MASALAH TALQIN MAYIT SETELAH DIKUBURKAN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Permasalahan Talqin Mayit merupakan salah satu hal yang krusial dan perlu difahami secara benar, mengingat ibadah adalah hal yang bersifat Tawqîfiyyah (sebatas nash dan sumbernya) sehingga di dalam melaksanakannya perlu ada nash yang pasti; shahih, sharih (jelas) dan kuat.


Dalam hal ini perlu ada pemilahan; antara Talqin Mayit yang disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan. Yang disyari'atkan adalah Talqin Mayit sebelum meninggal alias saat menghadapi sakratul maut karena memang didukung oleh dalil-dalil yang shahih. Yaitu, menalqinkan orang yang sedang sekarat tersebut dengan kalimat Tauhid "Lâ ilâha Illallâh".



Sedangkan yang tidak disyari'atkan adalah ketika sudah meniggal dunia, apalagi sudah dikuburkan. Adalah musibah besar bilamana hal yang serius seperti ini dilakukan berdasarkan hadits yang tidak ketahuan juntrungannya; apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak. 


Nah, dalam silsilah kali ini kami mengangkat hadits tentang talqin mayit setelah dikuburkan tersebut, Bagaimanakah kualitasnya?, silahkan simak!


Hadits Ketiga
تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ
"Menalqin Mayit adalah setelah dikuburkan"

Sumber Hadits
Redaksi seperti ini diriwayatkan di dalam Mu'jam ath-Thabaraniy dengan SANAD DLA'IF (LEMAH)

Catatan Terhadap Kualitas Hadits

Komentar tentang kualitas hadits tersebut diatas disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam bukunya ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah.


Penahqiq (analis) buku tersebut, Syaikh Muhammad Luthfiy as-Shabbâgh menyatakan bahwa hadits tersebut berstatus : MAWDLU' 
Hal ini berdasarkan:

1.    Kitab al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya Imam asy-Syawkaniy, Hal.268
2.    Kitab Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi'iy al-Kabîr karya Ibn Hajar, Jld.II, Hal.136, sekalipun beliau sudah berupaya untuk menguatkannya.
3.    Kitab Zâd al-Ma'âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, Hal.145. Beliau mengomentari hadits diatas, "Tidak shahih (bila dikatakan) Marfû' (terangkat periwayatannya hingga sampai kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam)."
4.    Kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm karya ash-Sha'âniy, Jld.II, Hal.113. Beliau berkata, "Pengarang kitab al-Manâr berkata, 'Sesungguhnya ulama yang menggeluti hadits tidak meragukan lagi hadits talqin tersebut adalah MAWDLU'.' "
5.    Kitab Fatâwa an-Nawawiy karya Imam an-Nawawiy, Hal.37
6.    Kitab Majma' az-Zawâ`id karya Ibn Hajar al-Haytamiy, Jld.III, Hal.45.



Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh selanjutnya berkata, "Sedangkan menalqinkan mayit sebelum meninggal (saat menghadapi sakarat) dengan kalimat Tauhid, maka hal ini memang valid dan banyak sekali hadits-hadits Shahîh yang menegaskan hal itu. Bisa dilihat pada komentar kami terhadap hadits no.322 pada kitab Mukhtashar al-Maqâshid (al-Hasanah, karya as-Sakhawiy-red.,) dengan tahqiq kami."


(Diambil dari: Kitab ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh, Hal.196, Hadits no.469.

PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK KAUM GHURABA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut)". [H.R.Muslim].

KAJIAN BAHASA : 
  1. Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.
  2. Makna kalimat " bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]" : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
  3. Makna kalimat " fa thuuba lil ghurabaa' [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut) ] " : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.

INTISARI DAN HUKUM-HUKUM TERKAIT 
  1. Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu 'anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam karena karakteristik tentang ghuraba' tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
  2. Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang Mukmin yang haq yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba' tersebut meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya..." (Q.S. 6:116). 
  3. Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan menjadi asing disana.
  4. Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba' yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin. 

Wassalam...!!


SEJARAH WALISONGO PENYIAR ISLAM DI INDONESIA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, terdapat kisah para wali yang menyebarkan Islam yang tidak terlepas dari kegiatan syiar Islam di tanah air. Para wali yang dikenal dengan Walisongo memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam di Jawa khususnya dan di tanah air pada umumnya.

1.  Para Walisongo

Di pulau Jawa penyiaran agama Islam dipelopori oleh para wali. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Walisongo. Para wali sangat aktif dalam menyiarkan agama Islam di daerah di mana mereka menetap. Mereka dipandang memiliki pengetahuan yang luar biasa. Artinya mereka orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, mempunyai tenaga gaib, mempunyai kekuatan batin yang sangat tinggi.

Karena itu para wali diberi gelar sunan, artinya yang dijunjung tinggi (dihormati). Nama para wali biasanya diambil dari nama daerah pusat penyebaran Islam atau tempat di mana ia dimakamkan. Kesembilan wali itu masing-masing adalah :

a. Maulana Maghribi
Maulana Maghribi adalah salah satu dari sembilan wali pertama yang berasal dari daerah Pasai, Aceh. Maulana Maghribi semula bernama Malik Ibrahim.

b. Sunan Bonang
Sunan Bonang semula bernama Mahdum Ibrahim. Ia adalah Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang tinggal di Bonang, Tuban.

c. Sunan Drajad
Sunan Drajad semula bernama Syarifuddin. Ia adalah putra Sunan Ampel. Sunan Drajad tinggi di Drajad tinggal di Drajad, Sedayu

d. Sunan Ampel
Sunan Ampel semula bernama Raden Rahmat. Ia tinggil di Ampeldenta, Surabaya.

e. Sunan Giri
Sunan Giri bernama Raden Paku. Ia berasal dari Blambangan, Jawa Timur

f. Sunan KaliJaga
Sunan Kalijaga semula bernama Jaka Said. Ia adalah putra Tumenggung Majapahit

g. Sunan Kudus
Sunan Kudus semula bernama Ja'far Shodiq. Ia tinggal di Kudus, Jawa Tengah

h. Sunan Muria
Sunan Muria semula bernama Raden Umar Said. Ia adalah putra Sunan Kalijaga. Setelah wafat ia dimakamkan di Gunung Muria

i. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati semula bernama Syarif Hidayatullah atau Fatahillah. Ia tinggal di Cirebon dan setelah wafat dimakamkan di Gunung Jati.

