (seruan kebenaran) dan al 'urwah al da'watul-haq (seruan kebenaran) dan al 'urwah al wustqa (pegangan yang kokoh).

Kalimat "la ilaha illallah" terdiri dari "nafi" dan "itsbat" "nafi" adalah menafikan (membatalkan semua yang dituhankan dan membatalkan ibadah kepada semua yang dituhankan, berbunyi: illallah.

Lafazh Allah berasal dari kata ilah (...), jamaknya alihah (...) artinya apa saja yang disembah atau yang dipertuhankah. Kemudian Lafazh ilah ini ditambah dengan alif dan lam makrifah, sehingga menjadi alilah (...), kemudian huruf hamzahnya dibuang dan lam pertama dimasukan ke dalam lam kedua (idgam), maka jadilah Allah (اللَّهُ).

Sungguh menjakjubkan, apapun huruf dipermulaannya yang dikurangi, maknanya akan selalu menunjukkan kepada Dia yang punya nama. Kalau alif dihilangkan, maka akan muncul lillah (...), berarti untuk Allah atau karena Allah: kalau lam pertama dihapus, muncul lahu (...) berarti bagi-Nya; begitu pula jika lam kedua dibuang, maka akan tersisa huruf ha. Bila huruf ha ini dibaca secara sukun (...) maka akan muncul ucapan : "ah". inilah bunyi rintihan semua manusia yang menderita atau meringis, hal ini merupakan sebutannya terhadap Tuhan baik orang itu kenal kepada-Nya atau tidak.

Pada perkembangan terakhir, Allah hanya nama yang diperuntukan bagi Tuhan yang sebenarnya dan berhak untuk disembah.

2. TAHLIL DAN SYAHADAT

Seorang non muslim jika ia memeluk Islam dan Mualaf, ia harus mengatakan kalimat ""la ilaha illallah". Dengan kalimat ini ia mengakui ke-Esa-an Allah SWT. Hal ini disebut dengan syahadat tauhid. Syahadat tauhid ini disempurnakan dengan pengakuan akan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang disebut syahadat rasul; sehingga berbunyi:

.........................


Artinya:
"Aku bersaksi (mengakui) bahwa tidak ada Tuhan (yang disembah dengan sebenarnya) melainkan Allah dan aku bersaksi (mengakui) bahwa Muhammad adalah Rasul Allah."

Dengan demikian, syahadat terbagi dua yaitu: syahadat tauhid dan syahadat Rasul.

1). Syahadat Tauhid:

................

Dengan kalimat ini seseorang :
  • Mengakui bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan alam semesta (Rabb al-'Alamin). pengakuan ini disebut Tauhid Rububiyyah.
  • Mengakui bahwa Allah-lah yang berhak disembah dan ditaati segala aturan (syari'at) Nya. Pengakuan  ini disebut Tauhid Uluhiyyah.

2). Syahadat Rasul:

Dengan kalimat ini seseorang mengakui bahwa:

a. Allah yang disembah dan ditaati itu adalah Tuhan yang diterangkan oleh Nabi          Muhammad SAW, yang Maha Esa pada Dzat, sifat dan Af"al-Nya.
- Dzat Allah SWT diyakini akan wujud eksistensi-Nya
- Sifat Allah SWT disaksikan bekas-bekasnya melalui ayat-ayat-Nya yang terpampang di alam semesta dan pada diri manusia sendiri.
- Af'al Allah SWT dihayati terjadinya melalui gerak dan diam yang ada pada alam semesta ini di setiap saat dan waktu.

b. Ibadah yang dilaksanakan harus sesuai dengan acuan yang dicontohkan oleh  Nabi Muhammad SAW dan untuk mencari ridha Allah SWT (ikhlas untuk-Nya).

Demikianlah tentang makna dan pengertian Tahlil, yang terkait dengan kegiatan Tahlilan yang sering dilakukan di masyarakat kita. Semoga tulisan ini bermanfaat, terimakasih sudah berkunjung kembali di blog sisa Harimanusia ini. Wassalam...

