INILAH SHALAT SUNNAT TERBAIK DILAKUKAN SEHARI-HARI YANG DIAJARKAN RASULULLAH SAW

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Shalat-Shalat Sunnah Yang Diajarkan Oleh Rasulullah , Secara Lengkap Berikut Keutamaannya..

Oleh : Syaikh Khalid al Husainan

[a]. Shalat-Shalat Sunnat Rowatib

Sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Tidaklah seorang muslim mengerjakan shalat karena Allah setiap hari 12 rakaat shalat sunnah karena Allah, kecuali Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di Surga ataudibangunkan baginya sebuah rumah di Surga” [HR. Muslim no. 728]

Rinciannya sebagai berikut:

Sholat empat rakaat sebelum shalat dzuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelahshalat maghrib, dua rakaat setelah shalat isya dan dua rakaat sebelum shalat subuh.

namun untuk rawatib zhuhur ada riwayat lain :

“Barang siapa yang sholat 4 rakaat (Qobliyah) sebelum Dzuhur dan 4 rakaat (Ba’diyah)

sesudahnya, maka diharamkan baginya api neraka”. (SHAHIH. HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, di Shahihkan oleh Albani)

Wahai saudaraku tercinta…“Tidakkah engkau mempunyai rasa rindu untuk dibangunkan rumah di Surga?!!”

Peliharalah nasehat yang datang dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tetap mengerjakan shalat sunnah sebanyak 12 rakaat.

[b]. Shalat Dhuha

Shalat ini sebanding dengan 360 shadaqah. Hal ini bisa terwujud karena di dalam tubuh manusia ada 360 sendi (persendian)[1] setiap sendi tersebut membutuhkan shadaqah setiap harinya[2]. Shadaqah yang diperuntukkan pada persendian sebagai perwujudan rasa syukur atas nikmat, untuk mencukupi semuanya maka dua rokaat dari shalat dhuha dapat sebagaisarananya.

Faedahnya;

Sebagaimana terdapat dalam shohih Muslim bahwa Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pada setiap pagi, pada tiap-tiapp ruas persendian [3] di antara kalian memiliki hak,yaitu shadaqoh. Setiap tasbih (subhanallah) adalah shadaqoh, setiap tahmid adalah shadaqoh, setiap tahlil adalah shdaqoh, setiap takbir adalah shadaqoh, amar ma’ruf termasuk shadaqoh, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqoh, maka yang mencukupi demikian itu adalah shalat dhuha dua rokaat.” [HR. Muslim dalam kitab Shalat al-

Mufasirin wa Qashriha, bab Istihbab Shalat adh-Dhuha no. 720. Pent]

Dan penjelasan yang lain ada pada hadits dari Abu HurairAh Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya

ia berkata :

“Aku telah diberikan nasehat oleh kekasihku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)dengan tiga hal, yaitu berpuasa tiga hari (13-15), pada setiap bulan (Hijriyyah), duarakaat shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum aku hendak tidur. [HR. Bukhari, Kitab Ash-Shaum, bab: Puasa al-Biedh tanggal 13,14, dan 15 tiap bulan no. 1981; dan Muslim dalam kitab Shalatu Musafirin, bab: Dianjurkannya shalat Dhuha, no: 721. Pent]

Waktunya sholat dhuha mulai terbitnya matahari dari ¼ jam setelah terbitnya mataharisampai kurang lebih ¼ jam sebelum shalat zhuhur.

Waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah ketika terik matahari mulai makinmenyengat.[4]

Jumlah raka’at nya paling sedikit dua rakaat. Sedangkan jumlah maksimalnya 12 rakaat danada pendapat lain bahwa jumlah maksimal raka’at dhuha tidak ada batasannya.

[c]. Shalat Sunnat Sebelum Shalat Ashar

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang shalat sunnah sebelum Ashar empatraka’at” [HR. Ahmad 2/117, Abu Dawud dalam kitab At-Tathawwu’ bab Shalat sebelum Ashar no. 1270, Tirmidzi dalam kitab As-Shalah bab Riwayat tentang Empat Raka’at Sebelum Ashar, no. 430. Pent]

[d]. Shalat Sunnat Sebelum Shalat Maghrib

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Shalatlah sebelum shalat Maghrib”. Pada ucapan yang ketiga beliau Shalallahu ‘alaihiwa sallam menambahkan: “Bagi siapa yang mau.” [HR. Bukhary no.1183 dan no. 7368. Pent]

[e]. Shalat Sunnat Isya’

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

”Di antara dua adzan ada shalat, diantara dua adzan ada shalat.” Pada ucapan ketiga, beliau bersabda: “Bagi siapa yang mau.” [HR. Bukhary Kitab Adzan bab Diantara dua adzan ada shalat no. 624, 627 dan Muslim kitab Shalatu Musafirin, bab , bab: Diantara dua adzan ada shalat no. 838]

Imam Nawawy berkata: “Yang dimaksud dengan dua adzan adalah adzan dan iqamah”

_________

Foot Note

[1]. Lihat Shahih Muslim no. 1007 dalam kitab az-Zakat bab: Bayaanu anna Ismash Shadaqah Yaqa’u Ala Kulli Nau’in Minal Ma’ruuf.

