MELIHAT KEMBALI KONTROVERSI YASINAN ADALAH BID'AH

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Menurut sejarah, lahirnya tradisi Yaasin dan Tahlil berangkat dari akulturasi Nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa yang bernuansa Hindu-Budha. Islam ketika masuk ke tanah Jawa, pada masa awal penyebarannya banyak dilakukan melalui dakwah kultural. Hal ini dimotori oleh Sunan Kalijaga yang juga seorang seniman dan budayawan (dalang).

Pada saat itu, sebelumnya kebiasaan lek-lekan (kumpul-kumpul malam hari) sepeninggalnya seseorang dulunya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kurang Islami bahkan mengarah pada perbuatan-perbuatan maksiat, main kartu, minum-minuman, dan sebagainya.

Kemudian sedikit demi sedikit tradisi lek-lekan itu dikawinkan dengan nilai-nilai Islam melalui ritual Yaasin dan Tahlil. Akhirnya, mitong dino, matang puluh dino, mendhak sepisan dan seterusnya sampai saat ini dapat kita saksikan dalam ritual Yaasin dan Tahlil. Dan dakwah semacam itu cukup efektif yang menjadikan Islam besar di tanah Jawa. Kemudian Yasinan ini menyebar kedaerah-daerah lain di seluruh nusantara.

Pada sisi lain, seperti tradisi Halal bi Halal sendiri, tradisi Yaasin dan Tahlil hanya di kenal di Indonesia. Tidak salah jika beberapa intelektual muslim berpendapat bahwa Islam di Indonesia adalah unik, memiliki rasa dan tidak gersang seperti di Timur Tengah atau negara lainnya. Sehingga ada yang lebih suka menyebutnya dengan ‘Islam Indonesia’, bukan Islam di Indonesia.

Sedangkan mengapa sampai saat ini NU masih tetap melestarikan tradisi Yaasin dan Tahlil, bukan hanya karena kegiatan Yaasin dan Tahlil adalah salah satu modal sosial, tetapi juga karena secara hukum adalah sah. Tidak ada dalam teks Al-Quran pun Hadist yang secara qoth’iy (pasti) mengharamkan atau melarangnya.

Sedangkan, kelompok modernis Islam yang dulu dimotori oleh Muhammadiyyah menghukumi tradisi Yaasin dan Tahlil sebagai bid’ah yang didasarkan pada Hadist yang berbunyi, “Kullu bid’atun dlolaalatun”. Sayangnya Hadist tersebut salah dipahami dengan memaknainya sebagai “Setiap bid’ah adalah buruk”. Yang semestinya lafadl (kata) ‘kullu’ pada Hadist di atas dimaknai ‘sebagian’ (bi ma’na ba’dli). Artinya, memang benar ada bid’ah yang dhlolaalah (buruk) dan pada sisi lain ada juga bid’ah yang hasanah (baik). Sayangnya, pada term yang terakhir kita jarang menyebutnya dengan bid’ah hasanah tetapi lebih sering dengan sebutan ijtihad.

Saya akan menawarkan beberapa fakta yang mungkin akan membuat Anda berfikir ulang tentang bid’ah. Mungkin sampai saat ini Anda masih mendefinisikan bid’ah sebagai tata cara ibadah atau ibadah (‘ubudiyyah) yang sebenarnya tidak pernah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan Hadist. Singkatnya tata cara ibadah atau ibadah yang mengada-ada. Jika Anda tahu, sampai ini pemerintah Saudi Arabia telah melakukan perombakan-perombakan syariah haji (tata cara); seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperlebar ukuran Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok selebar tujuh meter[4]. Hal tersebut dilakukan karena semakin membludaknya jamaah haji pertahunnya.

Jika Anda masih konsisten dengan definisi bid’ah di atas, maka apakah Anda bisa mengatakan kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang mengkreasi sedemikian rupa syariah haji akan Anda sebut juga sebagai bid’ah (dlolaalah)? Saya yakin, pada fakta di atas Anda akan cenderung menyebutnya sebagai proses ijtihad dalam rangka mengurangi kecelakaan yang terjadi akibat penumpukan jemaah. Nah, logika semacam itu juga berlangsung dalam tradisi Yaasin dan Tahlil, sebagai bentuk ijtihad dalam rangka dakwah kultural. Hanya saja kita—sekali lagi—alergi untuk menyebutnya dengan bid’ah hasanah. Karena term ‘bid’ah’ sudah kadung peyoratif dalam katalog kata kita.

Menurut pemahaman saya, bahwa Yaasin dan Tahlil sebagai bentuk ijtihad dalam rangka melakukan kodifikasi (pengumpulan-pelembagaan) dari bacaan surat Yaasin, dzikir dan do’a yang kemudian diritualkan. Hal ini saya pandang sejajar dengan kumpulan do’a-do’a, dzikir yang dikeluarkan oleh Ulama tertentu untuk pengikutnya. Seperti kumpulan do’a, dzikir dan sebagainya dalam Majmu’ Assyarif atau majmu’-majmu’ lainnya.

Saya kembali ingat, ada kaidah Fiqih yang berbunyi, “Al ‘adaatul muhakkamah”. Artinya, “Adat atau kebiasaan bisa ditetapkan sebagai hukum”. Kontekstualisasi dari kaidah ini, bahwa kebiasaan atau tradisi yang secara esensial berisi nilai-nilai Islami dapat ditetapkan hukumnya menjadi sah atau boleh. Hal semacam ini dilakukan tidak semata-mata sebagai strategi an sich melainkan juga dalam kerangka penghormatan terhadap budaya tradisi yang nota benenya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Mujamil Qomar dalam disertasinya menulis, bahwa penghormatan pada tradisi yang baik ini pada akhirnya memuncak dengan memosisikannya sebagai hukum. Kalangan NU mengikuti kaidah Al ‘adaatul muhakkamah. 