CANDA MENURUT SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KRITERIA DAN TUJUANNYA[1]

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Sisa-Harimanusia----Canda tawa merupakan irama kehidupan yang tidak mungkin terhindarkan, apalagi jika kita hidup ditengah masyarakat. Terkadang canda itu menjadi cara untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kita, bahkan dalam kondisi tertentu canda menjelma menjadi metode pendidikan yang jitu. Tidak bisa dipungkiri, canda di saat-saat tertentu memang dibutuhkan untuk menciptakan suasana rileks dan santai guna mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis melakukan aktifitas yang menguras konsentrasi dan tenaga. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat.

HUKUM CANDA DALAM ISLAM

Pada dasarnya, bercanda hukumnya mubah (boleh), selama materi candaan itu bersih dari semua yang terlarang atau diharamkan dalam agama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda.

Al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian tentang bercanda? Maka kami jawab, ‘Bercanda boleh bila menimbulkan rasa nyaman, baik itu bagi orang yang mengajak bercanda, atau bagi orang yang diajak bercanda, atau bagi keduanya.[2]

Imam Nawawi rahimahullah juga berpendapat senada sebagaimana disebutkan didalam kitab al-Adzkâr (hlm. 581). Di situ, beliau rahimahullah menetapkan bahwa bercanda dengan tujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana, maka itu tidak terlarang sama sekali, bahkan canda seperti ini termasuk sunnah yang mustahab (disukai).

Diantara dalil-dalil yang mendasari bolehnya bercanda adalah sebagai berikut:

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunannya, no. 1913, dan dalam kitab asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah, no. 238. Menurut beliau hadits ini derajatnya hasan shahih, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata:

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ غَيْرَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا

Para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau mencadai kami.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betul, akan tetapi saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar.[3]

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998 dan at-Tirmizi, no.1991 dari Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Anas Radhiyallahu anhu , seorang laki-laki meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibawa serta di atas tunggangannya, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ

“Aku akan membawamu dengan anak unta.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasûlullâh! Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina.”[4]

Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya.

    Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga at-Tirmidzi dari Anas Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergaul dan membaur bersama kami, sampai-sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada adikku yang masih kecil:

يَا أَبَا عُميرٍ مَا فَعلَ النُّغَيرُ

 Wahai Abu Umair! Apakah yang telah dilakukan oleh an-nughair?[5]

an-Nughair adalah burung kecil.

Hadit-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semisal menunjukkan bahwa bercanda itu boleh, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama. Terkadang hukum mubah (boleh) ini bisa naik derajatnya menjadi mustahab (disunatkan) apabila maksudnya untuk merealisasikan sebuah kebaikan atau menghiburkan lawan bicara, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Imam Nawawi di atas.

Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, “Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab.”[6]

Izzuddin bin Abdissalam as-Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Dahulu aku pernah ditanya tentang canda, materinya dan canda yang diperbolehkan, maka aku jawab, ‘Canda disunnahkan diantara saudara, teman dan sahabat, karena canda bisa membuat hati senang dan suasana yang bersahabat, akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan, ghibah dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa.”[7]

Dalam kitab al-Mausû’ah al-Kuwaitiyah (36/273) disebutkan bahwa bercanda tidak menghilangkan kesempurnaan, bahkan sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syari’at. Misalnya, canda tapi tetap jujur tidak dusta, tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah, atau untuk menampakkan sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda, namun canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Canda yang seperti ini hukumnya sunnah. Karena hukum asal perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib diikuti atau sunnah untuk diteladani kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh para Ulama.

Berdasarkan nukilan perkataan para Ulama di atas diketahui  bahwa bercanda hukum asalnya mubah, namun terkadang bisa menjadi sunnah bila bermaksud menghibur, terutama bila melihat teman atau saudara dalam keadaan susah atau murung. Ini didukung dengan hadits dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa  anak Ummu Sulaim yaitu Abu Umair terkadang diajak canda oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada suatu hari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk mencandainya, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatinya sedang bersedih. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ada apa dengan Abu Umair, saya melihatnya sedang bersedih?” Para Sahabat menjawab, “Wahai Rasûlullâh! Burung kecil yang biasa dia ajak bermain mati.” Lalu Rasûlullâhpun memanggilnya, “Wahai Abu Umair! Apa yang diperbuat oleh nughair?”

Apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penggalan kisah di atas bertujuan meringankan beban kesedihan anak kecil yaitu Abu Umair Radhiyallahu anhu yang kehilangan burung kesayangannya.

HIKMAH DARI PENSYARIATAN CANDA

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa hikmah disyariatkan bercanda yaitu menghibur saudara. Karena canda tidak diperbolehkan kecuali jika materinya berisi hal-hal yang bisa menghibur pelaku saja, atau orang yang dicandai atau dua-duanya, sebagaimana perkataan al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah.

Namun canda yang diperbolehkan atau bahkan yang disunatkan di atas terikat dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Jika ketentuan-ketentuan ini dilanggar, berarti canda itu masuk kategori canda yang tercela dan terlarang.

KRITERIA CANDA YANG DIBOLEHKAN

Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah:

    Selalu jujur dan tidak bohong

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Ketika para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau menyandai kami.” Beliau bersabda, “Betul, hanya saja saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar (jujur).

Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan al-Mubârak bin Fadhâlah dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata bahwa ada seorang nenek datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasûlullâh! Mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla agar aku dimasukkan ke dalam surga.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek.” Mendengar ini, nenek itu pergi sambil menangis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً ﴿٣٥﴾ فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا ﴿٣٦﴾ عُرُبًا أَتْرَابًا

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. [Al-Wâqi’ah/56:35-37][8]

    Canda itu tidak berlebihan dan tidak dilakukan secara rutin

Ar-Rhâgib al-Asfahani rahimahullah berkata, “Apabila canda tidak berlebihan, maka itu terpuji.”

Canda yang berlebihan akan menyebabkan banyak tawa, terkadang dendam, bisa menjatuhkan wibawa, melalaikan orang dari zikir kepada Allâh dan melalaikan hal-hal penting dalam agama. Sedangkan canda yang rutin akan menyibukkan diri dengan permainan dan sesuatu yang sia-sia. Al-Murthada az-Zubaidi rahimahullah mengatakan, “Para imam mengatakan bahwa canda yang berlebihan mencoreng kewibawaan, dan menjauhkan diri dari canda sama sekali, melanggar sunnah dan sirah nabawiyah yang diperintahkan untuk diteladani. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.”[9]

Di sini ada poin penting yang dilanggar oleh banyak orang, dimana mereka menjadikan canda sebagai sebuah profesi untuk membuat manusia tertawa dengan kedustaan dan berpura-pura (akting), seperti para pelawak dan para kartunis yang sering menjadikan syari’at Islam sebagai bahan candaan, ditambah lagi materinya yang berisi celaan dan tuduhan. Ini semua karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama Islam, kurang memiliki rasa malu dan akal mereka lemah. Na’udzu billah. Canda seperti ini akan menimbulkan kemarahan dan dendam di hati serta pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Bahz bin Hakîm dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia… Celakalah dia[10]

Disebutkan dalam kitab Faidul Qadîr, “Rasûlullâh mengulang-ulang do’anya dengan maksud memberikan gambaran betapa parah celaka yang akan menimpa itu. Karena dusta itu sendiri merupakan sumber semua kejelekan dan inti semua keburukan. Apabila dusta menyatu dengan keinginan memancing tawa yang bisa mematikan hati, menyebabkan lupa, maka akhirnya perbuatan ini menjadi keburukan yang paling jelek.”

Sebagian Ulama mengatakan bahwa merupakan kesalahan fatal menjadikan canda sebagai profesi yang dilakukan secara rutin dan berlebihan, kemudian dia berdalih dengan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia ini seperti orang menghabiskan waktu untuk melihat dan menikmati tarian para dancer dan berdalih bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhu menonton tarian perang pada hari raya. Ini sebuah kesalahan.

    Candanya tidak menimbulkan rasa dongkol, marah dan dendam.

Apabila candanya menimbulkan hal-hal di atas, maka menurut para Ulama, hukumnya salah satu diantara haram atau makruh.[11]

Oleh karena itu termasuk dalam adab canda yaitu tidak bercanda dengan orang yang tidak bisa diajak bercanda. Karena bercanda dengan orang yang seperti hanya menjadi salah satu sebab permusuhan dan bisa memutus hubungan kekeluargaan. Sebagian orang menganggap semua perkataan dan perbuatan itu serius, atau tidak suka bercanda dengan orang tertentu. Berdasarkan ini, kita harus mengenali keperibadian lawan bicara kita, agar tidak salah dan berefek buruk ketika bercanda.

