INILAH KEUTAMAAN BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA SENDIRI

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Pada suatu hari seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW, ia mengadukan bahwa ayahnya telah mencuri hartanya. Rasulullah kemudian berkata kepadanya, ''Pergilah dan datanglah kemari bersama ayahmu.''

Ketika lelaki tadi pergi, Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah dan bersabda, ''Wahai Muhammad, Tuhanmu mengucapkan salam kepadamu dan berfirman, 'Jika orang tua anak tersebut tiba, maka tanyakanlah apa yang telah dia ucapkan dalam hatinya yang tidak terdengar oleh kedua telinganya'.'' Setelah berkata demikian, Malaikat Jibril pergi. Tidak lama kemudian, lelaki tadi datang bersama ayahnya. Nabi SAW kemudian bertanya kepada ayah lelaki tadi, katanya, ''Mengapa anakmu mengadu bahwa engkau mencuri hartanya?''

''Ya Rasulullah, tanyakanlah kepadanya, harta itu aku dermakan kepada siapa; kepada salah seorang bibinya atau untuk diriku sendiri?'' jawab ayah lelaki tadi. ''Perkenankanlah aku untuk tidak membahas hal ini, tetapi ceritakanlah kepadaku apa yang kau ucapkan dalam hatimu yang tidak didengar oleh kedua telingamu?'' tanya Rasulullah sebagaimana yang diajarkan Malaikat Jibril sebelumnya.

''Demi Allah wahai Rasulullah, Allah selalu membuat kami semakin yakin kepadamu. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hatiku yang tidak didengar oleh kedua telingaku,'' jawabnya.

''Sampaikanlah, aku akan mendengarkannya,'' jawab Nabi SAW.

Tidak diduga, ternyata ayah lelaki tadi kemudian membacakan sebuah syair yang bagus yang ditujukan kepada sang anak buah hatinya:

Ketika engkau lahir, aku memberimu makan
Dan ketika engkau tumbuh dewasa, aku selalu menjagamu
Engkau diberi minum dari jerih payahku
Jika malam hari engkau sakit
Maka, sepanjang malam aku tidak tidur
Bergadang memikirkan penyakitmu
hingga tubuhku sempoyongan karena kantuk
Seakan-akan aku yang sakit, bukan kau
Air mataku pun mengalir deras
Dan jiwaku khawatir kau akan mati
Padahal Dia tahu bahwa ajal akan tiba sesuai waktunya
Saat engkau mencapai usia yang tepat
Saat di mana kuharapkan dirimu
Kau balas diriku dengan kekejaman dan kekasaran
Seakan-akan engkau pemberi nikmat
Dan yang dermawan
Andai saja ketika tak dapat kaupenuhi hakku sebagai ayah
Kau perlakukan aku sebagai tetangga
Yang hidup berdampingan

Mendengar syair yang dibacakan ayah lelaki tadi, tidak terasa Rasulullah pun meneteskan air mata dan berkata kepada anak tersebut, ''Dirimu dan hartamu adalah milik ayahmu.''

Laki-laki itu pun tertunduk lesu dan merasa malu. Ia kini menyadari betapa besar curahan kasih sayang orang tuanya kepada dirinya. Karena kesadarannya telah terbuka, maka hartanya itu diikhlaskan kepada ayahnya. Dan, lelaki beserta orang tuanya pun akhirnya minta izin pergi meninggalkan Nabi SAW dengan perasaan damai.

* * *

ALASAN DAN PENTINGNYA PUNYA HAFALAN AL-QUR'AN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Inilah alasan mengapa kita di haruskan membaca dan menghapal Al-Qur'an terutama dengan men-tikror yaitu:

1. Agar menjadi ahlinya Allah dan manusia pilihan-Nya (Ahlullah Wa Khash-shotuhu)

2.  Agar kita mempunyai wirid Al-Qur'an, sebab sebaik-baiknya dzikir adalah bacaan Al-Qur,an

3. Agar tidak kosong dan diisi oleh desakan nafsu dan bisikan setan

4. Agar mendapatkan syafaat Al-Qur'an dan mendapatkan kenaikan derajat di surga.

Adapun cara menghapal Al-Qur'an itu yang benar adalah bukan dengan menghapalkan Buta Al-Qur'an, tetapi dengan cara Men-Tikror.

Apakah itu Tikror?, Tikror adalah membaca secara berulang-ulang isi dari Al-Qur'an. Jadi Al-Qur'an bukan hanya di hapal, tetapi di baca berulang-ulang.

Masih Ingat Bagaimana orang-orang tua jaman dahulu bisa cepat dan hapal Surat-surat Al-Qur'an, terutama Surat Yaasin? Itu karena mereka rutin membacanya.