[2]. Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manusia memiliki tiga ratus enam puluh sendi dalam tubuhnya. Hendaknya ia bersedekah untuk semua sendi tersebut.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al Adab bab Imathatuk Adza ‘Anith- Thariq no. 5242 dan Ahmad 5/354 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/984, Irwa’ul Ghalil 2/213.

[3]. aslinya tulang jari jemari dan telapak tangan kemudian di pergunakan buat seluruh tulang-tulang badan dan persendiannya, lihat syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 5/272.

[4]. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalat orang-orang yang khusyu’ beribadah adalah ketika anak-anak unta (fishal) kepanasan” Riwayat Muslim dalam kitab Shalat Mufasirin, bab Shalat Al-Awwabin hina Tarmidhul Fishal no. 748.

[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia

Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan,

Penerjemah Zaki Rachmawan]

————————–

SUNNAH-SUNNAH DALAM SHALAT MALAM

Oleh : Syaikh Khalid al Husainan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan muharram dan sebaik-baikshalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.” [Hadits Riayat. Muslim no. 1163]

[a]. Sebaik-baik jumlah raka’at dalam shalat lail adalah sebelas raka’at atau tiga belas raka’at dengan pengerjaan shalat yang lama. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat lail sebanyak 11 raka’at, maka yang demikian itu adalah shalat beliau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1147]

Riwayat yang lain menyebutkan.

“Rasulullah shalat malam sebanyak 13 raka’at” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1138dan Muslim no. 764]

[b]. Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat lail untuk bersiwak dan membacaayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran mulai dari firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [ Ali Imran : 190]

………..Dibaca sampai akhir surat

[c]. Disunnahkan kepada orang yang mengerjakan shalat malam untuk berdoa dengan doayang shahih yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam“Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah Penegak langit dan bumi dan segala isinya. BagiMu segala puji, milikMu kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala

puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta segala isinya). bagiMu segala puji, Engkau penguasa langit dan bumi. bagiMu segala puji Engkau lah Yang Mahabenar, janji-Mu itu benar adanya dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar (utusanMu), kamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali, kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah dosaku di masa lalu, masa

yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak (Karena Engkau adalah Maha Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang terdahulu dan Yang terakhir (Engkau Tuhanku) dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali Engkau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717]

[d]. Sunnah memulai shalat lail dengan dua raka’at yang ringan (pendek). Hal itu dilakukan hingga datangnya semangat untuk memanjangkan raka’atnya setelah dua rakaat yang pendek tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan shalat lail hendaklah membuka shalatnya dengan shalat dua raka’at yang ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent)

[Hadits Riwayat. Muslim no. 768]

[e]. Merupakan sunnah, memulai shalat malam dengan doa yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan)apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki” [Hadits Riwayat. Muslim no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu Majah no. 1357]

[f]. Disunnahkan untuk mempanjangkan shalat malam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apakah yang paling baik?”

Rasulullah menjawab : “Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)” [Hadits Riwayat. Muslim no.756]

Yang dimaksud qunut[1] adalah berdiri yang lama

[g]. Disunnahkan untuk bertaawudz (minta perlindungan kepada Allah) ketika membaca ayattentang adzab dengan ucapan:

“Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah”

Dan memohon rahmat kepada Allah ketika membaca ayat tentang permohonan dengan ucapan

“Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu”

Dan bertasbih ketika membaca ayat-ayat yang mengandung pujian tentang keMahasucian Allah.

Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat) dengan tartil apabila beliau  melewati satu ayat tasbih maka beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat permohonan(tentang rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat memohon perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…” [Hadits Riwyat. Muslim no. 772]

Sebab-sebab agar mendapatkan kemudahan untuk shalat malam

[a]. Berdoa

[b]. Menjauh kan (diri) dari begadang

[c]. Tidur di siang harinya

[d]. Meninggalkan kemaksiyatan

[e]. erkeinginan diri yang kuat untuk melakukan shalat malam

_________

Foot Note

[1]. Qunut dalam hadits itu memiliki banyak arti berdasarkan banyak riwayat. Dalam Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi Hayyaan) pasal Qaf Nun disebutkan tentang makna qunut antara lain do’a, berdiri, tenang, diam, ketaatan, shalat, kekhusu’an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.

Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]

———————————————————————————

BENTUK-BENTUK WITIR DAN JUMLAH RAKA’ATNYA

Oleh : Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani.

Witir memiliki jumlah raka’at dan bentuk-bentuk yang bermacam-macam sebagai berikut.

[a]. Sebelas Raka’at, Dengan Salam Pada Setiap Dua Raka’at Dan Berwitir Satu Raka’at.

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Rasulullah biasanya shalat malam sebelas raka’at, berwitir dari shalat itu dengan satu raka’at” Dalam riwayat lain : “Rasulullah biasanya shalat antara usai shalat Isya –yakni yang disebut sebagai atamah- hingga fajar sebanyak sebelas raka’at, mengucapkan salam antara dua rak’aat, dan berwitir satu raka’at” [1]

[b]. Tigabelas Raka’at, Setiap Dua Raka’at Salam, Dan Berwitir Satu Raka’at  Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan cara shalat Nabi. Dalam hadits itu tercantum : “… Maka akupun berdiri di sebelah kiri beliau. Tiba-tiba beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan memegang telingaku serta memutar tubuhku hingga berada di sebelah kanannya, kemudian beliau shalat dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at dan dua raka’at, kemudian beliau melakukan witir, lalu berbaring hingga datang muadzin. Setelah muadzin datang, beliau bangkit dan shalat dua raka’at ringkas, kemudian baru beliau keluar menuju jama’ah dan shalat shubuh” [2]

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceritakan : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam tiga belas raka’at, kemudian baru keluar untuk shalat shubuh. [3]

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah berkata : “Aku betul-betul memperhatikan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari. Beliau shalat dua raka’at ringkas, kemudian shalat dua raka’at yang panjang sekali, panjang sekali, panjang sekali, kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian shalat lagi dua raka’at, juga tidak sepanjang dua raka’at yang sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at namun juga tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang dua raka’at sebelumnya. Kemudian baru beliau melakukan witir. Jumlah semuanya tiga belas raka’at” [4]

[c]. Tiga Belas Raka’at, Dengan Salam Pada Tiap Dua Raka’at, Dan Berwitir Lima Raka’at Sekaligus

Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Rasulullah apabila shalat malam, melakukannnya tiga belas raka’at. Dari semua itu beliau berwitir lima raka’at, hanya duduk di akhirnya saja” [5]

[d]. Sembilan Raka’at Hanya Duduk Di Raka’at Kedelapan, Kemudian Langsung Masuk Raka’at Kesembilan.

Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Kami biasa menyiapkan siwak dan air bersuci beliau. Allah membangunkan pada waktu yang Allah kehendaki di waktu malam. Beliau bersiwak dan berwudhu, lalu shalat sembilan raka’at, hanya duduk di raka’at yang kedelapan. Lalu berdzikir kepada Allah, berdo’a kepadaNya (tahiyyat pertama), kemudian baru bangun dan tidak mengucapkan salam. Kemudian beliau bangkit dan melakukan raka’at kesemblian. Setelah itu baru beliau duduk dan berdzikir, bertahmid dan berdo’a kepada Allah (tahiyyat kedua), kemudian salam dengan suara yang dapat kami dengar” [6]

[e]. Tujuh Raka’at Dengan Tanpa Duduk Kecuali Diakhirnya.

Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang tercantum di dalamnya : “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan mulai gemuk, beliau shalat dengan witir tujuh raka’at” [7]

Dalam riwayat lain : “Hany duduk di akhirnya saja “ [8]

[f ]. Tujuh Raka’at Dengan Hanya Duduk Pada Raka’at Yang Keenam Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyalahu ‘anha, yang menceritakan : “Kami biasa mempersiapkan siwak dan air wudhu Rasulullah. Lalu beliau bangun dalam waktu yang Allah kehendaki di malam hari. Kemudian beliau bersiwak dan berwudhu, baru kemudian shalat tujuh raka’at, hanya duduk di raka’at keenam, lalu duduk dan berdzikir kepada Allah

serta berdo’a” [9]

[g]. Lima Raka’at Dengan Hanya Dududk Diraka’at Terakhir

Dasarnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Witir itu hukum yang berlaku bagi setiap muslim. Barangsiapa yang suka melakukan witir lima raka’at, hendaknya ia melakukannya. Dan barangsiapa suka melakukan witir 3 raka’at maka lakukanlah. Dan barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at hendaknya ia melakukannya” [10]