Penetapan tersebut tidak sekedar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial-kultural, tetapi juga memiliki sandaran teologis, baik Al-Quran maupun Hadist yang mendasari bangunan kaidah tersebut sehingga merasa haqqul yaqiin dalam menerapkannya[6]. Sandaran teologis yang dimaksud tepatnya adalah Hadist yang berbunyi, “Maa roohul muslimuuna hasanan fahuwa ‘indallahi hasanun”. Yang artinya, “Apapun yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah”.

Sumber:
1. Hal. 24 Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh. Tahun 1977.
2. Luthfi Assyaukanie dalam, “Perlunya Merombak Teologi Haji” tahun 2007.
3. Hal 1. Terjemah Kitab Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh tahun 1977.
4. Mujamil Qomar dalam NU “Liberal” . Hal 97 tahun 2002. 



PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIST

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Hadist Qauliyah, Hadist Fi'iliyah, Hadist Takririyah
Perpustakaan Hadist
A. Pengertian 

Jika dilihat dari pengertiannya maka kita akan mencoba memahami hadist dari Perkataan hadis yang berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, pemikiran, dan cerita. Menurut istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takrir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW.

Mengacu pada definisi tersebut, hadis Nabi SAW, dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

  1. Hadis Qauliyah, yaitu hadis yang didasarkan atas segala perkataan dan ucapan nabi SAW. Misalnya; sabda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa rukun iman itu ada 6 dan rukun Islam itu ada 5. 
  2. Hadist/Sunah Fi'liyah, yaitu hadist/sunnah yang didasarkan yang didasarkan atas segenap perilaku dan perbuatan NabiSAW. Misalnya; perbuatan-perbuatan Rasullulah SAW tentang tata cara mengerjakan salat dan menunaikan ibadah haji.
  3. Hadist/Sunah Takririyah, yaitu hadis yang disandarkan pada persetujuan Nabi SAW atas apa yang dilakukan para  sahabatnya. Nabi SAW membiarkan penafsiran dan perbuatan sahabatnya atas suatu hukum Allah dan Rasul-Nya. Diamnya Raulullah SAW menandakan persetujuannya. 

Contoh Hadist/ Sunah  Takririyah :

  • Takrir Nabi SAW terhadap kaum wanita yang pergi meninggalkan rumahnya untuk mendatangi masjid, menghadiri pengajian, dan untuk keperluan-keperluan lainnya.
  • Nabi SAW membiarkan sebagian sahabatnya berzikir dengan suara keras.
  • Nabi SAW membiarkan orang buta melakukan jual beli.



B. Kedudukah Hadis

Para Ulama berpendapat bahwa hadist menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an. 

Para Ulama beralasan kepada dalil-dalil Al-Qur'an Surah Ali- Imran, 3: 132, Surah Al-Ahzab, 33-36 dam Al-Hasyr, 59: 7, serta hadist riwayat Turmuzi an Abu Daud yang berisi dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya Mu'az bin jabal  tentang sumber hukum Islam. 

Barang siapa yang tidak mengakui Hadist sebagai sumber hukum Islam atau mengingkarinya, maka ia dianggap ingkar sunah, dan  dinyatakan murtad (keluar dari Islam atau kafir). (Lihat Al-Qur'an Surah An-Nisa, 4: 80).

Dalam pembahasan kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua, ada baiknya dibahas tentang kualitas hadis.  Kualitas Hadis dapat dilihat dari segi jumlah rawinya, nilai dan perawi terakhir yang membukukan hadist.


C. Fungsi Hadis

Fungsi atau peranan Hadis (Sunah) disamping Al-Qur'anul Karim adalah: 

1) Mempertegas atau mempertegas hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an (bayan at-taqriri atau at-takid).

Misalnya:

  • Keharusan berwudu ketika akan mengerjakan shalat yang tercantum dalam Surah Al-Ma'idah, 5: 6, diperkuat oleh hadis Nabi SAW, yang artinya" "tidak diterima shalat seseorang yang hadas sebelum berwudu." (H.R Bukhari).
  • Kewajiban mengerjakan shalat lima waktu yang tercantum dalam Surah Al-Haji, 22: 77, Surah Al-Baqarah, 2: 43, dan Surah Al-'Ankabut, 29: 45, dipertegas oleh Hadis-hadis Nabi SAW antara lain Hadist tentang rukun Islam.
  • Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: Artinya: "Islam itu didirikan atas lima sendi, yaitu mengakui tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Penegasan Allah SWT dalam Al-Qur'an Surah An- Nisa, 4: 48 bahwa syirik itu termasuk dosa besar, telah diperkuat oleh hadist riwayat Muslim. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: "Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar? (diucapkan beliau sampai tiga kali), yaitu: menyekutukan Allah (syirik), durhaka pada kedua orangtua, kesaksian palsu, atau berkata dusta." (H.R. Muslim).


2) Menjelaskan, menafsirkan, dan merinci ayat-ayat Al-Qur'an yang masih umum dan samar (bayan at tafsir). Misalnya:

  • Allah SWT dalam Al-Qur'an mewajibkan shalat lima waktu, tetapi tidak dijelaskan secara detail tentang tata cara pelaksanaannya, syarat-syarat sahnya, rukun-rukunnya, sunah-sunahnya, dan yang membatalkannya. Tata cara pelaksanaan shalat yang tidak dijelaskan Al-Qur'an itu, dijelaskan oleh hadist.
  • Allah SWT dalam Al-Qur'an mewajibkan untuk membayar zakat, tetapi tidak dijelaskan secara detail tentang pelaksanaannya. Pelaksanaan zakat secara detail dijelaskan dalam Hadist (Sunnah).

3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur'an (bayan at-tasyri) namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Misalnya masalah menggosok gigi (siwak) yang disunahkan oleh Nabi SAW. Hal ini tidak terungkap secara eksplisit dan detail dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an hanya menegaskan masalah kebersihan secara umum.