Ini sesuai dengan apa yang di Sampaikah Nabi:

Artinya :

"Ta'aahadu L-Qur'aana berarti bacalah Al-Qur'an berulang-ulang, karena ia lebih mudah terlepas dari dada manusia ketimbang terlepasnya onta dari ikatannya," (Dari Abdullah bin mas'ud dalam Musnad Ahmad bin Hambal).



KONTROVERSI MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN LANGGAM JAWA

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Wakil Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen mengungkapkan membaca Alquran dengan menggunakan langgam Jawa di Istana Negara, telah mempermalukan Indonesia di kancah internasional. Tengku merasa banyak kesalahan, baik dari segi tajwid, fashohah, dan lagunya.

Menurutnya, pembacaan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan langgam Jawa adalah hal konyol. Dalam Alquran sudah dijelaskan kitab suci itu diturunkan dengan huruf dan bahasa Arab asli.

Jadi membacanya juga mesti sesuai pada saat Alquran diturunkan ke bumi. "Ibadah itu sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Dalam Alquran dijelaskan bahwa Alquran itu diturunkan dalam lisan Arab asli. Nabi juga mengatakan Alquran untuk dialek Quraisy, jadi membacanya harus dengan cara bagaimana Alquran itu diturunkan," papar Tengku seperti dikutip Republika, Ahad (17/5).

Selain itu, Tengku menambahkan, lagu untuk pembacaan Alquran sendiri sudah disepakati para Qurra yang ada di dunia. "Lagunya yang sudah disepakati para Qurra' tingkat dunia adalah lagu standar yang selama ini ada yakni husaini bayati, hijaz, shoba, nahqand, rast, sikkah, jaharkah atau Ajami," tuturnya.

Dia juga menilai akan lahir keanehan jika Alquran dibaca dengan menggunakan langgam tertentu seperti lagu Cina, Batak, seriosa, Indian, Jawa, Sunda, dan lainnya. "Hal itu tentu akan merusak keindahan Alquran sendiri. Bayangkan lah jika lagu Jawa dinyanyikan pakai cara seriosa, maka penciptanya akan protes dan keindahannya hilang," ucap Tengku.

Sebelumnya diberitakan dalam sebuah acara di Istana Negara yang dihadiri Presiden Jokowi, jajaran menteri dan perwakilan negara sahabat, dilantunkan pembacaan ayat suci Alquran dengan langgam Jawa.

http://www.islamedia.co/

DAFTAR SITUS WEB-BLOG YANG MENGHUJAT ISLAM DAN NABI MUHAMMAD

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Ada beberapa situs dan blog yang terang-terangan menghujat dan menghinakan Islam dan nabi Muhammad SAW, seperti situs-situs dan blog berikut ini:

Blog dan situs yang menghina, menghujat dan merendahkan Islam dan Nabi Muhammad SAW

http://swaranonmuslim.blogspot.com/2008/08/tragedy-mei-bikin-saya-murtad_4808.html

https://nabimuhamad.wordpress.com/


http://issuu.com/islamexpose/docs/alkitab_sudah_bicara_akan_hancurnya?e=0/11486538

INILAH HUKUM MEMAKAI JAM TANGAN DI TANGAN KANAN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : " Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, ada dalilnya ?"

Jawaban
Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam hadits Aisyah di dalam Ash-Shahih, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai menggunakan (mendahulukan) kanan dalam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap urusan

Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam Ash-Shahih, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu berbedalah dengan mereka, dengan cara menyemir rambut kalian”.

Juga hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan musyrikin.
Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.
Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya bagi kita untuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.

Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syari’at untuk menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan [1], dan juga kaidah umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.

[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
_________
Foote Note
[1]. Yaitu di dalam hal-hal yang baik dan mulia, sebagai pemuliaan anggota tubuh bagian kanan

Coutrtesy of almanhaj.or.id
Sumber | republished by (YM) Yes Muslim ! 

DAFTAR ISI

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PENGERTIAN IJTIHAD

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtihaada-yajtahidu-ijtahada yang berarti:”bersungguh-sungguh, rajin, giat”.

Kemudian dikalangan ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum syari’at. Jadi, dengan demikian, ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Secara terminologi, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama), kenyataan menunjukkan bahwa ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup aqidah, mu’amalah, politik, tasawuf dan falsafat.

Adapun Ijtihad menurut para ulama:
a. Menurut Ibnu Hajib 

Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’ah.
b. Menurut Dr.Wahbah Az-Zuahily 

Beliau menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistimbatkan hukum - hukum syara’ dari dalil-dalilnya secara rinci.
c. Menurut imam Al-Ghazali

Bahwa ijtihad lebih umum dari qiyas karena kadang kadang ijtihad melakukan penalaran yang mendalam terhadap lafadz yang umum dan dalil-dalil selain qiyas.

Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan:

Artinya:
“Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dalam sunnah”.


2. Hukum Ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari bahwa hukum jtihad itu dapat dikelompokan menjadi:
a.  Wajib ‘ain, yaitu bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.  Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyatakan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka  kewajiban mujtahid  yang lain telah gugur. Artinya ijtihad satu orang telah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.  Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.


3.  Peranan ijtihad
Banyaknya masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karenanya, islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyaknya Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain:
Firman Allah swt:



Artinya:
“Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS. An-Nisa:105).

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw menyatakan:

Artinya:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun  bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.

ijtihad sebagai mana yang telah dijelaskan diatas mempuyai peranan yang sangat penting dalam penetapan hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukum dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya. Seperti tentang niat sholat, bahwa para ulam sepakat bahwa sholat tanpa niat tidak sah.


4.  Syarat-syarat Bagi Mujtahid
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu syarat-syarat umum, khusus dan pelengkap.

a.  Syarat umum
1)      Balig
2)      Berakal sehat
3)      Memahami masalah
4)      Beriman

b.  Syarat khusus
1)      Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang behubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul, musyatarak, dan sebagainya.
2)      Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbab al-wurud, dan dapat mengemukakan hadis-hadis dari berbagai kitab hadis seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan lain-lain.
3)      Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akherat.
4)      Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah yaitu kaidah-kaidah yang dinisbatkan dari dalil-dalil syara’.
5)      Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
6)      Mengetahui ilmu ushul fiqh, yang meliputi dalil-dalil syara’ dan cara-cara mengistinbatkan hukum.
7)      Mengetahui ilmu mantiq.
8)      Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyah (semacam praduga tak bersalah, praduga mubah dan sebagainya).
9)      Mengetahui soal-soal ijma’,  sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.

c.       Syarat-syarat pelengkap
1)      Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’i yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2)      Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
3)      Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.

5.  Tingkat-tingkat Mujtahid
Tingkat ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkat mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi:
a.       Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mijtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apapun. Bahkan justru dia menjadi pendiri madzhab, seperti Iman Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad bin Hambal. Nama lain bagi mujtahid ini adalah mujtahid fard (perorangan).
b.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut.
c.       Mujtahid Fil Madzahib, yaitu mujtahid yang dalam ijtihad mengikuti kaidah yang digunakan oleh imam madzhabnya, dan ia juga mengikuti imam madzhab dalam masalah furu’. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh imam madzhabnya, terkadang ia melakukan ijtihadnya sendiri.
d.      Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat pendapat imam-imam madzhabnya.

6.  Kedudukan Ijtihad
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahn pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terdapat dua golongan yaitu:
a.  Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt, tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan.
b.  Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum.


B. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah,yang dimaksud dengan ijma’ adalah:

Artinya:
“kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. Setelah beliau wafat, pada  suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu”.

Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatn orang-orang yang semasa Nabi. Tidaklah disebut ijma’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat senagai ijma’. Namun pendapat jumhur  ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lain.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Semua mujtahid  dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma’) menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam. Contoh lain ialah tentang pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu:
a.       Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dilakukan para mujtahid yang dilakukan salah dalam suatu masalah.
b.      Dengan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.
c.       Dengan diam ( sukut), yaitu apabila tidak ada di antara mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.

2.      Macam-macam ijma’
Dilihat dari sikap para mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya, ijma terbagi dua, yaitu:
a.       Ijma’ sharih, yaitu: apabila semua mujtahid menyatakan persetujuannya atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun tulisan.
b.      Ijma’ Syukuti. Yaitu: apabila sebagian mujtahid yang memutuskan hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan, melainkan mereka hanya diam.

Jumhur ulam a berpendapat bahwa ijma’ yang dijadikan landasan hukum adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak.
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma’ dibagi dalam beberapa macam:
1)      Ijma’ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu.
2)      Ijma’ Shahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
3)      Ijma’ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama madinah dalam suatu masalah.
4)      Ijma’ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulam-ulama Kufah dalam suatu masalah.
5)      Ijma’ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsaman, dan Ali) dalam suatu masalah.
6)      Ijma’ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khathab dalam suatu masalah.
7)      Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (keluarga Rasul)


3.  Kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny. Golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’  ini sebagi hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum. Baik ijma’ qathiy maupun zhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’iy dalam menetepkan hukum.
Dalil penetapan ijma’ sebagai sumber hukum  Islam ini antara lain: Firman Allah swt:


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’ 59)

Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan ulil amri, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Hukum yamg disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat Islam, karenanya pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid.
Ijma’ ini menepati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, yaitu setelah Al-Qur’an dan As-sunah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-sunah tidak ada atau kurang jelas hukum.