    Candanya bukan dengan seuatu yang metakutkan.

Apabila seperti itu, maka hukumnya tercela, bahkan bisa haram.

Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin as-Sâ-ib bin Yazîd dari bapaknya, dari kakeknya, dia mendengar Rasûlullâh bersabda:

لاَيَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيْهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا

Jangalah salah seorang diantara kalian mengambil barang saudaranya baik itu dalam rangka bercanda ataupun serius.[12]

Mengambil dengan tujuan bercanda maksudnya dia mengambil barang saudaranya dengan niat akan mengambalikannya.[13]

Dalil lainnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, “Kami diberitahukan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika mereka melakukan perjalanan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian salah seorang dari mereka tertidur, sebagian dari mereka mendatanginya dan mengambil anak panahnya. Ketika orang tertidur itu terjaga dia kaget dan ketakutan, sehingga semua orang tertawa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah yang membuat kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Kami mengambil anak panahnya kemudian dia terkejut.” Mendengar ini, Rasûlullâh bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak halal bagi seorang Muslim menakuti  Muslim lainnya[14]

    Canda dilakukan denga tutur kata yang baik dan perbuatan yang elok.
Orang yang hendak mencandai orang lain harus menjauhi perkataan yang jelek dan keji, juga harus menjauhi perbuatan buruk yang bertolak belakang dengan adab kepada teman. Karena itu semua berpotensi mendatangkan kebencian dan kedengkian.

    Canda hendaknya diperuntukkan bagi orang yang membutuhkannya, seperti wanita dan anak-anak. Begitulah canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya candaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperuntukkan bagi wanita dan anak-anak.

TUJUAN DARI CANDA YANG DIPERBOLEHKAN

Islam membolehkan canda untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung, diantaranya:

    Berpartisipasi dalam memperkokoh dan mempererat hubungan antar individu masyarakat. Karena salah satu tujuan di perbolehkannya canda adalah memberikan suasana segar dalam pergaulan diantara dua orang atau lebih yang saling bersahabat dan menjaga perasaan untuk ingin selalu jumpa.

    Meningkatkan semangat beraktivitas dan meningkatkan kemampuan dalam menangggung beban kehidupan. Karena manusia terkadang mangalami futur (lemah semangat atau lesu) dalam melakukan ibadah, bosan dengan kesibukan-kesibukan dan berbagai beban kehidupan, sehingga dia butuh refresing dan permainan yang diperbolehkan.

Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi rahimahullah mengatakan bahwa manusia akan merasa terpenjara jika mereka tidak mau bercanda.[15]

Ini juga bisa menjadi metode yang jitu untuk membangkitkan semangat untuk beribadah, bekerja dan melakukan berbagai aktifitas yang positif.

    Mempermudah untuk meluluhkan hati orang lain agar mau tunduk dan taat. Itulah yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya baik kepada laki-laki, perempuan, ataupun anak-anak.
    Mengobati hati yang lemah. Oleh karena itu, kebanyakan canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilakukan bersama kaum wanita dan anak-anak demi mengobati hati mereka lemah.
    Menghadirkan senyum di bibir dan menebar kebahagian serta suka cita di hati.

Senyum dan tawa adalah hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tersenyum dan tertawa, namun senyum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sering terlihat daripada tawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dan bercanda dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebahagian dan rasa suka cita dalam hati-hati mereka.

    Mendidikan orang yang diajak bercanda dan meluruskan prilakunya

Tujuan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Mâzini Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Ibuku memintaku untuk membawakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setangkai buah anggur, akupun memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah aku sampai dan menyerahkan anggur tersebut Beliau memegang telingaku seraya bersabda, “Wahai ghudar”[16]

Ghudar, artinya orang yang tidak menunaikan amanah.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh ingin bermain dan bercanda dengan anak kecil ini.

