KENALI DAN WASPADAI ALIRAN KEBATINAN DI SEKITAR KITA !

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

DEFINISI KEBATINAN

Secara kebahasaan, Batin bermakna bagian dalam, samar dan tersembunyi

Secara istilah, batiniyah bermakna kelompok yang mengaku bahwa zhawahir (makna-makna terang) al-Qur’an dan hadits memiliki makna batin (tersembunyi), tak obahnya kulit dengan sari patinya, yang dapat dipahami oleh orang-orang tertentu, bukan oleh orang-orang awam.

LAHIRNYA ALIRAN KEBATINAN

Dalam sejarah, aliran kebatinan lahir pada masa-masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/dan tersebar luas pada masa Khalifah al-Mu’tashim

Aliran kebatinan didirikan oleh beberapa orang, antara lain:

1. Maimun bin Daishan (al-Qaddah)

2. Muhammad bin al-Husain (Dandan)

3. Hamdan Qirmith

VISI DAN MISI ALIRAN KEBATINAN

1. Mengembalikan kejayaan agama Majusi

2. Mengembalikan kejayaan Persia/Iran

3. Menghancurkan Islam dari dalam

4. Meraup keuntungan materi dari pengikutnya

5. Memenuhi kebutuhan biologis

KEBATINAN MASUK DALAM ISLAM MELALUI DUA PINTU

1. Melalui Aliran Syi’ah (Rafidhah) dengan propaganda membela Ahlul Bait yang telah dizhalimi oleh penguasa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah serta mengembalikan kekuasaan politik ke tangan Ahlul Bait

2. Menyusup melalui ajaran Tashawuf dengan mengubah paradigma bahwa orang yang telah mencapai tingkat ma’rifat dan kesucian tertentu tidak berkewajiban mengamalkan ajaran syari’at, tetapi cukup dengan mendalami ilmu hakikat

PADAHAL Menurut ajaran tashawuf yang sebenarnya tidaklah seperti itu.  Seorang ulama’ ahli tasawwuf seperti Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengatakan Syariat tanpa Hakikat adalah hampa (sia-sia), Hakikat tanpa Syariat adalah batal sedangkan pelaksanaan dalam bentuk amal dan ibadah adalah Thoriqot.

SEJARAH UMAT ISLAM NUSANTARA

Pada masa-masa yang silam kaum Muslimin wilayah Nusantara mengikuti madzhab Imam al-Syafi’i dalam bidang amaliyah (fiqih), madzhab Al-Asy’ari dalam ideologi (akidah) serta madzhab Al-Imam Al-Ghazali dan al-Imam Abu al-Hasan al-Syadzili dalam tashawuf.

MEREBAKNYA BERBAGAI ALIRAN DI NUSANTARA

Pada tahun 1330 H merebaklah berbagai aliran dan golongan di wilayah nusantara seperti Wahhabi, Syiah, Kebatinan (Ibahiyyun atau libertinisme), inkarnasi dan manunggaling kawulo gusti.

MEREBAKNYA KEBATINAN DI INDONESIA

Di antara aliran yang berkembang sejak tahun 1330 H di Nusantara adalah Ibahiyyun (Libertinisme, Liberalisme dan serba boleh).

MENURUT ALIRAN INI, orang yang telah mencapai maqam mahabbab (cinta kepada Allah) dan mendapat kesucian hati, tidak perlu mengamalkan syari’at, tetapi cukup dengan hakikat.

AJARAN KEBATINAN

    Mencintai Allah dengan sepenuh hati
    Mensucikan hati dari ghaflah (lalai kepada Allah).
    Memilih iman dari pada kufur
    Apabila 3 kewajiban di atas telah dicapai, maka ia TIDAK WAJIB melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama dan Allah tidak akan memasukkannya ke neraka sebab melakukan dosa besar.
    Ia TIDAK WAJIB MELAKUKAN IBADAH-IBADAH ZHAHIR, tetapi cukup merenung (tafakkur) dan memperbaiki akhlaq hati.