4.  Sebab-sebab dilakukan ijma’
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah:
a.       Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, semantara di dalam nash Al-Qur’an dan As-sunah tidak ditemukan hukunya.
b.      Karena nash baik yang berupa Al-Qur’an  maupun As-sunah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
c.       Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.      Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.


5.  Contoh-contoh ijma’
a. Dikumpulakan dan dibukukannya nash Al-Qur’an sejak masa pemerintahan Abu Bakar Ash-shiddiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Qur’an berasal dari Umar bin Khathab  tapi kemudian Abu Bakar Ash_Shiddiq mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karana hal itu tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw. Tetapi akhirnya para ulama menyepakati untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an.
b. Penetapan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal harus disepakati oleh para ulama di negerinya masing-masing berdasarkan ru’yatul hilal.
c.  Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucu jika tidak terhijab. Ketetapan hukum ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dan tidak ada yang membantahnya.

MENGENAL ILMU PIQIH DALAM ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

A. Pengertian Ilmu Fiqih

Fiqih menurut bahasa bermakna : tahu dan paham, sedangkan menurut istilah, banyak ahli fiqih (fuqoha’) mendefinisikan berbeda-beda tetapi mempuyai tujuan yang sama diantaranya:
Ulma’ Hanafi mendifinisikan fiqih adalah :
عِلْمٌ يُبَيِّنُ اْلحُقُوْقَ وَاْلوَاجِبَآتِ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ اْلمُكَلَّفِيْنَ
“Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan amalan para mukalaf”.

Sedangkan menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih (ilmu fiqih) itu ialah :
العِلْمُ الَّذِي يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ اْلمُكَلَّفِيْنَ اْلمُسْتَنْبِظَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَّفْصِيْلِيَّةِ
“ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari  dalil-dalil yang jelas (tafshili)”.

Sedangkan Jalalul Mahali mendifinisikan fiqih sebagai :
الأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ العَمَلِيَّةُ المُكْتَسِبَةُ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَفْصِيْلِيَّةِ
“ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan memperolehnya dari dalil yang jelas (tafshili)”.

Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf pengertian fiqih adalah :
“pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam memngenahi perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci”.

Jadi dapat disimpulkan dari difinisi-definisi di atas, fiqih adalah : ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam.

Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan/ membahas/ memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Dengan demikian berarti bahwa fiqih itu merupakan formulasi dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).


B.Objek Kajian Fiqih

Hukum yang diatur dalam fiqih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Meskipun ada perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang sama.

Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik (bab-bab) kajian fiqih. Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqih secara awam, objek pembahasan fiqih itu adalah empat, yang sering disebut Rubu diantaranya:
1) Rubu’ ibadat;
2) Rubu' muamala;
3) Rubu’ munakaha, dan
4) Rubu’jinayat.

Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) objek kajian:

a) Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini:
1)Tharah (bersuci);
2)Ibadah (sembahyang);
3)Shiyam (puasa);
4)Zakat;
5)Haji, dan lain-lain.

b) Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan:
1)Nikah;
2)Khitbah;
3)Mu’asyarah;
4)Talak;
5)Fasakh, dan lain-lain.

c) Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:
1)Buyu’ (jual-beli);
2)Khiyar;
3)Riba’;
4)Sewa- menyewa;
5)Pinjam meminjam;
6)Waqaf, dan lain-lain.
*Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah, tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.

d) Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi;
1)Status milik bersama baitul mal;
2)Sumber baitul mal;
3)Cara pengelolaan baitul mal, dan lain-lain.

e) Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukum)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqih ada yang menyebut jinayah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi;
1)Pelanggaran;
2)Qishash;
3)Diyat;
4)Hukum pelanggaran, kejahatan, dan lain-lain.

f) Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:
1)Peradilan dan pendidikan;
2)Hakim dan Qadi;
3)Gugatan;
4)Pembuktian dakwah;
5)Saksi, dan lain-lain.

g) Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1)Kepala Negara dan waliyul amri;
2)Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3)Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4)Hak dan kewajiban rakyat;
5)Musyawarah dan demokrasi;
6)Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.

h) Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi;
1)Hubungan antar negara, sesama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2)Ketentuan untuk orang dan damai;
3)Penyerbuan;
4)Masalah tawanan;
5)Upeti, Pajak, rampasan;
6)Perjanjian dan pernyataan bersama;
7)Perlindungan;
8)Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9)Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya objek kajian fiqih. dapatlah kita bayangkan seluas apa pula ruang lingkup pengajaran agama.

C.Tujuan fiqih

tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukun syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukhallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia. juga mengenalkan kepada mikallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya.
Dengan ilmu fiqih, kita dapat mengetahui bagaimana kita menyelenggarakan nikah, talak, bagaimana memelihara jiwa, harta dan kehormatan, tegasnya menetahui hukum-hukum yang harus berlaku dalam masyarakat umum.

* * *

Cari Artikel