KAIDAH-KAIDAH IBADAH YANG BENAR
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
Sesungguhnya, kemuliaan seorang hamba, ialah dengan beribadah kepada
Allah semata, tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Jika seorang
hamba semakin menambah ketundukan dan peribadahannya kepada Allah, maka
semakin bertambah pula kesempurnaan dan derajatnya.
Ibadah adalah hak Allah yang menjadi kewajiban hamba. Kebaikannya
akan kembali kepada hamba itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah tidak
membutuhkan hambaNya.
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah
untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam (seluruh makhluk). [al ‘Ankabut/29
: 6].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau
tentang ayat ini: “Yaitu, barangsiapa melakukan amal shalih, maka
sesungguhnya manfaat amal shalihnya akan kembali kepada dirinya sendiri,
karena sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Cukup (yakni tidak membutuhkan)
dari perbuatan-perbuatan hamba. Walaupun mereka semua berada pada hati
hambaNya yang paling bertakwa, hal itu tidaklah menambah sesuatupun
dalam karajaanNya”[1].
Walaupun manusia dengan akalnya dapat memahami mengenai kewajiban
beribadah kepada Rabb-nya, namun dia tidak mungkin mengetahui cara
beribadah kepada Allah secara benar hanya dengan melandaskan pada akal
dan perasaannya. Sehingga Allah mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan
kitab-kitabNya untuk memberikan petunjukNya.
Allah berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
… Maka jika datang kepada kamu (manusia) petunjuk dariKu, lalu
barangsiapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka. [Thaha/20 : 123].
Adapun sebelum diutus rasul dan tanpa petunjuk Rasul, maka manusia
itu di dalam keadaan jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[al Jumu’ah/62 : 2].
KAIDAH-KAIDAH IBADAH
Ibadah yang benar kepada Allah dibangun di atas dasar-dasar atau
kaidah-kaidah yang kokoh. Ini semua dijelaskan oleh Allah di dalam
kitabNya, dan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
Sunnahnya, serta oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
1. Ibadah adalah tauqifiyah.
Maknanya, ibadah tidak dilakukan kecuali dengan apa yang diperintahkan
atau dituntunkan wahyu Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya akal
semata-mata tidak dapat menjangkau perincian masalah ibadah, masalah
halal-haram, dan masalah-masalah yang dibenci atau dicintai oleh Allah
Ta’ala.
Allah berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. [Hud/11:112].
Ayat ini dengan tegas menyatakan, beribadah harus mengikuti perintah
Allah dan tidak boleh melewati batas. Tatkala orang-orang musyrik
mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya,
maka Allah membantah mereka dengan firmanNya:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَٰذَا ۚ فَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ
بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka
siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [al
An’am/6:144]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir beliau:
“(Firman Allah: Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini
bagimu?”) Allah mengejek orang-orang musyrik tentang perkara yang mereka
buat-buat dan mereka adakan secara dusta atas (nama) Allah, yaitu
pengharaman yang mereka lakukan. (Firman Allah: Maka siapakah yang lebih
zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah
untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?), yaitu tidak ada
seorangpun yang lebih zhalim daripada mereka.” [2]
Setelah menjelaskan ayat-ayat tentang batilnya anggapan orang-orang
musyrik yang mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan
sebagian lainnya dengan tanpa hujjah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as
Sa’di rahimahullah berkata: “Tidak tersisa bagi kamu kecuali dakwaan
semata, tidak ada jalan bagi kamu untuk menetapkan kebenarannya dan
keabsahannya. Dakwaan itu adalah bahwa kamu mengatakan: ‘Sesungguhnya
Allah telah mewasiatkan kami tentang ini, dan Allah telah memberikan
wahyu kepada kami sebagaimana Dia telah memberikan wahyu kepada para
rasulNya. Bahkan telah diwahyukan kepada kami sebuah wahyu yang berbeda
dengan apa yang diserukan oleh para rasul dan apa yang diturunkan
kitab-kitab’. Tetapi kedustaan tersebut pastilah diketahui oleh setiap
orang. Oleh karena itulah Allah berfirman: ‘Maka siapakah yang lebih
zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?’ Yaitu, bersamaan kedustaannya
dan berdusta (atas nama Allah), dia berniat menyesatkan hamba-hamba
Allah dari jalan Allah, dengan tanpa bukti dari Allah, tanpa penjelasan,
tanpa akal, dan tanpa riwayat (dari Rasul)”.[3]
Setelah menyebutkan ayat 59 dan 60 surat Yunus, juga ayat 116 dan 117
surat an Nahl, Syaikh Muhamad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata: Sesungguhnya termasuk kejahatan yang besar, yaitu :
1. Seseorang mengatakan tentang sesuatu itu halal, padahal dia tidak
mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.
2. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu haram, padahal dia
tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.
3. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu wajib, padahal dia
tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.
4. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu tidak wajib, padahal
dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.
Demikian ini merupakan kejahatan dan adab yang buruk terhadap Allah
Azza wa Jalla. Wahai hamba Allah, engkau mengetahui bahwa hukum adalah
milik Allah, tetapi bagaimana kemudian engkau mendahuluiNya? Engkau
berkata tentang sesuatu yang tidak engkau ketahui tentang agama dan
syari’atNya? Sesungguhnya Allah telah merangkaikan (larangan) berbicara
tentang Allah tanpa ilmu dengan syirik [surat al A’raf/7 ayat 33].[4]
2. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, bersih dari noda-noda syirik.
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Adapun menurut syara’, yang
dimaksud ikhlas adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allah,
semata-mata mencari ridha Allah, menginginkan wajah Allah, dan
mengharapkan rahmatNya, takut terhadap siksaNya, dan mencari pahala
(keuntungan) akhirat. Serta membersihkan niat dari syirik niat, riya’,
sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia,
serta niat duniawi lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan
kecuali yang murni untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasaa-i, no.
3140]. [5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ
الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ
وَشِرْكَهُ
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan
sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain
Aku bersamaKu pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR
Muslim no. 2985].
Jika ibadah dicampuri dengan syirik, maka syirik itu menggugurkan
ibadah tersebut, betapa pun banyak ibadah yang telah dilakukan. Allah
berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi)
sebelummu: Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az Zumar/39:65].
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah, di dalam
tafsirnya mengenai ayat ini, beliau berkata: “Dalam nubuwah seluruh
nabi, bahwa syirik itu melenyapkan amalan, sebagaimana Allah telah
berfirman di dalam surat al An’am”.[6]
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah berkata,”Telah
maklum berdasarkan dalil-dalil syar’i dari al Kitab dan as Sunnah, bahwa
seluruh amalan dan perkataan hanyalah sah dan diterima jika muncul dari
aqidah shahihah (yang benar). Jika aqidah tidak shahihah, maka seluruh
amalan dan perkataan yang muncul pun menjadi batal.”[7]
3. Ibadah harus mutaba’ah, yaitu meneladani Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam .
Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad n adalah utusan Allah,
maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita beliau,
mentaati perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan beribadah kepada
Allah hanya dengan syari’at beliau.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (pahala) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [al
Ahzab/33 : 21].
Sehingga, siapapun yang beribadah dengan tidak mengikuti Sunnah
(ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, maka ibadahnya
tersebut tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini (agama),
apa-apa yang bukan padanya, maka urusan itu tertolak. [HR Bukhari no.
2697, Muslim no. 1718]
4. Ibadah yang telah ditetapkan, meliputi sebabnya, jenisnya,
kadarnya, caranya, waktunya, dan tempatnya, maka wajib dilakukan
sebagaimana yang dituntunkan. Tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan
tersebut. Sehingga, barangsiapa beribadah kepada Allah, namun ibadahnya
itu tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syari’at, maka
ibadahnya tersebut tertolak.
Contoh:
a). Sebab. Orang yang bertahajjud pada malam 27 Rajab dengan sebab anggapan bahwa malam itu adalah malam Isra’ Mi’raj.