MODUS PENYEBARAN KEBATINAN

1. PENYEBARAN ISU BAHWA DIRINYA SEORANG WALI ALLAH yang telah mencapai ma’rifat

2. Melayani PENGOBATAN ALTERNATIF

3. Melayani KONSULTASI KESULITAN ekonomi, sosial, politik dan lain-lain

4. MENYEBARKAN ISU DAN MENAMPAKKAN BAHWA DIRINYA MENGETAHUI PERKARA GHAIB

5. MENYEBARKAN ISU MEMILIKI KAROMAH seperti halnya para wali Allah

6. MEREMEHKAN PARA KIAI DAN ULAMA yang konsisten dengan ajaran syari’at

KIAT AGAR TIDAK TERTIPU AJARAN KEBATINAN

1. MENGUKUR PERBUATAN SESEORANG DENGAN AJARAN SYARA’ (jangan percaya jika seseorang mengakui seorang wali atau punya karomah atau bisa menerawang masa depan tapi enggan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).

Apabila Anda melihat seseorang terbang di udara, berjalan di atas air dan mengetahui hal-hal yang ghaib, tetapi ia menyalahi syara’ dengan melakukan larangan dan meninggalkan kewajiban tanpa ada uzur, maka dia sebenarnya adalah jenis syetan manusia yang dibuat oleh Allah sebagai fitnah bagi orang-orang awam.

2. MENGETAHUI TANDA-TANDA WALI ALLAH

Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashfihani berkata: “Sesungguhnya para wali Allah itu memilii sifat-sifat yang jelas dan tanda-tanda yang terang”. Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, juz 1 hal. 5.

TANDA-TANDA WALI ALLAH

    Disukai dan ditaati oleh orang-orang yang berakal dan orang-orang shaleh.

Rasulullah SAW: “Sesungguhnya ada hamba-hamba Allah, sekelompok manusia, bukan nabi dan bukan syuhada’, tetapi derajat mereka di akhirat menjadi perhatian para nabi dan syuhada’”. Seorang laki-laki bertanya: “Siapa mereka dan apa amal mereka?” Mereka adalah Wali Allah “Ingatlah sesungguh wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yg beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus 62)

2. Dapat membawa orang lain untuk mengingat Allah secara sempurna dan menjadi lebih baik.

Rasulullah saw ditanya: “Siapakah wali Allah itu?” Beliau menjawab: “Wali Allah adalah orang-orang, yang apabila orang lain melihat mereka, maka akan ingat kepada Allah SWT.”

Rasulullah saw telah menunjukkan sifat wali Allah, “Orang-orang apabila dilihat, maka orang yang melihat akan mengingat Allah SWT.” Maksudnya, apabila seorag Mukmin melihat wali Allah, maka orang tersebut akan mengagungkan Allah dan mengingat dosa-dosanya.

3. Pakaian dan makanannya sangat sederhana, tetapi doa-doanya selalu dikabulkan oleh Allah SWT

BAHAYANYA ALIRAN KEBATINAN MENURUT PARA ULAMA

*)Seorang laki-laki berkata kepada al-Junaid al-Baghdadi, “Orang yang ma’rifat kepada Allah akan mencapai maqam tidak bergerak (tidak melaksanakan kewajiban) untk mendekatkan diri kepada Allah.” Al-Junaid menjawab: “Mencuri dan berzina masih lebih baik dari pada berkata seperti itu.”

*)Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata: “Kebatinan lebih berbahaya bagi umat Islam daripada golongan Yahudi, Nasrani dan Majusi, lebih berbahaya daripada ateisme dan seluruh golongan kafir lainnya, bahkan lebih berbahaya daripada Dajjal di akhir zaman.”

*)Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Jauzi: “Aliran kebatinan itu, luarnya syiah (rafidhah), sedangkan isinya adalah kekafiran.”

*)Imam al-Zabidi dalam Syarh Ihya’ dan KH. Hasyim Asy’ari, “Kebatinan itu adalah kekufuran, kezindiqan dan kesesatan.”