Demikianlah pengertian, kedudukan dan fungsi Hadist, semoga bermanfaat. Terimakasih.  

Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber!!


HAKIKAT SIFAT MALU

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dari Abi Mas'ud al-Badri radhiallâhu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red) adalah: 'jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan' ". (H.R.Bukhari).

Catatan: Mushannif menyebutkan bahwa nash hadits seperti diatas adalah riwayat Bukhari, namun persisnya adalah sebagai berikut (tanpa kata al-Badri radhiallâhu 'anhu dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam seharusnya dalam nash di shahih Bukhari adalah an-Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ):

Takhrij hadits secara global
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ad-Daruquthni, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, ath-Thabrani dan lain-lain.

Makna Hadits secara global
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa ucapan kenabian pertama (Adam 'alaihissalam) yang terus menerus didengar dari generasi ke generasi adalah "bila engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan".

Penjelasan Tambahan
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam 'alaihissalam ) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red)" diatas mengisyaratkan bahwa ucapan ini ma'tsur (merupakan atsar) dari para nabi terdahulu, diwarisi dan selalu diperbincangkan oleh orang-orang dari abad ke abad. Ini artinya, bahwa kenabian terdahulu memang telah mengenal ucapan ini dan masyhur di kalangan manusia hingga sampai kepada orang pertama dari umat ini. Statement semacam ini didukung oleh sebagian riwayat hadits, yang berbunyi: "manusia-manusia terdahulu tidak mengenal ucapan kenabian pertama yang lain kecuali ucapan ini". (dikeluarkan oleh Humaid bin Zanjawaih, dan selainnya).

Makna sabda beliau : "jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan"
Mengenai maknanya terdapat dua pendapat:
Pertama: kalimat tersebut bukan mengandung pengertian boleh berbuat sesuka hati, akan tetapi bermakna adz-Dzamm (celaan) dan an-Nahyu (larangan). Dalam mengimplementasikan pengertian diatas, terdapat dua cara :
Cara pertama: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: at-Tahdid wal wa'iid (ultimatum dan ancaman keras). Jadi maksudnya: jika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang engkau inginkan sebab sesungguhnya Allah akan mengganjar perbuatanmu tersebut, seperti dalam firman Allah: "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.,s. 41/Fushshilat:40). Dan firmanNya: "'Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. (Q.,.39/az-Zumar:15). Dan seperti makna hadits yang hanya ditautsiq (didukung kualitas sanad dan matannya) oleh Ibnu Hibban: "Barangsiapa yang menjual khamar (arak) maka hendaklah dia memotong-motong babi (baik untuk dijual atau dimakan)". Maksudnya : barangsiapa yang menghalalkan penjualan khamar/arak maka hendaklah terlebih dulu menghalalkan penjualan babi sebab kedua-duanya sama-sama diharamkan. Jadi disini ada perintah namun pengertiannya adalah larangan. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain; pendapat semacam ini adalah pilihan sekelompok ulama, diantaranya: Abul 'Abbas, Tsa'lab.
Cara kedua: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: al-Khabar (pemberitaan). Jadi maksudnya: barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu, dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan. Sebab sesungguhnya yang mencegahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk adalah sifat malu; orang yang tidak memiliki sifat ini, maka dia akan tenggelam ke dalam setiap perbuatan keji dan munkar dan orang yang seperti ini hanya bisa tercegah dari melakukannya bila dia memiliki rasa malu. Sepadan dengan makna ini adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih: "barang siapa yang berdusta kepadaku maka hendaklah dia menyediakan tempat duduknya di neraka". Lafazh hadits ini berupa amr (perintah) namun maknanya adalah al-Khabar (pemberitaan) yakni bahwa orang yang berdusta terhadap beliau maka dia sudah menyediakan tempat duduknya di neraka. Pendapat ini adalah pilihan Abu 'Ubaid, al-Qaasim bin Sallaam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr al-Marwazi, dan selain mereka. Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ahmad yang mengindikasikan pendapat seperti ini juga.

Kedua: kalimat tersebut mengandung pengertian ; perintah untuk melakukan apa yang dia inginkan sesuai dengan makna lafazh tersebut secara zhahirnya. Jadi artinya: apabila apa yang ingin engkau lakukan termasuk perbuatan yang tidak perlu merasa malu untuk melakukannya baik dari Allah maupun manusia karena ia merupakan perbuatan keta'atan/kebajikan atau akhlaq yang baik dan etika yang dianggap baik; maka ketika itu perbuatlah apa yang ingin engkau lakukan. Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama, diantaranya Abu Ishaq al-Marwazi asy-Syafi'i, dihikayatkan pendapat sepertinya dari Imam Ahmad, terdapat juga dalam sebagian manuskript ringkasan kitab "masaail Abi Daud", begitu juga seperti yang dihikayatkan oleh al-Khallal dalam kitabnya "al-Adab". Diantaranya perkataan sebagian Salaf ketika mereka ditanyai tentang definisi al-Muruuah : "bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang engkau malu melakukannya secara terang-terangan (sama malunya) di waktu engkau dalam kesendirian". Ungkapan ini sama dengan makna hadits "dosa adalah apa yang terbetik dalam hatimu sedangkan engkau takut orang lain mengetahuinya" (penjelasan tentang hadits ini telah kami tampilkan pada pembahasan yang lalu). Ada beberapa hadits yang senada dengan makna penjelasan diatas yang dipaparkan oleh Mushannif, diantaranya hadits dari Usamah bin Syuraik yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya "Shahih Ibni Hibban": dari Usamah bin Syuraik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "sesuatu yang Allah benci darimu (untuk dilakukan), maka janganlah engkau lakukan juga bila engkau sedang sendirian".