Telah diriwayatkan dengan shahih dari hadits Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa bentuk shalat semacam itu dilakukan secara sekaligus dengan hanya duduk di raka’at kelima saja. Dalam hadits itu tercantum : “Dalam shalatnya itu beliau berwitir lima raka’at, dengan hanya duduk di raka’at terakhirnya” [11]

[h]. Tiga Raka’at Dengan Salam Setelah Dua Raka’at, Kemudian berwitir Satu Raka’at

Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceritakan :

“Nabi biasa memisahkan antara raka’at genap dan ganjil dengan salam yang dapat kami dengar” [12]

Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abdullah bin Umar secara mauquf. Dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar biasa melakukan witir dengan salam antara dua raka’at pertama dengan satu raka’at terakhir, sehingga beliau sempat memerintahkan beberapa hal dari kebutuhannya [13] Hadits mauquf itu bisa menguatkan hadits marfu’. Penulis sendiri pernah mendengar guru kita Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah tentang Witir tiga raka’at, bahwa itu dilakukan dengan dua kali salam : “Itu lebih utama, bagi orang yang ingin shalat tiga raka’at, dan inilah yang mendekati kesempurnaan” [14]

[I ]. Tiga Raka’at Secara Langsung, Dengan Hanya Duduk Diraka’at Terakhirnya

Dasarnya hadits Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu yang tercantum di dalamnya : “Barangsiapa yang ingin berwitir tiga raka’at, hendaknya ia melakukannya” [15]

Juga hadits Abdullah bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu witir membaca ” Sabbihis Marabbikal A’la”, pada raka’at kedua membaca ” Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun”. Dan pada rakaat ke tiga membaca ” Qul Huwallahu Ahad” Usai salam, beliau mengucapkan ” Subhanal Malikil Quddus” tiga kali [16]

Akan tetapi tiga rakaat itu beliau lakukan sejaligus, dengan hanya satu kali tasyahhud di akhirnya.

Karena kalau dilakukan degan dua kali tasyahud, akan mirip dengan shalat Maghrib [17]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang shalat sunnah diserupakan dengan shalat Maghrib [18], berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda : “Janganlah kalian berwitir tiga raka’at. Berwitirlah lima rakaat atau tujuh raka’at. Jangan serupakan dengan shalat Maghrib. [19]

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahulah menggabungkan antara hadits-hadits dan riwayat yang membolehkan witir tga rakaat dalam penafsiran bahwa ketiga rakaat itu dalam shalat hingga akhir, dengan hadits-hadits yang melarang witir tiga raka’at dalam penafsiran bahwa itu dilakukan dengan dua kali tasyahud, hingga menyerupai shalat Maghrib” [20]

Di antara dalil yang munnjukkan. Witir tiga rakaat adalah hadits Al-Qasim dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : “Shalat pada waktu malam itu dua-dua raka’at. Bila engkau hendak menyelesaikannya, hendaknya shalat satu raka’at itu bisa menjadi witir dari shalat yang sudah kamu lakukan”.

Al-Qasim menyatakan : “Kami sendiri pernah melihat banyak orang semenjak kami nalar, yang melakukan witir tiga raka’at. Sesungguhnya masalah ini cukup luas. Aku kira tidak ada yang salah dari semua cara itu. [21]

[j ]. Satu Raka’at

Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Witir adalah satu raka’at di akhir malam” [22]

Dari Abu Mijlaz diriwayatkan bahwa ia menceritakan : “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang witir. Beliau menjawab : “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu raka’at di akhir malam”. Aku juga pernah bertanya kepada Ibnu Umar. Beliau menjawab : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Satu raka’at di akhir malam” [23]

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa itu merupakan dalil sahnya witir dengan satu raka’at, dan dianjurkan untuk dilakukan di akhir malam” [24] Penulis sendiri pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin Baz menyatakan : “Akan tetapi semakin banyak jumlah raka’atnya, semakin baik. Namun bila hanya melakukan satu raka’at saja, juga tidak makruh” [25]

Di antara yang menunjukkan bahwa witir satu raka’at itu boleh adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, di situ tercantum.

“Barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at, hendaknya ia melakukannya” [26]

__________

Foot Note

[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 736
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Witr, bab : Riwayat Tentang Witir, no. 992, demikian juga beberapa jalur riwayat lain, no. 117, 138, 6316. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Shalat Nabi dan Doa Beliau pada Malam Hari, no. 182, 763
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Nabi dan Do’a Beliau di Malam Hari, no. 764
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Nabi dan Do’a Beliau di Malam Hari, no. 765
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Malam dan Jumlah Raka’at Nabi pada Malam Hari, bahwa witir itu Satu Raka’at, no. 737.
[6]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746 [7]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746 dan ini adalah bagian dari hadits itu.
[8]. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab Qiyaamul Lail dan Tathawwu di Siang Hari, bab : Witir Tujuh Raka’at, no. 1718, dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih An-Nasa’i I : 375. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad VI : 290 dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha dengan lafazh : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tujuh atau lima raka’at, tidak memisahkannya dengan ucapan atau salam. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dalam kitab Iqamatush Shalah, bab : Riwayat tentang witir, lima, tujuh atau sembilan raka’at no. 1192, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah I : 197
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya {ihsan] dengan no. 2441. Al-Arnaaut menyatakan dalam catatan kaki Ibnu Hibban VI : 195 : “Sanadnya shahih berdasarkan persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, lafazhnya adalah lafazh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Ahmad yang senada dengan itu I : 54
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1442. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan no 1192. Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya [ihsan] dengan no. 670. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al- Mustadrak I : 302-303
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 737
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban [Ihsan} dengan No. 2433,2434,2435. Diriwayatkan  juga oleh Ahmad II : 76 dari itab bin Ziyaad. AL-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Baari II : 482 :”Sandanya kuat”. Al-Albani Rahimahullah menyatakan : “Hadits ini memiliki riwayat penguat yang marfu’. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan witir dengan memisahkan antara dua raka’at dengan satu raka’at”. Sanadnya Shahih, berdasarkan persyaratan Al-Bukhari dan Muslim. Beliau juga menisbatkan hadits ini kepada Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwaaul Ghalil II : 150.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Witr, bab : Riwayat Tentang Witir, no. 991. Diriwayatkan juga dalam Al-Muwatha’ Imam Malik I : 125.
[14] Penulis mendengarnya secara langsung ketika beliau menjelaskan Ar-Raudhul Murbi II : 187 tertanggal 1:11: 1419H.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan no. 1422. Diriwayatkan oleh An-Nasa’I dengan no. 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan no. 1192. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan no. 670. Diriwayatkan oleh Al-Hakim I : 302
[16] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab Qiyamullail dan Shalat Sunnah Siang, bab Ikhtilafin naqilan li khabar Ubay Ibnu Ka’b fii witri 1201 dan dishahihkan dalam Shahih Sunnan An-Nasa’i oleh Al-Albani 1/372, dan lihat Nailul Authar 2/211, dan lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar ada syawahid disana 2/481 dan Nailul Authar Asy-Syaukani 2/212.
[17] Saya dengan ini dari Imam Abdul Aziz Ibnu Baz ketika mensyarah Ar-Raudh Al-Murbi’  2/188 dikala membasah witir 3 rakaat dengan satu salam, beliau berkata : “Namun jangan diserupakan dengan Maghrib, langsung saja”.
[18] Lihat Asy-Syarh Al-Mufti Al-‘Alamah Ibn Utsaimin 3/21.
[19] Ibnu Hibban (Al-Ihsan] 2429, Ad-Daruquthni 2/24, Al-Baihaqi 3/31, Al-Hakim menshahihkan dan disetujui Adz-Dzahabi 1/304, Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath 2/481, isnadnya sesuai syarat Syaikhan berkata dalam At-Talkish 2/14 no. 511 isnadnya semuanya tsiqat dari tidak mengapa pemauqufan orang yang mengnggapnya mauquf.
[20] Lihat Fathul Baari Syarah dari Shahih Al-Bukhari, oleh Ibnu Hajar II :481 dan juga  Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 214.
[21] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan ini lafazhnya dengan no. 993. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 743 dan telah ditakhrij sebelumnya.
[22]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Shalat Malam Itu Dua-dua Raka’at, Dan Witir Itu Satu Raka’at di Akhir Malam no. 752
[23]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab dan bab yang sama sebelumnya no. 753
[24] Syarah Muslim oleh An-Nawawi VI : 277
[25] Penulis mendengarnya sendiri dari penjelasan Syaikh terhadap Ar-Raudhul Murbi’ II: 185
[26] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1422. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1190

[Disalin dari Kitab Shalatut Tathawwu’ Mafhumun, wa Fadhailun, wa Aqsamun, wa Anwa’un, wa Adabun Fi Dhauil Kitabi was Sunnah, edisi Indonesia Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, oleh Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani, Penerbit Darul Haq]

———————————————————————————–

SUNAT RAWATIB DAN PENEGASAN SHALAT DUA RAKA’AT FAJAR.

Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam.

Shalat fardhu memiliki sunat-sunat rawatib, yang disebutkan dalam As-Sunnah yang shahih dan suci, baik berupa perkataan, perbuatan maupun pengakuan dari pembawa syari’at.

Shalat sunat rawatib ini mempunyai faidah yang besar dan pahala yang agung, nerupa tambahan kebaikan, ketinggian derajat, penghapusan keburukan, menambal kekosongan dan menyempurnakan kekurangannya. Karena itu harus ada perhatian terhadap shalat rawatib ini dan menjaganya ketika berada di tempat. Adapun ketika dalam perjalanan, tidak pernah disebutkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya satu shalat rawatib kecuali dua rakaat fajar. Beliau tidak pernah meninggalkannya, baik ketika menetap maupun ketika dalam perjalanan.

“Dari Abdullah bin Umar Radhyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Aku pernah shalat dua rakaat sebelum Zhuhur bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Jum’at, dua rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat setelah Isya'”

adapula riwayat yang lain:

“Barang siapa yang sholat empat rakaat sebelum Dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, maka diharamkan baginya api api neraka”. (SHAHIH. HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, di Shahihkan oleh Albani)

“Dalam suatu lafazh disebutkan, ‘Adapun (rawatib) Maghrib, Isya’, Fajar dan Jum’at dikerjakan di rumah beliau”.

“Dalam lafazh Al-Bukhary disebutkanm bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku  diberitahu Hafsah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat dua rakaat yang ringan setelah fajar menyingsing, dan itu merupakan saat aku tidak menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

MAKNA GLOBAL

Didalam hadits ini terkandung penjelasan lima shalat sunat rawatib, bahwa untuk shalat Zhuhur mempunyai empat rakaat, dua rakaat sebelumnya dan dua rakaat sesudahnya, shalat Jum’at mempunyai dua rakaat sesudahnya, shalat Maghrib mempunyai dua rakaat sesudahnya dan shalat Isya mempunyai dua rakaat sesudahnya. Rawatib Maghrib, Isya’, Shubuh dan Jum’at dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah.

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu mempunyai hubungan yang erat dengan rumah  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena kedudukan saudarinya, Hafsah di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu dia dapat masuk ke tempat beliau saat beribadah, tetapi tetap memperhatikan adab, sehingga dia tidak masuk kecuali hanya sesekali waktu saja dan tidak masuk pada saat-saat yang tidak diperkenankan, karena mengikuti firman Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum shalat Shubuh…” [An-Nur : 58]

Dia tidak masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat-saat shalat Shubuh, kendatipun dia ingin tahu shalat yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Karena didorong keinginan untuk mendapatkan ilmu, maka dia bertanya kepada saudarinya, Hafshah tentang hal itu, lalu Hafshah memberitahu

kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat dua rakaat secara ringan setelah fajar menyingsing dan ini merupakan shalat sunat.

KESIMPULAN HADITS.

[1]. Anjuran melaksanakan shalat-shalat rawatib tersebut dan menjaganya.

[2]. Shalat Ashar tidak mempunyai rawatib dibandingkan dengan rawatib-rawatib yang ditegaskan ini.

[3]. Rawatib-rawatib Maghrib, Isya’, Shubuh, Jum’at lebih baik dikerjakan di rumah.

[4]. Meringankan dua rakaat Fajar

[5]. Disebutkan dalam sebagian hadits shahih bahwa Zhuhur mempunyai enam rakaat, Empat sebelumnya dan dua sesudahnya. Disebutkan riwayat At-Tirmidzi dai haditsUmmu Habibah secara marfu’, “Empat rakaat sebelum Zhuhur dan sesudahnya”.

[6]. Sebagian dari rawatib-rawatib ini dulakukan sebelum shalat fardhu sebagai persiapan jiwa orang yang shalat untuk ibadah sebelum masuk ke fardhu. Sebagian rawatib dikerjakan sesudah fardhu untuk melengkapi

kekurangan dalam fardhu.

“Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, Tidak ada satupun shalat nafilah yang lebih diperlihara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dari dua raka’at Fajar” .

“Dalam lafazh Muslim disebutkan, “Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya”

MAKNA GLOBAL

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan terhadap penegasan dua rakaat fajar. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkannya dan mengagungkan urusannya dengan perkataan dan perbuatan beliau. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Tidak ada satu pun dari shalat-shalat nafilah yang lebih dijaga dan dipelihara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi, seperti halnya dua raka’at fajar”

Beliau juga bersabda bahwa dua rakaat fajar ini lebih baik daripada dunia dan seisinya.