والله أعلم بالصواب

Demikian, semoga bermanfa’at dan dapat membuat qt lebih bijaksana serta waspada agar tidak terperangkap pada jerat-jerat berbagai paham dan aliran yang berpotensi menggerogoti nilai keislaman itu sendiri baik Wahabi, HTI, aliran kebatinan dan lain-lain. Dan yang pasti, penulisan ini tidak ada maksud untuk memojokkan atau mendiskriminasi kelompok tertentu, namun semata-mata tujuannya ialah lebih memantapkan kita sebagai umat islam terhadap akidahnya sendiri. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita serta melindungi kita dari aliran/faham yang bisa merusak aqidah serta menyimpang dari nilai keislaman itu sendiri, aamiin,,,

Allahumma sallimna, wa sallim talamidzana wa sallim ikhwanina min afatiddunya wal akhiroh wa fitnatihima innaka ‘ala kulli syai_in qodir

Ya Muqollibal Qulub, tsabbit qolbana, qolba talamidzana, qolba ikhwanina ‘ala dinil islam wal iman wa ‘ala tho’atik wa min ahlus sunnah wal jama’ah,,, Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin,,

Wallahul Muwaffiq ila Aqwam Al-Thariq……

HUKUM MENGUCAPKAN KALIMAT INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Kalimat Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un atau sering disebut dengan kalimat istirja’ biasa digunakan jika seseorang mendapatkan suatu musibah dari Allah swt 

Juga sabda Rasulullah saw,”Hendaklah kalian mengucapkan istirja’ terhadap segala sesuatu bahkan terhadap tali sandal yang putus karena ini termasuk juga musibah.” (HR. al Bazzar) 

Jadi ucapan istirja’ (Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un) ini adalah diucapkan terhadap segala musibah yang menimpa seseorang termasuk didalamnya adalah musibah kematian baik yang meninggal itu adalah seorang muslim ataupun non muslim. Akan tetapi tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk memohonkan ampunan atau mendoakan orang kafir yang sudah meninggal dunia.