Klasifikasi sifat malu, kedudukan dan keutamaannya

Klasifikasinya dan kedudukannya

Sifat malu ada dua macam:
Pertama, sifat malu bawaan yang tidak didapat melalui proses ; ini merupakan akhlaq yang paling mulia yang Allah karuniakan kepada hambaNya, oleh karena itulah dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dikatakan: "sifat malu tidak membawa selain kebaikan" sebab ia akan mencegah orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan yang buruk-buruk dan hina serta mendorongnya untuk menggunakan akhlaq yang mulia. Sifat ini merupakan bagian dari iman bila implikasinya terhadap pemiliknya demikian. Al-Jarrah bin 'Abdullah al-Hikami, salah seorang pahlawan penunggang kuda dari Ahli Syam, berkata: "aku tinggalkan dosa-dosa karena malu, selama empat puluh tahun; ternyata aku dapati kemudian sifat wara' ".
Kedua, sifat malu yang didapat melalui proses ma'rifatullah (mengenal Allah), keagunganNya, kedekatanNya dengan hamba-hambaNya, pengawasanNya terhadap perbuatan mereka serta ilmuNya terhadap apa saja yang tersembunyi di hati manusia. Ini merupakan bagian keimanan yang paling tinggi bahkan merupakan tingkatan ihsan paling tinggi, seperti dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang laki-laki: "berlaku malu lah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang keluargamu yang paling shalih".

Keutamaannya

Diantara keutamaan sifat malu adalah:

Sifat malu adalah sifat yang dicintai oleh Allah; sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, an-Nasai dari hadits al-Asyajj al-'Ashri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Sesungguhnya engkau memiliki dua sifat yang dicintai oleh Allah". Aku bertanya kepada beliau: 'apa itu?'. Beliau bersabda :"sifat lemah lembut (al-Hilm) dan sifat malu". Aku bertanya lagi: 'sifat yang sudah lama (melekat padaku) atau yang baru?'. Beliau menjawab dengan sabdanya: "bahkan yang sudah lama". Aku berkata (pada diriku): 'alhamdulillah Yang telah menganugerahkan kepadaku dua sifat yang dicintai oleh Allah'. Begitu juga dengan apa yang dikatakan oleh seorang shahabat, Salman al-Farisi: "Sesungguhnya bila Allah menginginkan kehancuran/kebinasaan bagi seorang hambaNya, maka Dia akan mencabut dari dirinya sifat malu, dan bila sudah dicabut sifat tersebut dari dirinya maka dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia amat dimurkai dan murka, dan bila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut dari dirinya sifat amanah lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia dicap sebagai pengkhianat dan orang yang dikhianati, dan bila dia sudah menjadi pengkhianat dan orang yang dikhianati maka akan dicabut dari dirinya sifat rahmah (sifat belas kasih) lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia memiliki sikap keras dan berhati kasar, dan apabila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut sebagian iman dari tengkuknya, dan bila sudah demikian maka dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisinya yang telah menjadi syaithan yang dilaknat dan suka melaknat".

Sifat malu merupakan bagian dari iman; sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Ibnu 'Umar radhiallâhu 'anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lewat di depan seorang laki-laki yang mencerca saudaranya yang memiliki sifat malu, dia (orang tersebut) berkata: "sesungguhnya engkau ini amat pemalu", seakan dia mengatakan (ungkapan ini berasal dari perawi hadits-red);"..ia (sifat malu tersebut) telah membahayakan dirimu". Lantas kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "biarkanlah dia! Karena sesungguhnya sifat malu itu adalah sebagian dari iman". (H.R.Bukhari, Muslim,…). Dan dalam hadits yang lain dikatakan: "sifat malu adalah cabang dari iman". (H.R. Bukhari, Muslim,…).

·         Sifat malu hanya membawa kebaikan; sebagaimana dalam hadits 'Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sifat malu tidak membawa selain kebaikan". (H.R.Bukhari dan Muslim).

Karakteristik sifat malu dan implikasinya

Karakteristiknya

Hal ini seperti digambarkan dalam hadits Ibnu Mas'ud :" Malu kepada Allah adalah bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang disadari/ditangkapnya, (menjaga) perut dan apa yang dikandungnya, mengingat mati dan musibah (yang akan menimpa); barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dia meninggalkan gemerlap dunia. Maka siapa yang melakukan hal itu, berarti dia telah berlaku malu kepada Allah". (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi secara marfu').

Implikasinya
Sifat malu kepada Allah melahirkan tindakan untuk selalu memonitor semua nikmatNya dan melihat keterbatasan dan ketimpangan-ketimpangan dalam mensyukurinya. Bila seorang hamba telah dicabut sifat malu dari dirinya baik sifat malu bawaan atau pun yang didapat melalui proses maka dia tidak lagi memiliki filter untuk melakukan perbuatan yang jelek-jelek dan akhlaq yang rendah dan hina; lantas kemudian jadilah dia seakan-akan tidak memiliki iman sama sekali.

Seperti yang diungkapkan oleh 'Imran bin Hushain radhiallâhu 'anhu bahwa sifat malu yang dipuji dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah akhlaq yang memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek, sedangkan kelemahan dan ketidakmampuan yang berimbas kepada keterbatasan dalam melakukan hak-hak Allah dan hak hamba-hambaNya maka hal ini tidaklah dinamakan sifat malu tersebut akan tetapi hal itu adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan semata.

Intisari Hadits
·         Diantara ungkapan yang populer sejak kenabian pertama hingga dari abad ke abad adalah : "jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan".
·         Sifat malu ada dua macam: sifat bawaan dan sifat yang didapat setelah melalui proses.
·         Sifat malu merupakan bagian atau cabang dari cabang-cabang iman.
·         Orang yang tidak memiliki sifat malu sama sekali maka dia tidak akan memiliki filter diri dan akan selalu melakukan prilaku yang jelek dan hina.