Selain kesembilan wali yang disebut walisongo tersebut, sebenar ada seorang wali lagi bernama Syekh Siti Jenar. Tetapi ia tidak termasuk ke dalam kelompok wali sembilan (Walisongo) karena ajaran yang disampaikannya bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya atau dianggap ajaran sesat. Oleh karena terpaksa ia dikeluarkan dari kelompok wali kemudian dihukum mati. 

2. Cara penyiaran agama Islam oleh para wali

Para wali yang umumnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri, mempunyai tugas utama berdakwah menyiarkan Islam tertutama di daerah di mana ia menetap. Mereka melaksanakan dakwah menyiarkan Islam terutama di daerah di mana ia menetap. Mereka melaksanakan dakwah secara bijaksana, misalnya dengan bertukar pikiran (berdiskusi) dengam pemuka-pemuka masyarakat yang belum Islam. Atau mereka memberikan contoh tauladan dalam beribadah maupun bermasyarakat secara Islam. Bahkan terkadang harus mengeluarkan kesaktian dan mukjizat yang  mereka meliki. Para wali ada pula yang berdakwah melalui seni seperti seni wayang, dengan menokohkan wayang dengan tokoh Islam, Kesenian yang berkembang dan gemari masyarakat tetap berlanjut meskipun disisipkan dengan ajaran Islam. Melalui cara-cara ini banyak penduduk atau masyarakat pada masa itu tertarik kemudian menganut agama Islam berkembang pesat.

Selain para wali, masih banyak lagi tokoh keagamaan dalam Sejarah Indonesia misalnya Syekh Bentong dan Syekh Majagung, Sunan Bayat (klaten), Sunan Prapen, Sunan Sendang (Sendangduwur). Demikian pula di daerah di luar Jawa, seperti di daerah Gowa, Datori Bandang, dan Tuang Tranggang Parang di Kutai, Penghulu Demak Mangajar di Banten dan lain-lain. 

Istilah penting

Wali : Orang yang mengajarkan ilmu agama yang tinggi, mengajarkannya dan dipandang memiliki kesaktian.

Demikian sejarah singkat walisongo sebagai penyiar agama Islam di Pulau Jawa, semoga bermanfaat. terimakasih.

Sumber: Visiuniversal.blogspot.com

PEMIKIRAN ULAMA ISLAM DAN KARYANYA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Banyak ulama-ulama besar Islam yang telah memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan Islam khususnya dan Ilmu pengetahuan umat di dunia pada umumnya.

1. Pemikiran dan Ulama Islam serta Hasil Karyanya.

Berkembangnya agama Islam di Indonesia pada masa lampau di samping karen giatnya para pedagang Islam dari Timur Tengah dan orang-orang Gujarat (India), juga karena banyaknya kerajaan Islam yang rajanya selain memimpin pemerintahan mereka juga aktif menyiarkan agama Islam. Kemudian terapat pula para wali atau walisongo yang giat menyiarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mereka berdakwah terutama di mana tempat mereka tinggal atau menetap. Selain itu terdapat pula pemikiran dan para ulama Islam (ahli tasawuf) yang menjadi guru agama untuk pergi mengembara mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Mereka menemui pemuka-pemuka masyarakat yang belum Islam untuk bertukar pikiran dan mengadu kesaktian. Mereka membantu orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan kepadanya. Ahli-ahli tawawuf terkenal di antaranya bernama Hamzah fansuri, Nuruddin ar Raniri, Samsuddin Pasai, dan lain-lain. 

para pemikir dan Ulama Islam, selain memiliki kemampuan seperti di atas, mereka juga berjasa memajukan kebudayaan Indonesia khususnya bidang kesusastraan. Sebagai contoh ahli sufi atau tasawuf bernama Hamzsah Fansuri (tahun 1600) yang berasal dari Barus, Sumatera Utara. Ia membuat karya sastra yang ditulis dengan huruf Arab berbentuk  Syair Melayu. Syair yang dibuat tentang manusia yang diibaratkan perahu, yang mengarungi lautan zat Tuhan . Selain syair juga ada kitab Asrar al Arifin, Kitab ini, tidak hanya berisi tentang ajaran kegamaan dan kesusilaan. Tetapi juga memuat riwayat para nabi, sahabat, raja-raja Islam di kepulauan Nusantara, dan sebagainya.

Selain itu banyak lagi tokoh-tokoh keagamaan lainnya yang tercatat dalam sejarah Indonesia, mislanya Syekh Yusuf dari Makasar (terkenal hingga ke Afrika Selatan), Syekh Nawawi dari Banten, Syekh Bantong, Syekh Majagung, dan lain-lain.

Istilah Penting:

Tasawuf : Orang yang memiliki Ilmu agama Islam yang kuat dengan berusaha mendekatkan diri kepada Allah sepenuhnya
Syair : karya Sastra dari para pujangga.

Cari Artikel