Sebagaimana sudah diketahui, tahajjud termasuk ibadah sunnah, namun
ketika dia menghubungkan dengan sebab yang tidak benar menurut syari’at,
maka ibadahnya tersebut menjadi bid’ah.
b). Jenis. Ibadah qurban telah ditetapkan jenisnya dengan binatang
ternak, yaitu onta, sapi, atau kambing. Jika ada orang berqurban dengan
kuda, kelinci atau ayam, maka qurban itu tertolak.
c). Kadar/ukuran. Shalat subuh telah ditetapkan dua raka’at. Sehingga
barangsiapa sengaja menambahnya, maka shalatnya tidak sah, karena
menyelisihi kadar yang telah ditetapkan syari’at.
d). Cara. Barangsiapa mengubah tertib atau cara-cara wudhu’ atau
shalat, maka ibadahnya tersebut tidak sah, karena telah menyelisihi cara
yang ditetapkan syari’at.
f). Waktu. Jika seseorang menyembelih qurban pada bulan Rajab, atau
puasa Ramadhan pada bulan Syawwal, atau wukuf di ‘Arafah pada tanggal 9
Dzul qa’dah, maka itu semua tidak sah, karena menyelisihi waktu ibadah
yang benar.
d). Tempatnya. Orang yang i’tikaf di rumahnya, atau wukuf di
Mudzalifah, maka itu tidak sah, karena menyelisihi tempat ibadah yang
telah ditetapkan.[8]
5. Ibadah harus dilakukan dengan dasar kecintaan, mengharapkan rahmat
Allah, takut siksaNya dan disertai ketundukan dan pengangungan kepada
Allah.
Ketika Allah memuji Nabi Zakaria sekeluarga, Dia berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka (Nabi Zakaria sekeluarga) adalah orang-orang yang
selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan
mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. [al Anbiya’/21: 90].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Ibadah,
menggabungkan kesempurnaan (puncak) kecintaan dan kesempurnaan
ketundukan. Orang yang beribadah adalah orang yang mencintai dan tunduk.
(Ini) berbeda dengan orang yang mencintai seseorang, yang ia tidak
tunduk kepadanya, tetapi ia mencintainya karena menjadikannya sebagai
perantara kepada perkara lain yang ia cintai. Dan (juga) berbeda dengan
orang yang tunduk kepada seseorang, yang ia tidak mencintainya, seperti
orang yang tunduk kepada seorang zhalim. Maka keduanya ini bukanlah
ibadah yang murni.” [9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: Ibadah, asal
maknanya adalah kerendahan (ketundukan) juga (seperti makna din). Tetapi
ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) mengandung makna kerendahan
(ketundukan) dan makna kecintaan. Sehingga ibadah yang diperintahkan
(oleh Allah) itu mengandung sifat puncak kerendahan (ketundukan) kepada
Allah disertai puncak kecintaan kepadaNya.
Barangsiapa tunduk kepada seorang manusia disertai kebenciannya
kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Dan
seandainya seseorang mencintai sesuatu dan ia tidak tunduk kepadanya,
maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Sebagaimana
seseorang mencintai anaknya, dan kawannya.
Oleh karena itu, dalam beribadah kepada Allah tidak cukup dengan
salah satu dari kedua sifat itu saja. Tetapi seorang hamba, (ia) wajib
menjadikan Allah sebagai yang paling dicintai daripada segala sesuatu,
dan menjadikan Allah yang paling diagungkan daripada segala sesuatu.
Bahkan tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang
sempurna, kecuali Allah. Sehingga apa saja yang dicintai bukan karena
Allah, maka kecintaannya itu rusak. Dan apa saja yang diagungkan bukan
dengan perintah Allah, maka pengagungannya itu batil.[10]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam sya’irnya, beliau menjelaskan tonggak ibadah, sebagai berikut:
Dan ibadah kepada (Allah) Yang Maha Pemurah,
adalah puncak kecintaan kepadaNya bersama kepatuhan
dari orang yang beribadah kepadaNya.
Itulah dua kutub yang orbit ibadah beredar pada keduanya.