 Sumber

PERINGATAN MAULID NABI, SEPUTAR SEJARAH DAN HUKUMNYA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Seputar Sejarah Maulid
Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah Bani Ubaid Al-Qoddakh yang menamai diri mereka dengan “Fatimiyyah”, yang mana mereka adalah dari golongan Syi'ah Rafidhah. Mereka memasuki kota Mesir pada tahun 362 H / 977 M. Dari situlah kemudian tumbuh berkembang perayaan maulid secara umum dan maulid nabi secara khusus.

Imam Ahmad bin Ali Al-Miqrizi –ulama ahli tarikh/sejarah- mengatakan dalam kitabnya “Al-Mawaidz wal I’tibar Bidzikri Khutoti wal Atsar” (1/490) :
Para khalifah Fatimiyyah mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, Asyuro’, maulid Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, dan maulid khalifah. Serta perayaan lainnya seperti perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, Nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan, dan penutupan Ramadhan….”

Orang yang pertama kali merayakan hari ulang tahun nabi setelah mereka adalah Raja Mudhafir Abu Sa’ad Kaukaburi pada awal abad ke 7 Hijriah. Sebagaimna diungkapkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya “Al-Bidayah wa An-Nihayah : 13/137)” :
“Dia (Raja Mudhafir) merayakan maulid Nabi di bulan Rabi’ul awal dengan amat mewah. As-Sibt berkata : Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan raja Mudhafir disiapkan 5000 daging panggang, 10.000 daging ayam, 100.000 gelas susu, dan 30.000 piring makanan ringan….”

Hingga beliau (Ibnu Katsir) berkata pula :
“Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan orang-orang Sufi (betapa serupanya dahulu dan sekarang, pen). Sang raja pun menjamu mereka. Bahkan bagi orang-orang Sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi di waktu Dzhuhur hingga fajar, dan raja pun juga ikut berjoget bersama mereka."

Ibnu Khalikan berkata dalam kitabnya "Wafayatul A’yaan" (4/117-118) :
"Bila tiba awal bulan Safar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan para penyanyi. Ahli penunggang kuda, dan pelawak. Pada hari itu manusia LIBUR KERJA karena ingin bersenang-senang di kubah-kubah tersebut bersama para penyanyi…..dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi dan kambing, yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba di lapangan….Pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah sholat Maghrib di benteng.”

Demikianlah sejarah awal perayaan hari ulang tahun Nabi yang penuh pemborosan dan kemaksiatan.

Perkataan Ulama tentang Maulid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya “I’qtidho’ Shirotil Mustaqim” (2/123-124):
“Demikian pula apa yang diadakan oleh sebagian manusia tentang perayaan hari kelahiran Nabi, padahal ulama telah berselisih tentang tanggal kelahirannya. Semua tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf (sahabat, tabi’in, tabi’ut dan tabi’in)….dan Seandainya hal itu baik (untuk diamalkan), Tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi dan mereka lebih semangat dalam melaksanakan amal kebaikan. Sesungguhnya cinta Rasul adalah dengan mengikuti beliau, mentaati perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara dzahir dan batin, menyebarkan ajarannya, dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.”

Syaik Muhammad Abdussalam As-Syaqiry (murid Syaikh Rasyid Ridha) berkata dalam kitab “As-Sunan wal Mubtada’at : 123” bahwa :
“Di bulan ini (Rabi’ul awal), Rasulullah dilahirkan dan diwafatkan…..Oleh karenanya, menjadikan kelahiran beliau sebagai perayaan merupakan perkara bid’ah munkaroh dan sesat serta tidak sesuai dengan syariat dan akal. Seandainya perkara ini baik, Bagaimana mungkin amalan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta para sahabat dan tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama kaum muslimin ? Tidak syak lagi bahwa perayaan tersebut hanyal Dibuat-buat oleh para Sufi yang suka makan, dan oleh para pengangguran dari kalangan ahlu bid’ah yang kemudian diikuti oleh mayoritas manusia. Pahala apa yang akan diperoleh dari harta yang dihambur-hamburkan ?”

K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari Al-Jombangi pendiri Pesantren Tebu Ireng dan juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) berkata dalam kitabnya “At-Tanbihaat al-Waajibat liman Yashna’ Maulid bin Mungkarot” hal.17-18, yang bukilannya adalah :
“Perayaan maulid seperti yang saya sifatkan pertama kali (dibumbui maksiat) hukumnya haram, dan tidak ada dua tanduk yang bertabrakan tentang terlarangnya maulid, tidak dianggap baik oleh orang yang mempunyai sifat takwa dan iman. Akan tetapi yang menyenanginya hanyalah orang yang dibutakan matanya dan sangat bernafsu terhadap makan dan minum serta tidak takut maksiat kepada siapapun dan tidak peduli dengan dosa apapun. Demikian pula Menontonnya, menghadiri undangannya, dan menyumbang harta untuk perayaan maulid tersebut. Semua itu hukumnya haram dan sangat haram, karena mengandung beberapa kemungkaran, yang akan kami sebutkan di akhir kitab.”

Kemudian di halaman 8-10, beliau berkata pula :
“Pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awal tahun 1355 H / 1935 M saya melihat sebagian santri pondok pesantren agama mengadakan perayaan maulid dengan menghadirkan alat-alat musik kemudian membacakan sedikit ayat Qur’an serta kisah kelahiran Nabi (kitab Barzanji). Kemudian setelah itu, mulai mengerjakan kemungkaran seperti (atraksi) pencak silat dengan menabuh gendang. Semua itu dilakukan dihadapan para wanita yang bukan mahram. Demikian pula sejenis judi (domino), campur baur laki-laki perempuan, joget, dan tenggelam dalam hal yang sia-sia, tertawa dan mengeraskan suara di masjid dan sekelilingnya. Melihat itupun SAYA MENGINGKARI mereka dari kemungkaran-kemungkaran tersebut. Lalu merekapun bubar. Tatkala perkaranya seperti yang saya gambarkan tadi, dan saya khawatir dan kejadian menjijikan ini akan bertambah menyebar ke tempat lainnya atau akan ditambah lagi oleh orang-orang awam dengan kemaksiatan lainnya, maka saya tulislah buku ini sebagai Nasehat dan Petunjuk kepada kaum Muslimin.”