KESIMPULAN HADITS

[1]. Shalat sunnat (dua rakaat) fajar ini sangat ditekankan sehingga tidak boleh
diabaikan.
[2]. Keutamaannya yang agung sehingga beliau menganggapnya lebih baik dari dunia dan
seisinya.
[3]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga dan memberikan perhatian lebih banyak terhadap dua rakaat fajar daripada yang lainnya.
[4]. Mengabaikan dua rakaat fajar menunjukkan kelemahan agama dan keengganan
mendapatkan kebaikan yang besar.

[Disalin dari Kitab Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim Oleh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, hal 122-126 Darul Falah]

————————————————————————————–

ADAKAH SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUM’AT??

Oleh : Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.

Di antara kaum muslimin ada yang setelah mendengar adzan pertama langsung berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat sebagai shalat sunnah Qabliyah Jum’at.

Dalam hal ini perlu saya katakan, saudaraku yang mulia, shalat Jum’at itu tidak memiliki shalat sunnah Qabliyah, tetapi yang ada adalah shalat Ba’diyah Jum’at.

Memang benar telah ditegaskan bahwa para Sahabat radhiallahu ‘anhuma jika salah seorang dari mereka memasuki masjid sebelum shalat Jum’at, maka dia akan mengerjakan shalat sesuai kehendaknya, kemudian duduk dan tidak berdiri lagi untuk menunaikan shalat setelah adzan. Mereka mendengarkan khuthbah dan kemudian mengerjakan shalat Jum’at.

Dengan demikian, shalat yang dikerjakan sebelum shalat Jum’at adalah shalat Tahiyyatul Masjid dan shalat sunnat mutlaq.

Dari Salman radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “ Tidaklah mandi seseorang pada hari jum’at dan berwudhu, dan memakai wewangian, kemudian keluar seraya tidak memecah-belah 2 orang (melangkahi pundak orang2), kemudian sholat sedapatnya, kemudian ia diam mendengarkan imam berkhotbah, melainkan diampuni dosanya antara Jumat tersebut denagn jumat yang lain” (SHAHIH, HR Bukhari dan Nasa-i, dishahihkan oleh Al Albani, lihat kitab “Seleksi hadist2 Shahih tentang Targhib dan Tarhib Imam Mundziri, takhrij hadist syaikh Imam Al Albani).

Dari hadist tersebut, jelaslah dalilnya mengenai adanya sholat sunnat menunggu saat khutbah dimulai dan ini bukanlah sholat qobliyah jum’at sebagaimana yang di fahami sebagian orang.

Dan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah (argumen), karena suatu amalan Sunnah itu tidak bisa ditetapkan, kecuali dengan hadits yang shahih lagi dapat diterima.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani rahimahullah mengatakan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban melalui jalan Ayyub dari Nafi’, dia mengatakan, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at dan mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya di rumahnya. Dan dia menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut.”

Hadits ini dijadikan hujjah oleh an-Nawawi dalam kitab, al-Khulaashah untuk menetapkan shalat sunnah sebelum shalat Jum’at seraya memberikan komentar, bahwa ucapan Ibnu ‘Umar, “Dan dia biasa melakukan hal tersebut,” kembali pada ucapannya, “Dan dia mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat Jum’at di rumahnya.” Dan hal itu ditunjukkan oleh riwayat al-Laits dari Nafi’ dari ‘Abdullah bahwasanya jika telah mengerjakan shalat Jum’at dia kembali pulang untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah dua rakaat di rumahnya dan selanjutnya dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Adapun ucapannya, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at,” maka yang dimaksudkan adalah setelah masuk waktu shalat sehingga tidak bisa menjadi marfu’, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ke masjid jika mata-hari sudah tergelincir lalu beliau menyampaikan khutbah dan setelah itu mengerjakan shalat Jum’at. Jika yang dimaksudkan adalah sebelum masuk waktu shalat, maka yang demikian itu merupakan shalat sunnah mutlaq, dan bukan shalat rawatib. Dengan demikian, tidak ada hujjah di dalamnya yang menunjukkan adanya shalat sunnah Qabliyah Jum’at, tetapi ia merupakan shalat sunnah mutlaq.

Dan telah disebutkan adanya anjuran melaku-kan hal tersebut -seperti yang telah disampaikan sebelumnya- di dalam hadits Salman dan lainnya, yang di dalamnya dia mengatakan, “Kemudian dia mengerjakan shalat yang diwajibkan kepadanya.”