Orbit itu tidak akan beredar sampai kedua kutubnya tegak.
Dan beredarnya dengan perintah. Yaitu perintah RasulNya.
Tidak dengan (perintah) hawa nafsu, kemauan diri sendiri, dan setan. [11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Di antara Salaf
mengatakan, ‘Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan kecintaan,
maka dia seorang zindiq (munafik). Barangsiapa beribadah kepada Allah
hanya dengan harapan, maka dia seorang Murji’ah.[12] Barangsiapa
beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka dia seorang Haruri.
[13] Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kecintaan, rasa
takut, dan harapan, maka dia seorang yang beriman, bertauhid”.[14]
6. Kewajiban ibadah tidak gugur dari hamba, semenjak baligh sampai meninggal dunia.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar
taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imran/3:102].
Manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah ialah Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkewajiban
beribadah sampai wafatnya. Maka orang-orang yang derajatnya di bawah
beliau, tentu lebih wajib untuk beribadah kepada Allah sampai matinya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan beribadahlah kepada Rabb-mu (Penguasamu) sampai al yaqin (kematian) datang kepadamu. [al Hijr/15:99]
Para ulama ahli tafsir bersepakat, makna al yaqin dalam ayat ini
adalah kematian. Hal ini, sebagaimana tersebut dalam firman Allah pada
ayat lain, yang memberitakan pertanyaan penduduk surga kepada penduduk
neraka:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ
نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا
نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka
(penduduk neraka) menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,
dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang
yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan,
hingga datang kepada kami al yaqin (kematian)”. [al Muddatstsir/74:
42-47].
Setelah kita mengetahui kaidah-kaidah tentang ibadah ini, maka
ketahuilah, seseorang yang memiliki anggapan bahwa “kewajiban beribadah
kepada Allah dengan syari’at Nabi Muhammad gugur atas diri seseorang
yang telah mencapai hakikat atau ma’rifat”, sungguh anggapan ini
bertentangan dengan al Qur`an, al Hadits dan kesepakatan umat Islam,
semenjak dahulu sampai sekarang.
Demikianlah enam kaidah penting berkaitan dengan masalah ibadah, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al Qur`anil ‘Azhim, surat al ‘Ankabut/29 ayat 6.
[2]. Tafsir al Qur`anul ‘Azhim, surat al An’am/6 ayat 144.
[3]. Tafsir Taisir Karimir-Rahman, surat al An’am/6 ayat 144.
[4]. Kitabul ‘Ilmi, halaman 75-76.
[5]. Lihat Silsilah ash-Shahihah no. 52, Ahkamul Janaiz, halaman 63.
[6]. Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan.
[7]. ‘Aqidah Shahihah wa Nawaqidhul Islam, halaman 3.
[8]. Lihat al Ibda’ fi Bayani Kamalisy-Syar’i wa Khatharil Ibtida’, halaman 21-22, karya Syaikh al ‘Utsaimin.
[9]. Kitab Qaidah fil Mahabbah, dalam Jami’ur-Rasail, Juz 2, halaman 284.
[10]. Kitab al ‘Ubudiyah, hlm. 23-24, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Tahqiq Khalid ‘Abdul Lathif al ‘Alami, Penerbit Darul Kitab al
‘Arabi.
[11]. Kitab Fathul Majid, halaman 28, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Penerbit Dar Ibni Hazm.
[12]. Firqah yang beranggapan, bahwa amal tidak termasuk hakikat iman.
Mereka juga beranggapan, dengan adanya iman, maka maksiat tidak
membahayakan.
[13]. Yakni orang yang berfaham Khawarij. Mereka sangat takut kepada
Allah, sehingga rasa takut mereka itu melewati batas, sampai
mengkafirkan orang Islam yang melakukan dosa besar. Adapun Haruri adalah
nisbat kepada Harura’, kampung di luar kota Kufah, tempat mereka
berkumpul di sana sebelum memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi
Thalib.
[14]. Al ‘Ubudiyah, halaman 78-79.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3391-kaidah-kaidah-ibadah-yang-benar.html