Inilah sebagian kriteria dan tujuan diperbolehkannya bercanda. Barangsiapa memperhatikan tujuan dan kriteria dalam candanya maka candanya adalah canda yang diperbolehkan. Namun, barangsiapa melanggarnya atau melanggar sebagiannya berarti dia menyimpang dari jalur kebenaran, dan terjatuh dalam canda yang tercela. Canda yang tercela : semua canda yang merusak rasa malu dan mencoreng kehormatan. Diantara kriteria canda yang tercela sebagai berikut:

    Canda yang mengandung unsur ejekan terhadap agama Islam atau salah satu syari’atnya. Candaan seperti bisa menyebabkan orang yang melakukannya keluar dari Islam, karena mengejak ajaran Islam salah satu diantara yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” , Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman [At-Taubah/9:65-66]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengejek Allâh, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya merupakan kekufuran. Pelakunya bisa menjadi kafir dengan sebab perbuatannya itu.”[17]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafisirkan ini mengatakan, “… Sesungguhnya menghina atau mengejek Allâh Azza wa Jalla , ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah berbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena pokok ajaran agama ini terbangun diatas pengagungan terhadap Allâh Azza wa Jalla , pengaguangan terhadap agama-Nya dan Rasul-Nya, sementara mencela salah satunya bertentangan menghilangkan pokok agama ini dan sangat bertentangan dengannya.”

Semisal dengan ini, perbuatan sebagian orang yang mengejek sebagian sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti mengejek jenggot, hijab atau celana yang di atas mata kaki atau sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Perkataan dan perbuatan seperti ini adalah kemungkaran. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang munafik. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita semua dari perkataan dan perbuatan yang sangat berbahaya ini.

Masalah ketuhanan, kerasulan, wahyu, dan agama merupakan masalah yang terhormat dan mulia. Siapapun tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya, baik dengan mengejek, atau menertawakannya, atau merendahkannya. Jika ada orang yang berani melakukan itu, berarti dia telah kufur. Karena perbuatannya tersebut mengisyaratkan penghinaannya terhadap Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan syari’at-Nya. Orang yang pernah melakukannya wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatannya yang jelek tersebut.

Diantara kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam masalah ini yaitu menjadikan masalah-masalah yang ghaib yang wajib diimani sebagai bahan candaan, seperti masalah surga, neraka atau siksa kubur yang dijadikan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai pengingat dan motivator bagi seorang hamba untuk meraih apa yang telah dijanjikan oleh Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat.

Oleh karena itu perbuatan ini wajib dihindari.

    Mengejek orang lain dengan kedipan mata atau dengan sindiran

Dalam al-Qur’an, Allâh telah melarang hal tersebut, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [Al-Hujurat/49: 11],

Ibnu Katsir rahimahulla berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan mengejek manusia, yaitu perbuatan meremehkan, dan mengoolok-olok manusia, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, dan merendahkan manusia,

Perbuatan merendahkan dan meremehkan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan. Boleh jadi orang yang direndahkan atau diremehkan lebih tinggi kedudukannya disisi Allâh Azza wa Jalla , atau lebih dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla daripada orang mengejek dan merendahkan.[18]

Sebagian orang yang suka mengolok terkadang menemukan orang yang bisa mereka jadikan bahan ketawaan dan candaan. Na’ûdzu billâh. Perbuatan seperti ini perbuatan terlarang dan hendaklah orang-orang seperti ini mengetahui dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ …  كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya dan meremehkannya …. sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim diharamkan bagi Muslim yang lain.[19]

    Canda yang bisa mencelakai orang yang dicandai

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ

Tidak boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi syaitan mengganggu tangannya sehingga dia bisa terjatuh kedalam kubangan api neraka[20],

Dan dalam riwayat Muslim, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أشَارَ إلَى أخِيهِ بِحَدِيدَةٍ ، فَإنَّ المَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ ، وَإنْ كَانَ أخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ

Barangsiapa mengacungkan potongan besi kepada saudaranya, maka dia dilaknat Malaikat sampai dia meninggalkannya, walaupun itu saudara seibu dan sebapak.[21]

Al-Hafiz Ibnu Hajar t berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan dari segala sesuatu yang bisa menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu terlarang tersebut tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius.”[22]