Syubhat Perkara Maulid
Ada yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi termasuk konsekuensi wujud cinta kepada Nabi Muhammad.
Ketahuilah : “Perkataan ini dusta, tidak berdasar dalil sedikitpun. Sebab maulid Nabi tidak termasuk konsekuensi cinta kepada Nabi. Cinta Nabi itu dengan ketaatan (dalam menjalankan sunnahnya), bukan dengan kemaksiatan dan kebid’ahan seperti halnya maulid Nabi. Bahkan maulid Nabi termasuk pelecehan dan penghinaan kepada Nabi” [“Siyanatul Insan ‘An Waswasati Syaikh Dahlan” hal. 228 oleh Syaikh Muhammad Basyir Al-Hindy, kata pengatar oleh Syaikh Rasyid Ridha]

Kemudian perhatikan cerita dialog menarik yang diambil dari buku “Syaikh Abdul Qadir Jailany wa Aro’uhu” hal.420-421 seputar masalah maulid :
“Suatu kali aku berkunjung ke salah satu negeri Islam dalam acara muktamar tahun 1415 H / 1993 M, tiba-tiba seorang ulama negeri tersebut mengajak dialog bersamaku tentang maulid Nabi setelah menuduhku tidak mencintai Nabi karena aku tidak merayakan maulid. 

Kemudian aku jelaskan kepadanya bahwa penyebab utama aku tidak merayakannya adalah justru karena kecintaanku kepada Nabi. Sebab hakekat cinta kepadanya adalah dengan beramal sesuai petunjuknya (sunnahnya). Lalu terjadilah dialog sebagai berikut :
Penulis : “Apakah maulid merupakan amal ketaatan ataukah kemaksiatan ?”
Jawabnya : “Jelas ketaatan”
Penulis : “Apakah Nabi mengetahui ketaatan tersebut ataukah tidak mengetahuinya ?”
Jawabnya : “Mengetahuinya”. (Dia menjawab demikian karena tidak mungkin dia berani mengatakan bahwa Nabi tidak mengetahuinya, kalau dia mengatakan Nabi tidak mengetahuinya berarti perkara maulid yang dia amalkan langsung menjadi bathil)
Penulis : “Apakah Nabi menyampaikan perintah maulid atau menyimpannya ?”
Jawabnya : (Dia bingung harus menjawab apa, lalu berkata) : “Menyampaikannya ?”
(Dia menjawab demikian, karena tidak mungkin dia menjawab Nabi menyimpannya, kalau dia mengatakan Nabi menyimpan perintah maulid, berati perkara maulid yang dia amalkan langsung menjadi bathil).

Penulis : “Jika begitu, tunjukkan kepada saya contoh dari Nabi tentang perayaan maulid (jika kamu berkata bahwa Nabi menyampaikan hal tersebut) ?
Jawabnya : (Diam tidak bisa menjawab)

Penulis : “Diamnya saudara berarti menunjukkan bahwa Nabi tidak menyampaikan perkara Maulid ini (tidak ada contohnya dari beliau).
Akhirnya dia mengakui bid’ahnya maulid Nabi dan berjanji kepadaku untuk memerangi bid’ah tersebut. Semoga Allah meneguhkan hatinya.”
Nasehat untuk saudaraku sesama muslim….
Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian memujiku sebagimana kaum Nashrani memuji Nabi 'Isa. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah : Hamba Alloh dan Rasul-Nya.” [HR. Bukhari : 3445]

Imam Syatibi berkata dalam kitabnya “Al-I’tishom” I/64-65), bawah Imam Malik berkata :
“Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam dan MENGANGGAPNYA BAIK (bid’ah ahsanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad mengkhianati risalah, karena Allah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu….”. Maka apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.”

Imam Al-Barbahari berkta dalam kitabnya “Syarhus Sunnah” hal. 68-69 bahwa :
“Waspadailah olehmu perkara baru (bid’ah). Karena bid’ah yang awalnya kecil, lambat laun akan terbiasa dan menjadi besar. Demikian pula setiap bid’ah pada ummat ini, AWALNYA HANYA KECIL MIRIP DENGAN KEBENARAN, HINGGA PELAKUNYA TERTIPU DAN SUDAH TIDAK MAMPU LAGI KELUAR DARINYA….

Demikianlah pembahasan ringkas tentang bid’ahnya maulid nabi. Semoga Allah membeikan penerangan dan petunjuk kepada kita semua. Amien.



Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber !! 

TAHLILAN KEMATIAN ADALAH BID'AH MUNKAR

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

TAHLILAN ( SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’  PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM.

Dari Jarir bin Abdullah al Bajalii, ia berkata,” Kami(yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap(yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”

(Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah no.1612 dan Imam Ahmad di Musnadnya, dengan sanad yang shahih)
Atas hadits atau atsar diatas, para ulama Islam telah ijma’ atau sepakat dalam beberapa hal :
Pertama : Mereka ijma atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorangpun ulama yang mendhoifkan hadits ini.
Kedua : Mereka ijma dalam menerima hadits atau atsar dari ijma para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdulloh. Yakni tidak ada seorangpun ulama yang menolak atsar ini.
Ketiga : Mereka ijma dalam mengamalkan hadits atau atsar di atas. Mereka dari jaman shahabat sampai jaman kita sekarang ini, senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah diijmakan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau di rumah ahli mayit yang bias kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Selamatan Kematian atau Tahlilan”.

Hadits atau atsar ini memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi bagi kita, bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan makan makan disitu termasuk bid’ah munkar. Dan bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan upacara yang biasa kita kenal disini dengan nama “Selamatan kematian atau tahlilan” pada hari pertama dan seterusnya.

Hukum diatas berdasarkan ijma para shahabat yang telah memasukan perbutan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram(dosa) bahkan termasuk dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyah.