Selain itu, ada juga hadits-hadits dha’if yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at, di antaranya adalah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan lafazh, “Dan beliau biasa mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Jum’at dan empat rakaat setelahnya.” Di dalam sanadnya terdapat kelemahan.

Dan dari Ali juga terdapat hadits yang semisal yang diriwayatkan oleh al-Atsram dan ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath dengan lafazh, “Beliau biasa mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Jum’at dan empat rakaat setelahnya.” Di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ‘Abdurrahman as-Sahmi, yang menurut al-Bukhari dan perawi lainnya, dia adalah seorang yang dha’if (lemah). Al-Atsram mengatakan, “Ia merupakan hadits yang waahin.”

Juga masih ada hadits lainnya yang senada dengan itu, dari Ibnu ‘Abbas dan dia menambahkan, “Beliau tidak memisahkan sedikit pun darinya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad waahin (lemah). Di dalam kitab al-Khulaashah, an-Nawawi mengatakan, “Sesungguhnya ia me-rupakan hadits bathil.”

Dan ada juga hadits yang semisal dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan inqithaa’ (keterputusan). Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak ada yang shahih sama sekali, yang sebagian lebih dha’if dari sebagian yang lain. [1]

MENINGGALKAN SHALAT SUNNAH BA’DIYAH JUM’AT??

Di antara kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat sunnah Ba’diyah Jum’at, baik karena malas maupun karena tidak tahu. Dan sebagian lagi tidak mengetahui bahwa shalat Jum’at itu memiliki shalat sunnah ba’diyah.

Diantara mereka ada juga yang tidak mau mengerjakan sholat ba’diyah jum’at dengan dalil Firman Allah :

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah ayat 10)

Ada seseorang yang selama dua puluh tahun tidak pernah mengerjakan shalat sunnah Ba’ diyah Jum’at sama sekali. Wallahul musta’an. Ini jelas salah, dan ia dapat digolongkan sebagai orang yang mana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” [2]

Shalat sunnah Ba’diyah Jum’at itu empat ra-kaat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan shalat empat rakaat setelahnya.” [3]

Dan jika mau, dia juga boleh mengerjakan dua rakaat saja. Hal ini didasarkan pada riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar, di mana dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat sunnah setelah Jum’at sehingga beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat dua rakaat di rumah beliau.” [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengata-kan, “Jika mengerjakan shalat sunnah di masjid, beliau mengerjakan empat rakaat. Dan jika me-ngerjakan shalat sunnah di rumahnya, maka beliau mengerjakannya dua rakaat.” [5]

Dan dimakruhkan menyambung shalat Jum’at dengan shalat sunnah Ba’diyah tanpa pemisah antara keduanya, seperti pembicaraan (dzikir) atau keluar dari masjid.

Telah diriwayatkan oleh Muslim dari as-Sa’ib Radhyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersama Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu di dalam maqshurah .[6]

“Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, “Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat Jum’at dengan shalat lainnya sehingga kita berbicara atau keluar.” [7]

[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa’ asy-Syaai’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

__________

Foote Note

[1]. Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 232).
[2]. Shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).
[3]. Shahih: Diriwayatkan Muslim (no. 881).
[4]. Shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 937) dan Muslim (no. 882).
[5]. Dinukil oleh muridnya, Ibnul Qayyim di dalam kitab Zaadul Ma’aad, (I/440), dan dia
mengatakan, “Hal tersebut ditunjuk-kan oleh beberapa hadits.”
[6]. Maqshurah adalah sebuah ruangan yang dibangun di dalam masjid.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 883).


Sumber : http://abuayaz.blogspot.com/

INILAH GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT MENURUT ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Allah berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan pencelaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun, kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang tersebut di dalam ayat di atas.”

Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.

Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”

Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:

1. Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.

“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]

Dari ‘Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau bersabda:

إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.

“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]

2. Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.

“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya, “Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]

3. Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan sedekah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.

“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]

4. Keempat : Muallaf (Orang-Orang Yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain, dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]

Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:

إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.

“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]

Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]

Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum muslimin.

Allaahu a’lam.

Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal ?

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:

Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka banyak kaum.

Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”

5. Kelima : Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:

وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.

“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”

6. Keenam : Orang Yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.

Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]

7. Ketujuh : Orang Yang Berjuang Di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.

Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]

8. Kedelapan: Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.

“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya.”[11]

Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas, bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no. 4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.

“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan kemaluannya.” (III/49, no. 1541).

[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).


Sumber: https://almanhaj.or.id/914-golongan-yang-berhak-menerima-zakat.html

Cari Artikel