Pada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Walaupun itu saudara kandungnya” terdapat penekanan dalam menjelaskan keumuman larangan, tidak diperbolehkan bercanda seperti diatas kepada siapapun, dan dalam situasi apapun, baik canda ataupun serius, karena membuat muslim menjadi takut, gusar, resah hukumnya haram pada setiap keadaan. Karena terkadang juga senjata yang dipakai bermain itu benar-benar mengenai saudaranya tanpa sengaja.[23]

Maka hati-hatilah wahai saudaraku dari perbuatan seperti di atas, perbuatan yang bisa menghantarkan kita pada ancaman dasyat, yaitu terjauhkan dari rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

    Canda yang mengandung dusta dan ghibah

Poin pertama yaitu tentang candaan yang mengandung dusta sudah dijelaskan pada penjelasan di atas. Adapun poin yang kedua, yaitu ghibah, ini merupakan penyakit yang buruk dan termasuk dosa besar. Cerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra’ mi’raj mestinya sudah memberikan gambaran betapa buruknya perbuatan ini. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُون بها وُجُوْهَهُمْ وصُدورَهم فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُـحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِم

Ketika saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra’ dan Mi’raj), saya melalui satu kaum yang memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka saya berkata, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Mereka adalah orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.’[24]

Terkadang perbuatan buruk ini terlihat indah dan bagus bagi orang sebagian orang, sehingga dia tertarik untuk melakukannya. Semua dilakukan dengan dalih canda dan untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan, padahal tanpa dia sadari dia telah terjatuh dalam perbuatan ghibah yang diharamkan, yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Tahukah kalian, apa itu ghibah? Para Sahabat berkata, ‘Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak sukai.’[25]

Jadi, canda, ramah tamah, dan membuat orang lain menjadi senang dan bahagia tidak bisa dilakukan dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Akhirnya, inilah beberapa ketentuan dan tujuan bercanda. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikannya bermanfaat bagi kami dan semua yang membacanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlah, edisi 07, dengan judul al-Mizâh fi Sunnah, karya Abdul Majid

[2] Qawâ’idul Ahkâm fi Mashâlihul Anâm,  2/391

[3] Hadist ini shahih, lihat kitab As-Shahîhah,  no. 1726

[4] Sanad hadist ini shahih sesuai dengan syarat imam al-Bukhâri dan Muslim. Lihat  Mukhtasar Syamâ’il, Imam al-AlBâni, no. 203

[5] HR. Al-Bukhâri, no. 5774; Muslim, no. 4003, dan Tirmizi, no. 305

[6] Fathul Bâri, 10/527

[7] Al-Mirah fil Mizâh, hlm. 8

[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmizdi dalam Syamâ’il, no. 238, dan hadits ini dinilai hasan oleh al-Albâni dalam Mukhtasharnya, no. 205

[9] Tâjul ‘Arûs, dalam materi huruf mim za ha

[10] HR. At-Tirmidzi, no. 2315; Abu Daud, no. 4990 dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Shahîh at-Tirmizi no. 1885

[11] Qawâidul Ahkâm,  2/391, dan al-Azkâr an-Nawawiyah, hlm. 581

[12] HR. At-Tirmidzi no. 2160; dan Abu Daud, no. 5003; dan lafaz hadist dari Abu Daud

[13] Disebutkan oleh al-‘Iz bin abdissalam dalam Qawâ’id al-Ahkâm, 2/392

[14] Imam ahmad dalam Musnadnya no.23064, dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Ghayatul Marâm, no. 447

[15] Al-Adâb asy-Syariyah, 2/321

[16] Ibnu Sunni, no. 401; dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, no.2673. Hadist ini menjadi hasan dengan beberapa jalan yang dimiliki

[17] Majmû’ Fatâwâ, 4/173. Cetakan al-Ubaikan

[18] Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, 13/154. Cetakan Qurthubah

[19] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 4650 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[20] HR. Al-Bukhâri dan Muslim

[21] HR. Muslim, no. 2616

[22] Fathul Bâri, 13/25

[23] Dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam Syarah shahih Muslim, 16/170

[24] HR. Abu Daud, no.4878. Hadist ini shahih. Lihat as-Shahîhah, no. 533

[25] HR. Muslim, no.2589


Sumber: https://almanhaj.or.id/

Cari Artikel