Fatwa Para Ulama Islam Dan Ijma Mereka Dalam Masalah Ini
Apabila para shahabat telah ijma tentang suatu masalah, seperti masalah yang dibahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan termasuk didalamnya imam yang empat dan seluruh ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan makan-makanan disitu adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan kaum jahiliyah.

Oleh karena itu , agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujah yang kuat, maka dibawah ini diturunkan sejumlah fatwa para ulama dan ijma’ mereka dalam masalah ‘selamatan kematian’:
1. Telah berkata imamnya para ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah, al Imam asy Syafi’I di kitabnya al Um (1/318)
“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan.”
Perkataan Imam kita di atas jelas sekali yang tidak bias dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna yang lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja , bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namai disini dengan tahlilan???

2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah dikitabnya Al Mughni ( juz 3 hal 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki):
“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci(haram). Karena akan menambah (kesusahan) di atas musibah mereka dan menyibukan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbutan orang-orang jahiliyah. Dan telah diriwayatkan bahwasanya Jarir pernah bertamu kerumah Umar. Lalu Umar bertanya ,” Apakah mayit kamu diratapi?” Jawab Jarir, “tidak!” Umar bertanya lagi, “Apakah mereka berkumpul dirumah ahli mayit dan mereka membuat makanan?” Jawab Jarir,” ya!” Berkata Umar, ” Itulah ratapan!

3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Albana dikitabnya Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal (8/95-96):
“Telah sepakat Imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad ) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah haram karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para shahabat telah memasukannya ( yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.

Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziah/melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.

Telah berkata an Nawawi rahimahulloh, ”Adapun duduk duduk(dirumah ahli mayit) dengan alas an untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Syafi’i dan pengarang kitab Muhadzdzab dan kawan kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut).’Kemudian Nawawi menjelaskan lagi,” Telah berkata pengarabg kitab al Muhadzdzab: Dibenci duduk-duduk(ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziah. Karena sesumgguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangannya dari agama), sedangkan muhdats adalah bid’ah.”

Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan,” Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kumpul(ditempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak dimaksudkan kecuali untuk bermegah megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa sifulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakan hartanya untuk tahlilan bapaknya . Semuanya itu adalah haram menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salafus shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam agama(kita).” Kita memohon kepada Alloh keselamatan !”

Diringkas dari : AL MASAA-IL, jilid 2,
Karya : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


MENGENAL SIFAT DUA PULUH DALAM AGAMA ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Berikut ini, kita akan mencoba  membahas tentang sifat duapuluh, di sini kita akan mendiskusikan satu persatu dari 20 sifat yang wajib bagi Allah secara terinci, dengan tidak lupa mengemukakan dali aqli dan dalil nagli bagi masing-masing sifat tersebut. Kemudian kita akan melihat beberapa pesan dan nasihat tentang apa yang harus kita lakukan sebagai seorang Mu'min yang meyakini dengan benar-benar bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifat tersebut. Sehingga dengan demikian akan menjadi sempurnalah iman yang dimiliki oleh Mu'min tersebut sebagai bekal di dunia menuju akhirat kelak.

Adapun tentang sifat-sifat Allah lainnya yang tak terhingga banyaknya, maka kewajiban bagi setiap mukallaf adalah mengetahuinya secara ijmal saja. Yaitu bahwa Allah swt. Itu muttashifun bi kulli kamaal (bersifat dengan segala kesempurnaan). Sedang mengenai sifat-sifat yang mustahil bagi Allah 'Azza wa Jalla, maka hal itu adalah lawan dari duapuluh sifat wajib bagi-Nya. Dan di sini akan diterangkan secara terperinci. Akan halnya sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya secara ijmal, maka hal itu tercakup dalam perkataan yang berbunyi: muanazzahu 'an kulli naqshin wa maa kahthara bil-baal (Allah itu suci dari segala sifat kekurangan (ketidaksempurnaan) dan apa saja yang terlintas dalam hati manusia).

Berikut ini 20 duapuluh sifat yang wajib dan yang mustahil bagi Allah swt, yaitu :

1. Wujud
@@
Wujud berarti ada, maka mustahil Allah itu tidak ada.

Allah swt. berfirman:
@@@@
"Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya". Q.S, As-Sajdah : 4)

Maka sepatutnyalah bagi setiap muslim dan Mu'min yang mempunyai keyakinan yang benar untuk senantiasa ingan kepada Allah pada setiap kali memandang segala sesuatu yang maujud (berwujud) di alam ini.

2. Qidam
@@
Qidam artinya terdahulu (tanpa ada awalnya), maka mustahil didahului oleh 'adam (ketiadaan).
Allah swt. berfirman:
@@@ 
"Dia-lah (Allah) yang Awal dan yang Akhir". Q.S. Al-Hadid : 3

Maksudnya, bahwa Allah itu terdahulu tanpa ada awalnya dan terkemudian tanpa ada akhirnya. Maka sepatunyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah, yang dengan taufik-Nya telah menjadikannya seorang Mu'min dan Muslim.

3. Baqa'
@@@
Baqa' artinya kekal (abdi), maka mustahil dikenai fana' (kebinasaan).
Allah swt. berfirman:
@@@
"Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan". Q.S Ar-Rahman:27

Maka sepatutnya lah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa mengingat mati. Yakni, bahwa pada saatnya nanti maut pasti akan menjemputnya. Sehingga ia pun akan segera bertaubat memohon ampunan kepada Allah dari segala dosanya sebelum ajal tiba.