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Innalillaahi wa inna ilayhi raaji’uun atau (“Kita ini milik Allah, dan kepadaNya kita kembali”)
“kita ini milik Allaah”
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa Allah berhak memerintah dan melarang kita; baik kita suka maupun tidak suka.
Maka orang yang mengetahui ucapan ini, seharusnya akan ridha dengan perintah dan laranganNya; tidak mengingkarinya, tidak pula “mencari jalan tengah” yaitu dengan memadukannya dengan hawa nafsunya, agar perintah dan larangan tersebut disesuaikan dengan hawa nafsunya.
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa kita harus bersabar dalam meninggalkan apa-apa yang dilarangNya.
Maka setelah kita tahu konsekuensi akan hal ini, maka seseorang akan termotivasi untuk tahu segala apa yang dilarangNya, tentu dengan MENUNTUT ILMU. Ia akan mencari tahu larangan-laranganNya agar ia tidak terjerumus kedalamnya sedangkan ia tidak sadar; dan setelah kita tahu, maka ia akan menghindari dan meninggalkannya; dan tetap bersabar dalam meninggalkannya.
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa kita harus besabar dalam mengerjakan apa-apa yang di-wajibkanNya.
Demikian pula sebagaimana hal diatas… Pengucapnya yang mengetahui hal ini, maka akan termotivasi untuk mencari tahu segala kewajiban yang wajib ia tunaikan, tentunya dengan MENUNTUT ILMU. Agar ia dapat tahu kewajiban apa yang harus ia laksanakan, dan agar ia tidak meninggalkan kewajiban tanpa sepengetahuan kita. Setelah ia tahu tentangnya, maka ia mengerjakannya, dan bersabar untuk tetap mengerjakannya.
– Ketika kita mengakui bahwa kita adalah milikNya, maka hendaknya kita sadar, bahwa diri kita, demikian pula harta kita dan keluarga kita (orang tua, saudara/i, serta istri dan anak) juga adalah milikNya.
Maka pengucapnya harusnya dapat mendatangkan ridha dengan segala ketetapanNya atas diri, harta dan keluarganya.
Ketahuilah… apapun yang ditetapkanNya, adalah kebaikan (dengan segala hikmah dibaliknya); meskipun kita memandangnya “buruk”.
Ketahuilah Allah Maha Tahu, jadi jangan kita merasa lebih tahu daripada Allah. Ketahuilah Allah Maha Bijaksana, jadi jangan kita merasa lebih bijaksana dari Allah.
Dan ketahuilah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu; sedangkan kita tidak memiliki kekuasaan atas apa yang menjadi milikNya, termasuk pula diri kita, kita ini milikNya. Maka hendaknya kita bertawakkal kepadaNya, ridha serta sabar dengan ketetapanNya.
Demikian pula, ketika kita mendapatkan nikmat; ketahuilah bahwa nikmat ini bukan dari usaha kita sendiri, tapi dari pertolongan Allah; dan juga ini semua adalah dariNya; maka ini semua pada hakekatnya adalah milikNya. Maka janganlah kita merasa bahwa ini adalah semata-mata usaha kita, atau merasa harta ini adalah hanyalah milik kita semata (melupakan sang pemilik sebenarnya); sehingga kita lupa untuk menyisihkan sebagian dari kenikmatan yang sudah Dia berikan kepada kita di jalanNya… Kalaupun memang membelanjakannya, maka hendaknya paling tidak kita hanya membelanjakannya dalam hal-hal yang diridhaiNya saja, bukan untuk memaksiatiNya.
“…dan kepadaNya kita kembali”
Maka ketahuilah:
Jika kita tidak mau mengikuti perintah/larangan Allah, atau/dan tidak ridha dengan ketetapanNya; maka ketahuilah kepadaNya-lah kita kembali; Dialah yang akan membalas perbuatan kita tersebut; sudah disediakanNya adzab ketika sakratul mawt, adzab kubur, adzab ketika hari hisab, serta adzab neraka yang amat pedih bagi hambaNya yang menyombongkan diri kepadaNya.
Sebaliknya, jika kita taat kepadaNya, kita berusaha mencari tahu perintah dan laranganNya, kemudian kita taat kepadaNya (dengan menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya), dan tetap bersabar untuk taat kepadaNya hingga wafat; maka Allah menjanjikan untuknya kebaikan-kebaikan; Dia telah menjanjikan kepada kita, kemudahan ketika nyawa kita diambilNya, nikmat kubur, dimudahkan ketika hisab (bahkan kita bisa termasuk orang yang diselamatkan dari hisab dan adzab dihari hisab), dan dimasukkan kedalam surgaNya; sebagai balasan atas orang-orang yang bertaqwa kepadaNya.
Demikian pula, dia telah menyediakan pahala tanpa batas kepada hamba-hambaNya yang sabar atas segala ketetapanNya, dan juga dia telah menjanjikan pahala yang melimpah terhadap hamba-hambaNya yang bersyukur kepadaNya. Sebaliknya, barangsiapa yang murka kepada ketetapanNya, maka Dia Murka terhadap orang tersebut!
Demikian pula barangsiapa yang diberikanNya nikmat, maka Dia adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri… Dia telah menyediakan berbagai balasan yang baik bagi hamba-hambaNya yang bersyukur. Dengan apa hambaNya bersyukur? (Dengan beriman kepadaNya, mentauhidkanNya, berpegang teguh diatas ketaatan serta menjauhi segala kemungkaran baik itu kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, maupun kemaksiatan). Sebaliknya, Dia akan mengancam orang yang kufur atas nikmatNya yang mempergunakan nikmatNya (nikmat hidup, sehat, serta berbagai nikmat lain) dalam rangka kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan.
Sumber: https://abuzuhriy.wordpress.com/2012/12/20/merenungi-ucapan-istirja-inna-lillahi-wa-inna-ilaihi-rajiun/

Cari Artikel