4. Mukhalafatu lil-Hawadits
@@@
Mukhalafatu lil-Hawadits artinya berlawanan dengan segala sesuatu yang baru, maka mustahil bagi Allah bersamaan dengan segala sesuatu yang baru.
@@@
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia". Q.S Asy-Syu'ara:11
Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk banyak-banyak mengucap tasbih dan pujian kepada Allah, agar ia memperoleh rahmat-Nya

5. Qiyamuhu Binafsihi
@@@
Qiyamuhu Binafsihi artinya berdiri dengan dirinya sendiri, maka mustahil tidak berdiri dengan sendirinya. Dengan kata lain, Allah tidak bergantung atau berhajat kepada yang lain.
Allah swt. berfirman:
@@@
"Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,". (Q.S. Al-Ankabut:6).

Maka sepatutnya bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk menyatakan hajat dan pertolongan kepada Allah. karena ia mengetahui bahwa Allah Mahakaya dari sekalian alam, dan bahwa alam seluruhnya ini Allah semata. 

6. Wahdaniyah 
@@@
Wahdaniyah artinya Esa dzat-Nya, sifat-Nya dan fi'il-Nya maka mustahil Allah itu terbilang dzat, sifat dan fi'il-Nya Allah swt. berfirman: 
@@@
"Katakanlah, 'Dia-lah Allah Yang Mahaesa'". Q.S. Al-Ikhlas: 1

Maka sepatutnya bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinana yang benar untuk melihat dan meyakini bahwa setiap kejadian yang ada di alam itu semuanya merupakan fi'il (perbuatan) Allah semata.

7. Qudrat
@@@

Qudrat itu artinya kuasa, maka mustahil Allah itu tidak kuasa. 
Allah swt. berfirman:
@@@
"Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu". (Q.S. Al-Baqarah: 20)

8. Iradat
@@@
Iradat artinya berkehendak (berkeinginan), maka mustahil Allah bersifat terpaksa.
Allah swt. berfirman:
@@@
"Sesungguhnya Tuhanmu) Maha melaksanakan apa yang ia kehendaki" (Q.S. Hud: 107)

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan bersabar atas setiap bala' dunia.

9. 'Ilmun 
@@@

'Ilmun artinya mengetahui, maka mustahil Allah itu jahil (tidak mengetahui).
Allah swt. berfirman:
@@@

"Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". Q.S. An-Nisa': 176

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk memperbanyak rasa takut melakukan perbutan maksiat kepada Allah, karena tidak ada suatu pun perbuatan yang terluput dari pengetahuan Allah.

10. Hayat
@@@

hayat artinya hidup, maka mustahil Allah itu mati. Allah swt. berfirman:
@@@

"Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (Kekal) yang tidak mati". Q.S. Al-Furqan: 58.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa berserah diri (bertawakal) kepada Allah Yang Hidup dan Yang tidak akan mati.


11. Sam'un
@@@

Sam'un artinya mendengar, maka mustahil Allah itu tuli. Allah swt, berfirman
@@@

"Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Q.S. Al-Baqarah: 256.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa takut (memelihara diri dari) berkata-kata yang haram, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar segala perkataan hamba-Nya.

12. Bashar
@@@

Bashar artinya melihat, maka mustahil Allah itu buta.
Allah swt. berfirman:

"Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan". Q.S. Al-Hujurat: 18

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu.min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa memelihara diri dari setiap perbuatan yang diharamkan, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat setiap perbuatan hamba-Nya.

13. Kalam
@@@

Kalam artinya berbicara, maka mustahil Allah itu gagu. Allah swt. berfirman:
@@@

"Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung". Q.S. An-Nisa': 164

Maka sepatutnyalah bagi setiam Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa berdzikir kepada Allah dengan memperbanyak membaca Al-Qur'an, karena Al-Qur'an adalah Kalamul-Lah.


14. Qadirun
@@@

Qadirun artinya yang kuasa, maka mustahil Allah itu bukan yang kuasa. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Qudrat.


15. Muridun
@@@

Muridun artinya berkehendak, maka mustahil Allah tidak berkendak. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Iradat.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk memperbanyak permohonan (doa) kepada Allah agar dikaruniai kebahagiaan dunia dan akhirat, dan dijauh dari segala bala' dunia dan akhirat.


16. 'Alimun
@@@

'Alimun artinya yang mengetahui, maka mustahil Allah itu tidak mengetahui. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat 'Ilmun.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu.min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa memohon pertolongan kepada Allah dalam setiap keadaan, dan memohon pemeliharaan-Nya dari setiap kejahatan dunia dan akhirat.


17. Hayyun
@@@

Hayyun artinya yang hidup, maka mustahil Allah itu mati. Dalilnya sama dengan yang pada sifat Hayat.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa berserah diri kepada Allah dalam setiap keadaan.

18. Sami'un
@@@

Sami'un artinya yang mendengar, maka mustahil Allah itu tuli. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Sam'un

Maka sepatutnyalah bagi setia Mu'min yang memiliki keyakinana yang benar untuk senantiasa memperbanyak puji dan syukur serta doa kepada Allah Yang Maha Mendengar.


19. Bashirun
@@@

Bashirun artinya yang melihat, maka mustahil Allah itu buta. Dalilnya sama denan yang ada dalam sifat Bashar.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk senantiasa memperbanyak rasa malu melakukan dosa dan kelalaian kepada Allah Yang Maha Melihat.


20. Mutakallimun
@@@

Mutakallimun artinya yang berbicara, maka mustahil Allah itu gagu. Dalilnya sama dengan yang ada dalam sifat Kalam.

Maka sepatutnyalah bagi setiap Mu'min yang memiliki keyakinan yang benar untuk memperbanyak membaca Al-Qur'an dengan khusyu' dan dengan mengkaji dan mempelajari artinya.

Demikian tentang mengenal sifat dua puluh dalam agama Islam, semoga dapat dipahami dan jadi amal yang baik untuk kita semua, semoga juga bermanfaat untuk menambah ilmu dan pengetahuan kita tentang ajaran agama Islam dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt. Terimakasih. Wassallam...

Sumber : dirangkum dari buku Sifat dua Puluh Bahasa Arab Melayu, Al-Habib Usman bin Abdullah bin Yahya

Cari Artikel